
Refleksi
Saat Janji Jokowi Tinggal Mimpi: Ekonomi RI Melesat 7%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 November 2019 09:46

Salah satu hal yang membuat perekonomian terus saja terpuruk adalah Indonesia yang makin tak kompetitif.
Belum lama ini, World Economic Forum merilis publikasi The Global Competitiveness Report edisi 2019. Publikasi ini berisi kajian dari World Economic Forum terkait dengan daya saing dari berbagai negara di belahan dunia.
Pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi 50 dari total 141 negara yang disurvei oleh World Economic Forum. Posisi Indonesia pada tahun 2019 melorot hingga lima peringkat jika dibandingkan posisi pada tahun 2018.
Skor Global Competitiveness Index 4.0 Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 64,6, turun 0,3 poin jika dibandingkan capaian tahun 2018.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur dan Pasifik, Indonesia berada di posisi 10. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia adalah di peringkat empat. Indonesia kalah dari Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 27), dan Thailand (peringkat 40).
Ada empat indikator yang mendasari penilaian dari World Economic Forum terhadap daya saing dari sebuah negara. Keempat indikator tersebut adalah iklim perekonomian, kondisi pasar, kualitas sumber daya manusia, serta ekosistem inovasi. Setiap indikator tersebut memiliki sub-indikatornya masing-masing yang jika ditotal berjumlah 12 sub-indikator.
Khusus untuk Indonesia, ada beberapa sub-indikator yang perlu membuat kita mengelus dada lantaran capaiannya berada di posisi yang jauh dari kata menggembirakan.
Pertama, terkait dengan infrastruktur. Memang, Jokowi sudah banting tulang di periode pertamanya guna memperbaiki kualitas infrastruktur di tanah air yang seringkali membuat pelaku usaha geleng-geleng kepala.
Tapi nyatanya, kualitas infrastruktur Indonesia saat ini masih berada di peringkat 72 dari 141 negara. Jelas dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih masif dan cerdas lagi untuk bisa memperbaiki sub-indikator ini.
Selain itu, adopsi teknologi informasi dan komunikasi juga membuat Indonesia menjadi negara yang lemah daya saingnya. Di sub-indikator ini, Indonesia menempati peringkat 72 dari 141 negara.
Kemudian, pasar tenaga kerja Indonesia juga patut mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia menempati peringkat 85 dari 141 negara.
Yang paling mengenaskan adalah ketika melihat indikator kualitas sumber daya manusia, khususnya di sub-indikator kesehatan. Di sub-indikator tersebut, Indonesia menempati peringkat 96 dari 141 negara.
Berbicara mengenai perizinan, Indonesia bisa dibilang memprihatinkan. Belum lama ini, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan bertajuk “Doing Business 2019: Training for Reform”. Publikasi ini membandingkan seberapa mudah membuka bisnis di suatu negara jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Ternyata, terlepas dari gelora Jokowi untuk memangkas prosedur perizinan, memulai bisnis di Indonesia masih sangat-amat ribet. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia berada di level 73 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia.
Dalam masa kampanye, Jokowi kerap menjanjikan akan mempermudah prosedur perizinan di Indonesia yang terkenal menyulitkan, yang pada akhirnya seringkali menyurutkan minat investor untuk membangun pabrik di tanah air. Pasca terpilih, kebijakan pemangkasan prosedur perizinan dituangkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid II.
Tak usahlah kita membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, Indonesia jelas kalah dari mereka. Tetapi parahnya, memulai bisnis di Indonesia terbukti lebih ribet dari negara-negara kecil yang kalau disebut namanya, rasanya sulit dipercaya mereka lebih baik dari Indonesia.
Skor Ease of Doing Business (EODB) Indonesia lebih rendah ketimbang Chile, Maroko, Kenya, hingga Peru. Untuk urusan kemudahan memulai bisnis, Chile berada di peringkat 56, Maroko 60, Kenya 61, dan Peru 68.
RIbetnya memulai bisnis di Indonesia bahkan sempat dibuktikan sendiri oleh CNBC Indonesia. Pada Juli 2019, CNBC Indonesia mencoba mendatangi pusat pelayanan Online Singe Submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sekitar pukul 11.00 WIB untuk mendapatkan informasi terkait syarat mendirikan perusahaan.
Sayangnya, saat tiba di tempat ternyata antrean untuk melakukan konsultasi sudah habis. Petugas help desk di OSS BKPM mengatakan setiap harinya hanya diberikan kuota 200 nomor antrean untuk mengurus perizinan di OSS.
"Kalau mau memang harus datang pagi Mas, sekitar jam 05:00 untuk isi absen. Nanti jam 07:30 baru ambil nomor antrean. Jam 08:00 mulai pelayanan," kata petugas tersebut.
Beberapa orang yang ingin melakukan konsultasi di OSS BKPM tampak kebingungan dan belum mengetahui tentang adanya aturan pembatasan nomor antrean per hari.
Salah satu pegawai perusahaan swasta, Ahmad, mengaku datang dari Bogor dan ditugaskan perusahaannya untuk mengurus perizinan melalui OSS. Dia mengaku tidak tahu soal antrean yang dibatasi hanya 200 orang per harinya.
"Jadinya saya mesti balik lagi nih Mas," keluhnya. (dru)
Belum lama ini, World Economic Forum merilis publikasi The Global Competitiveness Report edisi 2019. Publikasi ini berisi kajian dari World Economic Forum terkait dengan daya saing dari berbagai negara di belahan dunia.
Pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi 50 dari total 141 negara yang disurvei oleh World Economic Forum. Posisi Indonesia pada tahun 2019 melorot hingga lima peringkat jika dibandingkan posisi pada tahun 2018.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur dan Pasifik, Indonesia berada di posisi 10. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia adalah di peringkat empat. Indonesia kalah dari Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 27), dan Thailand (peringkat 40).
Ada empat indikator yang mendasari penilaian dari World Economic Forum terhadap daya saing dari sebuah negara. Keempat indikator tersebut adalah iklim perekonomian, kondisi pasar, kualitas sumber daya manusia, serta ekosistem inovasi. Setiap indikator tersebut memiliki sub-indikatornya masing-masing yang jika ditotal berjumlah 12 sub-indikator.
Khusus untuk Indonesia, ada beberapa sub-indikator yang perlu membuat kita mengelus dada lantaran capaiannya berada di posisi yang jauh dari kata menggembirakan.
Pertama, terkait dengan infrastruktur. Memang, Jokowi sudah banting tulang di periode pertamanya guna memperbaiki kualitas infrastruktur di tanah air yang seringkali membuat pelaku usaha geleng-geleng kepala.
Tapi nyatanya, kualitas infrastruktur Indonesia saat ini masih berada di peringkat 72 dari 141 negara. Jelas dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih masif dan cerdas lagi untuk bisa memperbaiki sub-indikator ini.
Selain itu, adopsi teknologi informasi dan komunikasi juga membuat Indonesia menjadi negara yang lemah daya saingnya. Di sub-indikator ini, Indonesia menempati peringkat 72 dari 141 negara.
Kemudian, pasar tenaga kerja Indonesia juga patut mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia menempati peringkat 85 dari 141 negara.
Yang paling mengenaskan adalah ketika melihat indikator kualitas sumber daya manusia, khususnya di sub-indikator kesehatan. Di sub-indikator tersebut, Indonesia menempati peringkat 96 dari 141 negara.
Berbicara mengenai perizinan, Indonesia bisa dibilang memprihatinkan. Belum lama ini, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan bertajuk “Doing Business 2019: Training for Reform”. Publikasi ini membandingkan seberapa mudah membuka bisnis di suatu negara jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Ternyata, terlepas dari gelora Jokowi untuk memangkas prosedur perizinan, memulai bisnis di Indonesia masih sangat-amat ribet. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia berada di level 73 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia.
Dalam masa kampanye, Jokowi kerap menjanjikan akan mempermudah prosedur perizinan di Indonesia yang terkenal menyulitkan, yang pada akhirnya seringkali menyurutkan minat investor untuk membangun pabrik di tanah air. Pasca terpilih, kebijakan pemangkasan prosedur perizinan dituangkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid II.
Tak usahlah kita membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, Indonesia jelas kalah dari mereka. Tetapi parahnya, memulai bisnis di Indonesia terbukti lebih ribet dari negara-negara kecil yang kalau disebut namanya, rasanya sulit dipercaya mereka lebih baik dari Indonesia.
Skor Ease of Doing Business (EODB) Indonesia lebih rendah ketimbang Chile, Maroko, Kenya, hingga Peru. Untuk urusan kemudahan memulai bisnis, Chile berada di peringkat 56, Maroko 60, Kenya 61, dan Peru 68.
RIbetnya memulai bisnis di Indonesia bahkan sempat dibuktikan sendiri oleh CNBC Indonesia. Pada Juli 2019, CNBC Indonesia mencoba mendatangi pusat pelayanan Online Singe Submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sekitar pukul 11.00 WIB untuk mendapatkan informasi terkait syarat mendirikan perusahaan.
Sayangnya, saat tiba di tempat ternyata antrean untuk melakukan konsultasi sudah habis. Petugas help desk di OSS BKPM mengatakan setiap harinya hanya diberikan kuota 200 nomor antrean untuk mengurus perizinan di OSS.
"Kalau mau memang harus datang pagi Mas, sekitar jam 05:00 untuk isi absen. Nanti jam 07:30 baru ambil nomor antrean. Jam 08:00 mulai pelayanan," kata petugas tersebut.
Beberapa orang yang ingin melakukan konsultasi di OSS BKPM tampak kebingungan dan belum mengetahui tentang adanya aturan pembatasan nomor antrean per hari.
Salah satu pegawai perusahaan swasta, Ahmad, mengaku datang dari Bogor dan ditugaskan perusahaannya untuk mengurus perizinan melalui OSS. Dia mengaku tidak tahu soal antrean yang dibatasi hanya 200 orang per harinya.
"Jadinya saya mesti balik lagi nih Mas," keluhnya. (dru)
Pages
Most Popular