
Eropa, 'Pusat Gempa' Resesi Ekonomi Dunia?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 September 2019 07:24

Sekarang kita masuk ke Inggris. Seperti di Jerman, angka PMI Inggris juga suram.
Pada Agustus, PMI manufaktur Negeri Ratu Elizabeth berada di 47,4, turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 48. Angka Agustus menjadi yang terendah dalam 85 bulan, sedikit lebih parah ketimbang Jerman.
"Sektor manufaktur Inggris memburuk pada Agustus, di mana permintaan domestik dan ekspor turun ke titik terendah dalam tujuh tahun. Arus investasi juga berkurang karena kekhawatiran terhadap situasi politik. Sejumlah perusahaan dari Eropa Daratan sudah memindahkan pabriknya ke luar Inggris. Tantangan ke depan masih membentang," sebut Duncan Brock, Group Director di Chartered Institute of Procurement & Suppy (CIPS), seperti dikutip dari siaran tertulis.
Baca: Jelang Brexit, Perusahaan Besar Mulai Hengkang dari Inggris
Inggris memang tengah menghadapi pergumulan politik terparah dalam beberapa dekade terakhir. Penyebabnya apa lagi kalau bukan Brexit.
Sejak referendum pada 2016 yang hasilnya mengamanatkan Inggris bercerai dengan Uni Eropa, prosesnya tidak semulus yang dibayangkan. Semestinya Inggris sudah minggat pada 19 Maret 2019, tetapi kemudian diundur sampai dua kali. Kesepakatan teranyar adalah Brexit terjadi pada 31 Oktober tahun ini.
Negosiasi Inggris-Uni Eropa yang terjal dan berliku sudah memakan korban. Theresa May memilih mundur dari kursi Perdana Menteri, dan posisinya digantikan oleh sang mantan Menteri Luar Negeri, Boris Johnson.
Johnson adalah figur yang penuh kontroversi, dan seorang euroskeptik. Dia berjanji akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa meski tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit).
Baca: No-Deal Brexit Kian Nyata, Internal Inggris Bergejolak
Masalahnya, No Deal Brexit adalah sebuah katastrofe bagi perekonomian Inggris. Tanpa kesepakatan apa-apa, Inggris akan kesulitan berdagang dengan Uni Eropa dan begitu pula sebaliknya. Sebab perdagangan Inggris-Uni Eropa tidak lagi berstatus spesial sehingga harus memenuhi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), salah satunya dikenakan bea masuk.
Apabila terkena bea masuk, produk Inggris menjadi lebih mahal ketika sampai di Eropa Daratan. Padahal negara-negara Eropa Kontinental adalah mitra dagang utama Inggris. Kalau barang Inggris menjadi mahal, permintaannya bisa berkurang sehingga ekspor melambat dan pertumbuhan ekonomi tersendat.
Oleh karena itu, tidak salah kalau Bank Sentral Inggris (BoE) sampai memprediksi Inggris bakal mengalami resesi terparah sejak krisis keuangan global 2008 kalau No Deal Brexit sampai terjadi. Mark Carney, Gubernur BoE, menyatakan peluang Inggris jatuh ke jurang resesi adalah 1 banding 3.
"Kami akan melakukan apa yang kami mampu. Namun itu tentu ada batasnya," ujar Carney beberapa waktu lalu, dikutip dari BBC.
Menurut kajian BoE, ekonomi Inggris bisa terkontraksi sampai minus 5,5% gara-gara No Deal Brexit. Sementara inflasi diperkirakan bisa menyentuh 7% dan angka pengangguran melonjak ke 5,5%.
Baca: Jika No-Deal Brexit Lanjut, Inggris Bisa Resesi Tahun Depan
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/sef)
Pada Agustus, PMI manufaktur Negeri Ratu Elizabeth berada di 47,4, turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 48. Angka Agustus menjadi yang terendah dalam 85 bulan, sedikit lebih parah ketimbang Jerman.
"Sektor manufaktur Inggris memburuk pada Agustus, di mana permintaan domestik dan ekspor turun ke titik terendah dalam tujuh tahun. Arus investasi juga berkurang karena kekhawatiran terhadap situasi politik. Sejumlah perusahaan dari Eropa Daratan sudah memindahkan pabriknya ke luar Inggris. Tantangan ke depan masih membentang," sebut Duncan Brock, Group Director di Chartered Institute of Procurement & Suppy (CIPS), seperti dikutip dari siaran tertulis.
Inggris memang tengah menghadapi pergumulan politik terparah dalam beberapa dekade terakhir. Penyebabnya apa lagi kalau bukan Brexit.
Sejak referendum pada 2016 yang hasilnya mengamanatkan Inggris bercerai dengan Uni Eropa, prosesnya tidak semulus yang dibayangkan. Semestinya Inggris sudah minggat pada 19 Maret 2019, tetapi kemudian diundur sampai dua kali. Kesepakatan teranyar adalah Brexit terjadi pada 31 Oktober tahun ini.
Negosiasi Inggris-Uni Eropa yang terjal dan berliku sudah memakan korban. Theresa May memilih mundur dari kursi Perdana Menteri, dan posisinya digantikan oleh sang mantan Menteri Luar Negeri, Boris Johnson.
Johnson adalah figur yang penuh kontroversi, dan seorang euroskeptik. Dia berjanji akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa meski tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit).
Baca: No-Deal Brexit Kian Nyata, Internal Inggris Bergejolak
Masalahnya, No Deal Brexit adalah sebuah katastrofe bagi perekonomian Inggris. Tanpa kesepakatan apa-apa, Inggris akan kesulitan berdagang dengan Uni Eropa dan begitu pula sebaliknya. Sebab perdagangan Inggris-Uni Eropa tidak lagi berstatus spesial sehingga harus memenuhi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), salah satunya dikenakan bea masuk.
Apabila terkena bea masuk, produk Inggris menjadi lebih mahal ketika sampai di Eropa Daratan. Padahal negara-negara Eropa Kontinental adalah mitra dagang utama Inggris. Kalau barang Inggris menjadi mahal, permintaannya bisa berkurang sehingga ekspor melambat dan pertumbuhan ekonomi tersendat.
Oleh karena itu, tidak salah kalau Bank Sentral Inggris (BoE) sampai memprediksi Inggris bakal mengalami resesi terparah sejak krisis keuangan global 2008 kalau No Deal Brexit sampai terjadi. Mark Carney, Gubernur BoE, menyatakan peluang Inggris jatuh ke jurang resesi adalah 1 banding 3.
"Kami akan melakukan apa yang kami mampu. Namun itu tentu ada batasnya," ujar Carney beberapa waktu lalu, dikutip dari BBC.
Menurut kajian BoE, ekonomi Inggris bisa terkontraksi sampai minus 5,5% gara-gara No Deal Brexit. Sementara inflasi diperkirakan bisa menyentuh 7% dan angka pengangguran melonjak ke 5,5%.
Baca: Jika No-Deal Brexit Lanjut, Inggris Bisa Resesi Tahun Depan
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/sef)
Next Page
Kalau Eropa Resesi, Dunia Kena Getahnya
Pages
Most Popular