Produk RI Wajib Halal, Ini Alur Sertifikasinya

Efrem Limsan Siregar, CNBC Indonesia
09 October 2019 07:26
Produk RI Wajib Halal, Ini Alur Sertifikasinya
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku usaha makanan dan minuman diwajibkan untuk mempunyai sertifikat halal dan label halal pada produk mereka.

Selain makanan dan minuman, produk lain yang wajib bersertifikat halal di antaranya, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ketentuan ini diatur dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Aturan wajib bersertifikasi halal efektif berlaku pada 17 Oktober 2019 mendatang atau 5 tahun setelah UU 33/2014 diundangkan sebagaimana diatur pada pasal 67 ayat 1.

Lalu bagaimana alur untuk mendapatkan sertifikat halal?

Hal ini sudah diatur pada Bab V UU 33/2014 tentang Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal.

Merujuk pada pasal 29 ayat 1, pertama, disebutkan bahwa pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). BPJPH merupakan badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.

Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen, di antaranya, data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk.

Setelah itu dipenuhi, BPJPH akan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Penetapan LPH dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap.

Nah, LPH ini bisa didirikan oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam PP 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 33/2014, syarat pendirian LPH sudah diatur pada pasal 33.



BERLANJUT KE HAL 2 >>>>

Syarat-syarat itu di antaranya, memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya, memiliki akreditasi dari BPJPH, memiliki auditor halal minimal 3 orang dan memiliki laboratorium.

Kembali ke UU 33/2014, setelah LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan kepada BPJPH. Kemudian, BPJPH menyampaikan hasil tersebut kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan produk.

Penetapan kehalalan produk menjadi wewenang MUI. Untuk sampai pada penetapan, terlebih dahulu dilakukan Sidang Fatwa Halal sebagaimana disebut pada pasal 33 ayat 2 UU 33/2014.

Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 30 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH. Keputusan penetapan halal produk kemudian ditandatangani oleh MUI dan selanjutnya disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal.

Namun, jika Sidang Fatwa Halal menyatakan produk tidak halal, maka BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha disertai dengan alasan.

Bagi pelaku usaha yang telah mendapat sertifikat halal, dia wajib mencantumkan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk dan/atau tempat tertentu pada produk.

Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. BPJPH menetapkan bentuk label halal yang berlaku nasional. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan Menteri Agama.

Sementara, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.

Namun, sebagaimana disebut pada pasal 26, pelaku usaha ini wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya.


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular