
Dear Mendag, Cara Ini Perlu Dicoba untuk Tekan Defisit Dagang
Tirta Citradi & Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 October 2019 06:49

Untuk menekan defisit neraca perdagangan selain menekan impor juga harus dibarengi dengan menggenjot ekspor. Namun ekspor apa saja yang perlu digenjot serta bagaimana caranya? Mari kita cek..
Mengutip data Bank Dunia, rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2017 mencapai 29,4%. Mengutip data OEC tahun 2017, beberapa produk unggulan Indonesia yang diekspor adalah produk komoditas seperti batu bara (US$ 18,9 miliar), minyak sawit (US$ 18,2 miliar) dan karet (US$ 5.68 miliar).
Kalau dilihat dari segi produk unggulan, dalam setahun terakhir ini harga batu bara tengah mengalami tekanan yang serius. Komitmen negara-negara di berbagai belahan dunia terutama Eropa untuk mengurangi konsumsi batu bara menjadi sentimen negatif yang terus mengerek turun harga batu bara.
Konsumsi batu bara terbesar di dunia kini beralih ke China dan India. Namun pertumbuhan permintaan di kedua negara tersebut diprediksi menipis di tahun-tahun ke depan akibat dari fokus penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Produk kedua yang juga jadi unggulan ekspor Indonesia adalah minyak sawit. Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia yang salah satu pangsa pasarnya adalah Uni Eropa. Namun, sawit Indonesia tidak terlepas dari sentimen negatif karena isu lingkungan.
Pertama, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan mitra dagang. Saat ini, India adalah negara terpadat kedua di dunia setelah China dengan pertambahan populasi per tahunnya mencapai 25 juta. Ditopang dengan pertumbuhan populasi yang pesat, kebutuhan minyak sawit diprediksi meningkat di kisaran 3-3,5% per tahun.
Sampai saat ini Indonesia bersama Malaysia telah menyuplai minyak sawit ke India yang notabene merupakan negara importir minyak nabati terbesar di dunia. Di tengah panasnya hubungan India dan Malaysia terkait dengan kritikan Negeri Jiran terhadap isu Kashmir, Indonesia harus bisa mengambil peluang dengan lobi dan negosiasi baru.
Kementerian Perdagangan harus memperkuat kerja sama perdagangan bilateral antara India dengan Indonesia, misalnya dengan komitmen tidak akan mencampuri urusan dalam negeri India terkait Kashmir, asalkan ada kenaikan kuota impor sawit dari Bumi Nusantara dalam jangka panjang.
Kedua, dengan adanya perang dagang antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia (yakni Amerika Serikat dan China), Negeri Tirai Bambu semestinya lebih banyak membeli produk minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia lebih banyak, menggantikan konsumsi minyak kedelai yang dipasok oleh AS.
Namun terlepas dari itu, pesatnya pertumbuhan populasi China di tengah harga produk minyak sawit yang kompetitif, Indonesia semestinya memiliki peluang untuk mengambil pangsa pasar minyak nabati China secara organik.
Langkah ketiga yang dapat ditempuh Kementerian Perdagangan adalah melakukan nation branding produk minyak sawit dengan menggalakkan program sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) dan menjualnya sebagai produk lestari ke pasar internasional, guna memerangi kampanye negatif lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing.
Saat ini pemerintah menargetkan 75% kebun sawit rakyat mendapat sertifikasi ISPO pada 2025. Langkah sertifikasi ini penting untuk dilakukan selain untuk menembus pasar Eropa yang ketat dan penuh sentimen negatif, juga dimaksudkan untuk membuat industri sawit Tanah Air menjadi lebih berkelanjutan.
Langkah ini memang agak sulit karena terganjal persyaratan ISPO yang mewajibkan lahan sawit tidak berada di kawasan hutan. Pasalmya, 56% lahan petani plasma berada di kawasan hutan. Benang kusut ini harus segera dipecahkan, dan Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Langkah keempat adalah perlunya meninjau aturan soal pungutan ekspor yang dikenakan untuk minyak sawit. Masalah terkait besaran pungutan ekspor CPO ini perlu dikaji secara komprehensif terutama terkait dengan dampak kinerja ekspor selanjutnya. Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan perlu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
Tentukan tarif pungutan yang tidak menggerus daya saing produk CPO nasional.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 >>
(twg)
Mengutip data Bank Dunia, rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2017 mencapai 29,4%. Mengutip data OEC tahun 2017, beberapa produk unggulan Indonesia yang diekspor adalah produk komoditas seperti batu bara (US$ 18,9 miliar), minyak sawit (US$ 18,2 miliar) dan karet (US$ 5.68 miliar).
Kalau dilihat dari segi produk unggulan, dalam setahun terakhir ini harga batu bara tengah mengalami tekanan yang serius. Komitmen negara-negara di berbagai belahan dunia terutama Eropa untuk mengurangi konsumsi batu bara menjadi sentimen negatif yang terus mengerek turun harga batu bara.
Produk kedua yang juga jadi unggulan ekspor Indonesia adalah minyak sawit. Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia yang salah satu pangsa pasarnya adalah Uni Eropa. Namun, sawit Indonesia tidak terlepas dari sentimen negatif karena isu lingkungan.
Pertama, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan mitra dagang. Saat ini, India adalah negara terpadat kedua di dunia setelah China dengan pertambahan populasi per tahunnya mencapai 25 juta. Ditopang dengan pertumbuhan populasi yang pesat, kebutuhan minyak sawit diprediksi meningkat di kisaran 3-3,5% per tahun.
Sampai saat ini Indonesia bersama Malaysia telah menyuplai minyak sawit ke India yang notabene merupakan negara importir minyak nabati terbesar di dunia. Di tengah panasnya hubungan India dan Malaysia terkait dengan kritikan Negeri Jiran terhadap isu Kashmir, Indonesia harus bisa mengambil peluang dengan lobi dan negosiasi baru.
Kementerian Perdagangan harus memperkuat kerja sama perdagangan bilateral antara India dengan Indonesia, misalnya dengan komitmen tidak akan mencampuri urusan dalam negeri India terkait Kashmir, asalkan ada kenaikan kuota impor sawit dari Bumi Nusantara dalam jangka panjang.
Kedua, dengan adanya perang dagang antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia (yakni Amerika Serikat dan China), Negeri Tirai Bambu semestinya lebih banyak membeli produk minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia lebih banyak, menggantikan konsumsi minyak kedelai yang dipasok oleh AS.
Namun terlepas dari itu, pesatnya pertumbuhan populasi China di tengah harga produk minyak sawit yang kompetitif, Indonesia semestinya memiliki peluang untuk mengambil pangsa pasar minyak nabati China secara organik.
Langkah ketiga yang dapat ditempuh Kementerian Perdagangan adalah melakukan nation branding produk minyak sawit dengan menggalakkan program sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) dan menjualnya sebagai produk lestari ke pasar internasional, guna memerangi kampanye negatif lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing.
Saat ini pemerintah menargetkan 75% kebun sawit rakyat mendapat sertifikasi ISPO pada 2025. Langkah sertifikasi ini penting untuk dilakukan selain untuk menembus pasar Eropa yang ketat dan penuh sentimen negatif, juga dimaksudkan untuk membuat industri sawit Tanah Air menjadi lebih berkelanjutan.
Langkah ini memang agak sulit karena terganjal persyaratan ISPO yang mewajibkan lahan sawit tidak berada di kawasan hutan. Pasalmya, 56% lahan petani plasma berada di kawasan hutan. Benang kusut ini harus segera dipecahkan, dan Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Langkah keempat adalah perlunya meninjau aturan soal pungutan ekspor yang dikenakan untuk minyak sawit. Masalah terkait besaran pungutan ekspor CPO ini perlu dikaji secara komprehensif terutama terkait dengan dampak kinerja ekspor selanjutnya. Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan perlu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
Tentukan tarif pungutan yang tidak menggerus daya saing produk CPO nasional.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 >>
(twg)
Pages
Most Popular