
Tolak Cukai Rokok Naik 21%, Pelaku Usaha Tembakau Tawar 9%
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
24 October 2019 11:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akan menaikkan cukai rata-rata mencapai 21,55% mulai Januari 2020. Kenaikan ini diprotes oleh pelaku usaha industri tembakau.
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan, kenaikan cukai tersebut terlalu besar dan tidak rasional. Nilai kenaikannya dua kali lipat dari kebiasaan cukai sebelumnya. Pada 2019, di tahun politik, pemerintah memang tak menaikkan cukai rokok.
Kenaikan cukai hasil tembakau itu kata Budidoyo dinilai tidak rasional, karena akan berimbas pada berkurangnya masyarakat dalam membeli rokok dan pada akhirnya bisa berdampak pada maraknya rokok-rokok ilegal.
Seharusnya, lanjut Budidoyo, kenaikan cukai tembakau dihitung berdasarkan dari inflasi yang sebesar kurang lebih 3,5% ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang berada pada kisaran 5,5%. Artinya, kenaikan cukai rokok itu disarankan hanya naik 9% saja.
"Itu lah yang cukup realistis. Artinya kalau dari kita [industri tembakau] itu memperhitungkan daya beli. Alih-alih alasannya untuk menekan turbulensi pembelian rokok, tapi apakah itu cukup efektif? Yang kita juga khawatirkan nanti melonjaknya rokok-rokok ilegal," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/10/2019).
Pasalnya menurut Budidoyo, industri penghasil tembakau itu merupakan satu kesatuan, dari hulu sampai ke hilir.
Ketika ada kebijakan yang tidak baik di tingkat hilir, maka akan berimbas ke hulu. Dari petani sampai kepada perusahaan rokok itu sendiri, karena beban produksi yang terlalu mahal.
Alhasil para perusahaan rokok mau tidak mau harus menjual harga rokok di pasaran lebih tinggi lagi, karena mengikuti budget untuk memproduksi. Harga rokok yang mahal, tentu masyarakat juga akan berpikir dua kali dalam membeli.
"Memang kalau petani itu kan tidak langsung berdampak. Tapi, nanti serapan dari petaninya juga akan terganggu," ujarnya.
Kenaikan cukai hasil tembakau yang terlalu besar itu juga, lanjut dia bisa menjalar terhadap pemecatan pegawai yang bekerja pada industri rokok. Budidoyo mengatakan, bahwa jenis rokok yang banyak di pasaran saat ini yakni berjenis Sigaret Keretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan.
Dia mencontohkan apabila ada kenaikan cukai sebesar 5% saja pada cukai SKT, hal itu tentu akan membuat beban produksi meningkat dan pada akhirnya bisa merumahkan 7.000 karyawannya.
"Kalau misalnya ada kenaikan atau penurunan produksi, sebesar 5% di SKT itu, itu bisa mengakibatkan pemutusan kerja sampai 7.000 karyawan. Itu mestinya yang harus dihitung," katanya.
Sementara, dalam aturan PMK 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang baru saja diterbitkan itu, tarif CHT pada SKT naik 12,84% per 1 Januari 2020. Artinya potensi pemecatan karyawan pada industri rokok bisa melonjak lebih tinggi dari 7.000 karyawan.
Adapun tarif CHT Sigaret Keretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29% dan Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95%.
(hoi/hoi) Next Article Tiba-Tiba Heboh Kemunculan Rokok Polos, Ada Apa Ya?
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan, kenaikan cukai tersebut terlalu besar dan tidak rasional. Nilai kenaikannya dua kali lipat dari kebiasaan cukai sebelumnya. Pada 2019, di tahun politik, pemerintah memang tak menaikkan cukai rokok.
Kenaikan cukai hasil tembakau itu kata Budidoyo dinilai tidak rasional, karena akan berimbas pada berkurangnya masyarakat dalam membeli rokok dan pada akhirnya bisa berdampak pada maraknya rokok-rokok ilegal.
"Itu lah yang cukup realistis. Artinya kalau dari kita [industri tembakau] itu memperhitungkan daya beli. Alih-alih alasannya untuk menekan turbulensi pembelian rokok, tapi apakah itu cukup efektif? Yang kita juga khawatirkan nanti melonjaknya rokok-rokok ilegal," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/10/2019).
Pasalnya menurut Budidoyo, industri penghasil tembakau itu merupakan satu kesatuan, dari hulu sampai ke hilir.
Ketika ada kebijakan yang tidak baik di tingkat hilir, maka akan berimbas ke hulu. Dari petani sampai kepada perusahaan rokok itu sendiri, karena beban produksi yang terlalu mahal.
Alhasil para perusahaan rokok mau tidak mau harus menjual harga rokok di pasaran lebih tinggi lagi, karena mengikuti budget untuk memproduksi. Harga rokok yang mahal, tentu masyarakat juga akan berpikir dua kali dalam membeli.
"Memang kalau petani itu kan tidak langsung berdampak. Tapi, nanti serapan dari petaninya juga akan terganggu," ujarnya.
Kenaikan cukai hasil tembakau yang terlalu besar itu juga, lanjut dia bisa menjalar terhadap pemecatan pegawai yang bekerja pada industri rokok. Budidoyo mengatakan, bahwa jenis rokok yang banyak di pasaran saat ini yakni berjenis Sigaret Keretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan.
Dia mencontohkan apabila ada kenaikan cukai sebesar 5% saja pada cukai SKT, hal itu tentu akan membuat beban produksi meningkat dan pada akhirnya bisa merumahkan 7.000 karyawannya.
"Kalau misalnya ada kenaikan atau penurunan produksi, sebesar 5% di SKT itu, itu bisa mengakibatkan pemutusan kerja sampai 7.000 karyawan. Itu mestinya yang harus dihitung," katanya.
Sementara, dalam aturan PMK 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang baru saja diterbitkan itu, tarif CHT pada SKT naik 12,84% per 1 Januari 2020. Artinya potensi pemecatan karyawan pada industri rokok bisa melonjak lebih tinggi dari 7.000 karyawan.
Adapun tarif CHT Sigaret Keretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29% dan Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95%.
(hoi/hoi) Next Article Tiba-Tiba Heboh Kemunculan Rokok Polos, Ada Apa Ya?
Most Popular