
Suramnya Sepakbola Italia, Tempat 'Mainan Baru' Orang Kaya RI
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2019 14:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Duo orang terkaya di Indonesia, Robert Budi Hartono dan Robert Wijaya Suwanto, dikabarkan membeli klub sepakbola asal Italia, Como 1907. Wajar kalau banyak yang tidak tahu, karena klub ini berlaga di Serie C, kompetisi sepakbola lapis ketiga di Negeri Pizza.
Robert Budi Hartono dan Robert Wijaya Suwanto mencaplok Como melalui Sent Entertainment Ltd. Harganya relatif 'murah', disebut-sebut tidak sampai Rp 5 miliar.
Maklum, Como diambil alih dalam kondisi yang mengenaskan. Kala diakuisisi, Como bahkan tidak punya pemain.
"Kita beli nggak sampai Rp 5 miliar, istilahnya nebus di pegadaian. Pada 1 Juli kemarin nggak punya pemain sama sekali. Aset-aset yang nggak terurus kita poles lagi," ungkap Mirwan Suwarso, pewakilan Mola TV, salah satu unit usaha milik Grup Djarum, seperti diberitakan detiksport.
Pengusaha Indonesia yang melakukan ekspansi dengan membeli klub sepakbola Eropa bukan barang baru. Erick Thohir, bos Grup Mahaka, pernah menjadi owner di klub elit Italia, Inter Milan. Setelah menjual kepemilikan di Inter kepada investor China, sosok yang digadang-gadang bakal jadi menteri di kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin ini menjadi direksi di klub asal Inggris, Oxford United.
Lalu ada keluarga Wanandi yang melalui Santini Group mengakuisisi klub Inggris, Tranmere Rovers. Klub sekota Liverpool dan Everton ini berlaga di League One, dua setrip di bawah Liga Primer Inggris.
Namun, menarik untuk dilihat mengapa orang-orang terkaya di Indonesia tertarik dengan 'mainan baru' bernama Como. Sebab, jujur saja, kompetisi sepakbola di Italia bukan seperti dulu lagi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada pertengahan hingga akhir dekade 1980-an, Italia dengan Serie A mulai menarik mata dunia. Penyebabnya apalagi kalau bukan kepindahan Diego Armando Maradona dari Barcelona (Spanyol) ke Napoli pada 1984. Bukan kaleng-kaleng, Maradona ditarik ke stadion San Paolo dengan status pemain termahal dunia kala itu (GBP 6,9 juta).
Kemudian jelang akhir 1980-an, giliran AC Milan yang menebar pesona. Rossoneri yang nyaris bangkrut diselamatkan oleh raja media Silvio Berlusconi yang kemudian menjadi Perdana Menteri Italia.
Di bawah kendali Don Silvio, AC Milan yang compang-camping berubah menjadi tim impian alias Dream Team. Pelatih super disiplin Arrigo Sacchi membentuk tim dengan pertahanan rapat dengan Franco Baresi sebagai dirigen. Lini tengah dan depan pun sangat aduhai dengan kehadiran Trio Belanda dalam diri Frank Rijkaard, Ruud Gullit, dan Marco van Basten.
Masuk ke dekade 1990-an, kegemilangan sepakbola Italia bukan memudar tetapi semakin mengkilap. Sampdoria berhasil menjadi finalis Piala Champions (kini Liga Champions) 1992, hanya kalah 0-1 dari Barcelona gara-gara gol sepakan jarak jauh Ronald Koeman.
Milan pun melanjutkan kejayaannya, meski tanpa Sacchi dan Trio Belanda. Tangan dingin pelatih Fabio Capello membawa Paolo Maldini dan kolega menjadi juara Eropa 1994.
Pada pertengahan 1990-an berganti Juventus yang jadi primadona. Pelatih jenius tetapi perokok berat bernama Marcelo Lippi menjadi kunci kebangkitan Si Nyonya Tua. Juventus berhasil menjadi juara Eropa pada 1995 dengan para maesto seperti Gianluca Vialli, Fabrizio Ravanelli, Antonio Conte, Angelo Peruzzi, dan lain-lain.
Kemudian jelang akhir dekade 1990-an, giliran Inter Milan yang mencuri sensasi. Dari sisi prestasi, Inter sebenarnya kalah mentereng ketimbang Milan atau Juventus. Namun peristiwa pada 1997 yang membuat La Beneamata menjadi sorotan dunia.
Massimo Moratti, pengusaha minyak yang cintanya kepada Inter tidak terbantahkan, rela menjebol rekeningnya sampai US$ 27 juta untuk memboyong Ronaldo Luiz Nazario de Lima dari Barcelona (Spanyol). Ronaldo bukan Cristiano kala itu baru mendapat penghargaan sebagai pemain terbaik dunia, sehingga untuk membuatnya datang ke San Siro harus melibatkan rekor transfer termahal dunia.
Kilau sepakbola Negeri Menara Pisa berlanjut hingga ke awal dekade 2000-an. Kala itu, duo ibukota AS Roma dan Lazio yang kerap mencuri perhatian.
Lazio yang diisi pemain kelas dunia macam Juan Sebastian Veron, Marcelo Salas, Matias Almeyda, Pavel Nedved, sampai Sergio Conceicao berhasil menjadi scudetto pada musim 1999-2000. Sementara Roma menjadi campioni d'Italia pada musim 2000-2001.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Jadi, pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an bisa dibilang kiblat sepakbola dunia adalah Italia. Pemain-pemain top dunia berkumpul di sana, membuat Serie A sebagai tujuan utama.
Jadi wajar saja rekor transfer termahal dunia kala itu didominasi oleh klub-klub Italia. Gianluigi Lentini, Ronaldo, Christian Vieri, Hernan Crespo, semuanya menjadi pemain termahal dunia kala berlaga di Italia.
Namun semua itu berubah 180 derajat mulai pertengahan 2006. Ketika itu, terjadi skandal pengaturan skor yang akrab disebut calciopoli. Skandal itu melibatkan klub-klub besar seperti Juventus, AC Milan, Lazio, sampai Fiorentina. Juventus dijatuhi hukuman paling berat, dipaksa turun kelas ke Serie B.
Sejak saat itu sampai sekarang, pamor sepakbola Italia belum kembali. Pemain-pemain top dunia tidak lagi menjadikan bermain Italia sebagai puncak karier.
Posisi itu diambil alih oleh Liga Primer Inggris dan La Liga Spanyol. Mengutip data Transfermrkt, valuasi Liga Primer saat ini adalah EUR 9,12 miliar (Rp 142,96 triliun). La Liga berada di posisi kedua dengan valuasi EUR 6,15 miliar (Rp 96,4 triliun), dan Serie A berada di peringkat ketiga dengan nilai EUR 5,17 miliar (Rp 81,04 triliun).
Baca: Selamat Datang, Liga Termahal Dunia!
Bintang-bintang yang datang ke Italia pun kebanyakan sudah berstatus expired. Tidak ada lagi pemain bintang dalam usia prima mau ke Italia.
Cerita Ronaldo yang ngambek di Barcelona gegara ingin pindah ke Inter adalah sesuatu mustahil terjadi saat ini. Kalau, misalnya, Lionel Messi yang sedang dalam usia emas mau pindah dari Barcelona ke Inter, mungkin perlu diperiksa kesehatan jiwanya.
Oleh karena itu, pilihan orang terkaya Indonesia untuk memilih Italia sebagai tempat 'mainan baru' bisa dibilang unik. Bukan hanya memilih Como (klub antar-berantah yang bermain di Serie C), tetapi menjadikan Italia sebagai tujuan pun seperti ketinggalan zaman...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Liga Spanyol Sampai Inggris Cs Boncos Rp 30 T Gegara Covid-19
Robert Budi Hartono dan Robert Wijaya Suwanto mencaplok Como melalui Sent Entertainment Ltd. Harganya relatif 'murah', disebut-sebut tidak sampai Rp 5 miliar.
Maklum, Como diambil alih dalam kondisi yang mengenaskan. Kala diakuisisi, Como bahkan tidak punya pemain.
Pengusaha Indonesia yang melakukan ekspansi dengan membeli klub sepakbola Eropa bukan barang baru. Erick Thohir, bos Grup Mahaka, pernah menjadi owner di klub elit Italia, Inter Milan. Setelah menjual kepemilikan di Inter kepada investor China, sosok yang digadang-gadang bakal jadi menteri di kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin ini menjadi direksi di klub asal Inggris, Oxford United.
Lalu ada keluarga Wanandi yang melalui Santini Group mengakuisisi klub Inggris, Tranmere Rovers. Klub sekota Liverpool dan Everton ini berlaga di League One, dua setrip di bawah Liga Primer Inggris.
Namun, menarik untuk dilihat mengapa orang-orang terkaya di Indonesia tertarik dengan 'mainan baru' bernama Como. Sebab, jujur saja, kompetisi sepakbola di Italia bukan seperti dulu lagi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada pertengahan hingga akhir dekade 1980-an, Italia dengan Serie A mulai menarik mata dunia. Penyebabnya apalagi kalau bukan kepindahan Diego Armando Maradona dari Barcelona (Spanyol) ke Napoli pada 1984. Bukan kaleng-kaleng, Maradona ditarik ke stadion San Paolo dengan status pemain termahal dunia kala itu (GBP 6,9 juta).
Kemudian jelang akhir 1980-an, giliran AC Milan yang menebar pesona. Rossoneri yang nyaris bangkrut diselamatkan oleh raja media Silvio Berlusconi yang kemudian menjadi Perdana Menteri Italia.
Di bawah kendali Don Silvio, AC Milan yang compang-camping berubah menjadi tim impian alias Dream Team. Pelatih super disiplin Arrigo Sacchi membentuk tim dengan pertahanan rapat dengan Franco Baresi sebagai dirigen. Lini tengah dan depan pun sangat aduhai dengan kehadiran Trio Belanda dalam diri Frank Rijkaard, Ruud Gullit, dan Marco van Basten.
Baca:AC Milan Tergadai |
Masuk ke dekade 1990-an, kegemilangan sepakbola Italia bukan memudar tetapi semakin mengkilap. Sampdoria berhasil menjadi finalis Piala Champions (kini Liga Champions) 1992, hanya kalah 0-1 dari Barcelona gara-gara gol sepakan jarak jauh Ronald Koeman.
Milan pun melanjutkan kejayaannya, meski tanpa Sacchi dan Trio Belanda. Tangan dingin pelatih Fabio Capello membawa Paolo Maldini dan kolega menjadi juara Eropa 1994.
Pada pertengahan 1990-an berganti Juventus yang jadi primadona. Pelatih jenius tetapi perokok berat bernama Marcelo Lippi menjadi kunci kebangkitan Si Nyonya Tua. Juventus berhasil menjadi juara Eropa pada 1995 dengan para maesto seperti Gianluca Vialli, Fabrizio Ravanelli, Antonio Conte, Angelo Peruzzi, dan lain-lain.
Kemudian jelang akhir dekade 1990-an, giliran Inter Milan yang mencuri sensasi. Dari sisi prestasi, Inter sebenarnya kalah mentereng ketimbang Milan atau Juventus. Namun peristiwa pada 1997 yang membuat La Beneamata menjadi sorotan dunia.
Massimo Moratti, pengusaha minyak yang cintanya kepada Inter tidak terbantahkan, rela menjebol rekeningnya sampai US$ 27 juta untuk memboyong Ronaldo Luiz Nazario de Lima dari Barcelona (Spanyol). Ronaldo bukan Cristiano kala itu baru mendapat penghargaan sebagai pemain terbaik dunia, sehingga untuk membuatnya datang ke San Siro harus melibatkan rekor transfer termahal dunia.
Kilau sepakbola Negeri Menara Pisa berlanjut hingga ke awal dekade 2000-an. Kala itu, duo ibukota AS Roma dan Lazio yang kerap mencuri perhatian.
Lazio yang diisi pemain kelas dunia macam Juan Sebastian Veron, Marcelo Salas, Matias Almeyda, Pavel Nedved, sampai Sergio Conceicao berhasil menjadi scudetto pada musim 1999-2000. Sementara Roma menjadi campioni d'Italia pada musim 2000-2001.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Jadi, pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an bisa dibilang kiblat sepakbola dunia adalah Italia. Pemain-pemain top dunia berkumpul di sana, membuat Serie A sebagai tujuan utama.
Jadi wajar saja rekor transfer termahal dunia kala itu didominasi oleh klub-klub Italia. Gianluigi Lentini, Ronaldo, Christian Vieri, Hernan Crespo, semuanya menjadi pemain termahal dunia kala berlaga di Italia.
Namun semua itu berubah 180 derajat mulai pertengahan 2006. Ketika itu, terjadi skandal pengaturan skor yang akrab disebut calciopoli. Skandal itu melibatkan klub-klub besar seperti Juventus, AC Milan, Lazio, sampai Fiorentina. Juventus dijatuhi hukuman paling berat, dipaksa turun kelas ke Serie B.
Sejak saat itu sampai sekarang, pamor sepakbola Italia belum kembali. Pemain-pemain top dunia tidak lagi menjadikan bermain Italia sebagai puncak karier.
Posisi itu diambil alih oleh Liga Primer Inggris dan La Liga Spanyol. Mengutip data Transfermrkt, valuasi Liga Primer saat ini adalah EUR 9,12 miliar (Rp 142,96 triliun). La Liga berada di posisi kedua dengan valuasi EUR 6,15 miliar (Rp 96,4 triliun), dan Serie A berada di peringkat ketiga dengan nilai EUR 5,17 miliar (Rp 81,04 triliun).
Baca: Selamat Datang, Liga Termahal Dunia!
Bintang-bintang yang datang ke Italia pun kebanyakan sudah berstatus expired. Tidak ada lagi pemain bintang dalam usia prima mau ke Italia.
Cerita Ronaldo yang ngambek di Barcelona gegara ingin pindah ke Inter adalah sesuatu mustahil terjadi saat ini. Kalau, misalnya, Lionel Messi yang sedang dalam usia emas mau pindah dari Barcelona ke Inter, mungkin perlu diperiksa kesehatan jiwanya.
Oleh karena itu, pilihan orang terkaya Indonesia untuk memilih Italia sebagai tempat 'mainan baru' bisa dibilang unik. Bukan hanya memilih Como (klub antar-berantah yang bermain di Serie C), tetapi menjadikan Italia sebagai tujuan pun seperti ketinggalan zaman...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Liga Spanyol Sampai Inggris Cs Boncos Rp 30 T Gegara Covid-19
Most Popular