Dear Mendag, Cara Ini Perlu Dicoba untuk Tekan Defisit Dagang

Tirta Citradi & Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 October 2019 06:49
Dear Mendag, Cara Ini Perlu Dicoba untuk Tekan Defisit Dagang
Foto: Agus Suparmanto (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Agus Suparmanto resmi menjabat sebagai Menteri Perdagangan periode 2019-2024, menggantikan Enggartiasto Lukita. Pekerjaan rumah menunggunya terutama terkait dengan defisit neraca perdagangan yang kian berlarut-larut. Adakah solusi taktis untuk mengatasi persoalan itu? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengaku mendapat beberapa tugas prioritas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang intinya adalah menurunkan defisit neraca perdagangan dengan menekan impor dan menggenjot ekspor.



Kalau dilihat dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari 2014-2018, Indonesia mengalami dua kali defisit dagang. Pertama di tahun 2014 defisit neraca dagang mencapai US$ 2,2 miliar. Kedua, defisit parah pada 2018 yang mencapai US$ 8,7 miliar.

Sepanjang tahun ini, sejak Januari-September 2019, Indonesia kembali mencatat defisit neraca dagang sebesar US$ 1,95 miliar. Tanpa ada kajaiban di tiga bulan terakhir, besar kemungkinan Indonesia terjerembab kembali dalam defisit pada tahun ini.
Pak Agus, Ini Langkah-Langkah yang Bisa Tekan Defisit DagangSumber : Badan Pusat Statistik
Apabila ditinjau lebih jauh, defisit terjadi diakibatkan karena impor minyak terutama impor hasil minyak alias BBM. Defisit neraca perdagangan akibat pos ini mencapai US$ 8,59 miliar.

Jadi dengan kalkulasi sederhana, untuk menekan defisit neraca perdagangan ya dilakukan dengan cara menekan impor dan menggenjot ekspor. Namun yang jadi pertanyaan adalah impor apa yang perlu ditekan? Ekspor apa yang perlu digenjot? Serta bagaimana melakukannya?



Pertama, untuk dapat menekan impor pemerintah perlu melakukan kajian mendalam tentang impor barang dan jasa apa saja yang sudah dilakukan selama ini. Tentu impor yang ditekan bukan impor terhadap barang modal untuk industri manufaktur dalam negeri agar tidak berdampak buruk terhadap aktivitas perekonomian dalam negeri.

Menurut studi Observatory of Economic Complexity (OEC), impor terbesar Indonesia hingga 2017 adalah produk olahan minyak seperti bahan bakar minyak/BBM (US$ 14,2 miliar), minyak mentah (US$ 7,44 miliar), telepon (US$ 3,13 miliar), suku cadang kendaraan bermotor (US$ 3,01 miliar) hingga gas LPG (US$ 2,71 miliar).

Semua barang impor itu memainkan peranan penting dalam ekonomi Indonesia sehari-hari. Saring dan pilihlah barang-barang yang memiliki substitusinya dari dalam negeri. Jika tidak, maka tetapkan proyek penciptaan bahan pengganti dalam negeri dalam strategi pengembangan industri.

Misalnya, percepat program B30 yang bakal berjalan tahun depan guna mengurangi impor solar. Jangan hanya mandek di situ, buatlah program lanjutan yang bertahap dan terukur seperti B40, B50 hingga B100.

Program ini selain dapat mengurangi ketergantungan terhadap BBM impor juga dapat meningkatkan perdagangan dalam negeri mengingat program B30 menyerap minyak sawit mentah (CPO) produksi domestik yang digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan biodisel.

Atau, cara tersingkat adalah mengurangi konsumsi BBM agar impor produk olahan minyak terkendali. Hentikan program yang membuat masyarakat kian kecanduan BBM dan malas mengembangkan energi alternatif, seperti misalnya program BBM satu harga dan penyuplaian premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Dalam hal ini perlu koordinasi antar lembaga serta peta jalan (road map) jelas terkait dengan kebijakan bauran energi dalam negeri. Dan, tentu saja nyali dan komitmen yang kuat dari Kepala Negara, sebagaimana pernyataan sebelumnya bahwa dia tidak punya beban untuk mengambil kebijakan tak populis.

[Gambas:Video CNBC]



BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>

Menekan impor juga perlu dilakukan dengan cara membuat regulasi efektif serta bekerja sama dengan Kepolisian untuk mencokok pihak maupun kawasan yang menyelewengkan izin impor sehingga Indonesia kebanjiran barang impor yang tidak krusial dan cenderung merusak harga produk serupa di dalam negeri.

Awasi ketat para pemegang izin impor yang nakal maupun pelaku impor di Pusat Logistik Berikat (PLB). Contoh kasus terakhir adalah banjir impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Sejauh ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bergerak cepat dengan menggunakan jalur Bea Cukai. Impor TPT memang tidak lantas membuat neraca perdagangan TPT menjadi defisit, tetapi surplus dari perdagangan sektor ini terus tergerus.



Sembari merapikan izin para importir, Kementerian Perdagangan harus bekerja sama dengan kementerian lain untuk memastikan bahwa Indonesia bisa memproduksi barang-barang yang selama ini diimpor. Hilirisasi industri (seperti gasifikasi batu bara yang sedang digarap PT Bukit Asam Tbk dan dijajaki PT Bumi Resoures Tbk) harus didorong.

Jangan sungkan dan ragu untuk membebaskan pajak untuk pembelian mesin pendukung. Kalau perlu, beri insentif sebanyak apapun yang dibutuhkan, karena program gasifikasi batu bara ini secara bersamaan bisa memangkas impor produk gas berbasis petroleum (LPG) dan bisa dilempar ke pasar internasional.

Tentu saja, dalam hal ini Kementerian Perdagangan membutuhkan koordinasi dan kerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

BERLANJUT KE HALAMAN 3 >>


Untuk menekan defisit neraca perdagangan selain menekan impor juga harus dibarengi dengan menggenjot ekspor. Namun ekspor apa saja yang perlu digenjot serta bagaimana caranya? Mari kita cek..

Mengutip data Bank Dunia, rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2017 mencapai 29,4%. Mengutip data OEC tahun 2017, beberapa produk unggulan Indonesia yang diekspor adalah produk komoditas seperti batu bara (US$ 18,9 miliar), minyak sawit (US$ 18,2 miliar) dan karet (US$ 5.68 miliar).

Kalau dilihat dari segi produk unggulan, dalam setahun terakhir ini harga batu bara tengah mengalami tekanan yang serius. Komitmen negara-negara di berbagai belahan dunia terutama Eropa untuk mengurangi konsumsi batu bara menjadi sentimen negatif yang terus mengerek turun harga batu bara.

Konsumsi batu bara terbesar di dunia kini beralih ke China dan India. Namun pertumbuhan permintaan di kedua negara tersebut diprediksi menipis di tahun-tahun ke depan akibat dari fokus penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Produk kedua yang juga jadi unggulan ekspor Indonesia adalah minyak sawit. Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia yang salah satu pangsa pasarnya adalah Uni Eropa. Namun, sawit Indonesia tidak terlepas dari sentimen negatif karena isu lingkungan.

Pertama, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan mitra dagang. Saat ini, India adalah negara terpadat kedua di dunia setelah China dengan pertambahan populasi per tahunnya mencapai 25 juta. Ditopang dengan pertumbuhan populasi yang pesat, kebutuhan minyak sawit diprediksi meningkat di kisaran 3-3,5% per tahun.

Sampai saat ini Indonesia bersama Malaysia telah menyuplai minyak sawit ke India yang notabene merupakan negara importir minyak nabati terbesar di dunia. Di tengah panasnya hubungan India dan Malaysia terkait dengan kritikan Negeri Jiran terhadap isu Kashmir, Indonesia harus bisa mengambil peluang dengan lobi dan negosiasi baru.

Kementerian Perdagangan harus memperkuat kerja sama perdagangan bilateral antara India dengan Indonesia, misalnya dengan komitmen tidak akan mencampuri urusan dalam negeri India terkait Kashmir, asalkan ada kenaikan kuota impor sawit dari Bumi Nusantara dalam jangka panjang.

Kedua, dengan adanya perang dagang antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia (yakni Amerika Serikat dan China), Negeri Tirai Bambu semestinya lebih banyak membeli produk minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia lebih banyak, menggantikan konsumsi minyak kedelai yang dipasok oleh AS.

Namun terlepas dari itu, pesatnya pertumbuhan populasi China di tengah harga produk minyak sawit yang kompetitif, Indonesia semestinya memiliki peluang untuk mengambil pangsa pasar minyak nabati China secara organik.

Langkah ketiga yang dapat ditempuh Kementerian Perdagangan adalah melakukan nation branding produk minyak sawit dengan menggalakkan program sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) dan menjualnya sebagai produk lestari ke pasar internasional, guna memerangi kampanye negatif lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing.

Saat ini pemerintah menargetkan 75% kebun sawit rakyat mendapat sertifikasi ISPO pada 2025. Langkah sertifikasi ini penting untuk dilakukan selain untuk menembus pasar Eropa yang ketat dan penuh sentimen negatif, juga dimaksudkan untuk membuat industri sawit Tanah Air menjadi lebih berkelanjutan.

Langkah ini memang agak sulit karena terganjal persyaratan ISPO yang mewajibkan lahan sawit tidak berada di kawasan hutan. Pasalmya, 56% lahan petani plasma berada di kawasan hutan. Benang kusut ini harus segera dipecahkan, dan Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Langkah keempat adalah perlunya meninjau aturan soal pungutan ekspor yang dikenakan untuk minyak sawit. Masalah terkait besaran pungutan ekspor CPO ini perlu dikaji secara komprehensif terutama terkait dengan dampak kinerja ekspor selanjutnya. Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan perlu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

Tentukan tarif pungutan yang tidak menggerus daya saing produk CPO nasional.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 >>


Untuk mendongkrak performa ekspor produk non-unggulan, Kementerian Perdagangan perlu melakukan kajian komprehensif terkait dengan produk atau komoditas apa saja yang potensial untuk diekspor beserta peluang pasar destinasinya.

UKM-UKM Indonesia yang berorientasi ekspor perlu didorong melalui berbagai racikan kebijakan yang tepat sasaran. Perlu diketahui bahwa lebih dari 90% pelaku usaha di Indonesia tergolong UKM, Jika UKM tersebut sukses mengekspor dan menerima kenaikan pesanan, bisa dibayangkan betapa besar efeknya terhadap roda ekonomi Indonesia.

Untuk mendorong UKM berorientasi ekspor, pemerintah perlu memberikan akses informasi terkait dengan potensi pasar yang mungkin disasar, karakteristiknya, persyaratan dan standar produk yang dipersyaratkan.

Secara teknis, bentuk tim-tim teknis yang menyisir tiap negara yang potensial tersebut, susun daftarnya, bagikan ke mereka, dan beri asistensi. Pemerintah perlu memberikan pelatihan dan pendampingan agar produk-produk UKM dalam negeri dapat memenuhi standar ekspor ke negara destinasinya.

Tentu saja ini tidak mudah, butuh kerja keras. Namun ingat, ini bukan saatnya untuk ongkang-ongkang kaki. Lakukan tugas-tugas teknis tersebut, dan pastikan ada key performance index (KPI) untuk memastikan hasilnya terukur.

Faktor lain yang juga dapat dilakukan untuk mendongkrak perdagangan terutama dari sisi ekspor adalah dengan meningkatkan ketersediaan kredit untuk ekspor. Sejak perang dagang berlangsung, Eximbank selaku bank yang memfasilitasi kegiatan ekspor-impor cenderung menurunkan target saluran kreditnya menjadi hanya 2% saja tahun ini.

Ke depannya ketersediaan kredit baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk pelaku ekspor terutama UKM perlu diperhatikan guna mendongkrak ekspor.

Upaya lainnya yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan stimulus kebijakan yang dapat membuat produk ekspor UKM lebih kompetitif. Contohnya dengan membebaskan biaya pungutan ekspor atau mencarikan mekanisme lain yang dapat menurunkan kebutuhan kredit.

Terakhir ya.. apalagi kalau bukan masalah perbaikan birokrasi. Birokrasi yang panjang dan berbelit-belit dapat menghambat aktivitas ekspor kita. Semakin lamban, semakin besar pula peluang pasar kita direbut negara lain yang bergerak lebih cepat.

Oleh karena itu, perbaikan dan reformasi birokrasi--terutama di Kementerian Perdagangan--adalah harga mati.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular