
Daya Saing RI Melorot, Ini Catatan dari Pelaku Usaha
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
10 October 2019 14:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim menanggapi turunnya peringkat daya saing Indonesia yang menempati peringkat ke-50 dari 141 negara atau turun 5 peringkat dari posisi ke-45.
Indonesia memang masih dihadapkan pada persoalan kemudahan berinvestasi. Beberapa di antaranya masih berkaitan pada perizinan
"Realitasnya di Indonesia kalau membuka usaha masih memakan waktu yang lama. Kemudian masih ada hal lain seperti kepastian hukum yang menjadi kekhawatiran," kata Silmy di sela-sela diskusi Non-Tarrif Measures di menara Kadin, Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Ia menjelaskan, hal pertama yang dipertimbangkan calon investor adalah peluang investasi. Indonesia, sambungnya, memiliki modal itu dengan pasar yang bagus, mempunyai banyak Sumber Daya Alam (SDA) dan komoditas asli.
"Setelah itu, mereka berpikir diganggu tidak? Mudah tidak? Cepat tidak?" kata Silmy yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel.
Saat berinvestasi di Indonesia, pengusaha terlebih dahulu melewati sejumlah perizinan dimulai dari IMB, izin gangguan, izin perdagangan dan perindustrian.
"Ini mempengaruhi, terus terang, kita masih lemah dalam hal itu sehingga perlu ada perbaikan-perbaikan," katanya.
Ia memandang, solusi dari masalah daya saing dapat diwujudkan dengan penerapan teknologi untuk mempercepat proses perizinan, mempercepat arus informasi yang akan memberikan efisiensi.
"Dari pengalaman saya di BUMN yang bisa mempercepat transformasi itu adalah teknologi," kata Silmy.
Pada pekan ini, World Economic Forum merilis Global Competitiveness Report 2019. Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara, turun lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya di posisi ke-45.
Indonesia mengumpulkan skor 64,6 atau turun tipis 0,3 dibandingkan tahun lalu. Adapun kekuatan utama Indonesia menurut WEF adalah pasar dengan nilai 82,4 dan stabilitas ekonomi dengan poin 90.
(hoi/hoi) Next Article Ambisi Jokowi Kalahkan Vietnam Bertarung Soal Daya Saing
Indonesia memang masih dihadapkan pada persoalan kemudahan berinvestasi. Beberapa di antaranya masih berkaitan pada perizinan
"Realitasnya di Indonesia kalau membuka usaha masih memakan waktu yang lama. Kemudian masih ada hal lain seperti kepastian hukum yang menjadi kekhawatiran," kata Silmy di sela-sela diskusi Non-Tarrif Measures di menara Kadin, Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Ia menjelaskan, hal pertama yang dipertimbangkan calon investor adalah peluang investasi. Indonesia, sambungnya, memiliki modal itu dengan pasar yang bagus, mempunyai banyak Sumber Daya Alam (SDA) dan komoditas asli.
"Setelah itu, mereka berpikir diganggu tidak? Mudah tidak? Cepat tidak?" kata Silmy yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel.
Saat berinvestasi di Indonesia, pengusaha terlebih dahulu melewati sejumlah perizinan dimulai dari IMB, izin gangguan, izin perdagangan dan perindustrian.
"Ini mempengaruhi, terus terang, kita masih lemah dalam hal itu sehingga perlu ada perbaikan-perbaikan," katanya.
Ia memandang, solusi dari masalah daya saing dapat diwujudkan dengan penerapan teknologi untuk mempercepat proses perizinan, mempercepat arus informasi yang akan memberikan efisiensi.
"Dari pengalaman saya di BUMN yang bisa mempercepat transformasi itu adalah teknologi," kata Silmy.
Pada pekan ini, World Economic Forum merilis Global Competitiveness Report 2019. Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara, turun lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya di posisi ke-45.
Indonesia mengumpulkan skor 64,6 atau turun tipis 0,3 dibandingkan tahun lalu. Adapun kekuatan utama Indonesia menurut WEF adalah pasar dengan nilai 82,4 dan stabilitas ekonomi dengan poin 90.
(hoi/hoi) Next Article Ambisi Jokowi Kalahkan Vietnam Bertarung Soal Daya Saing
Most Popular