Sampai 2050 RI Mungkin Belum Resesi, Tapi Harus Hati-hati!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 September 2019 07:09
Sampai 2050 RI Mungkin Belum Resesi, Tapi Harus Hati-hati!
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian ekonomi global masih tinggi, yang bisa saja berujung kepada resesi. Indonesia mungkin jauh dari jurang resesi, tetapi kewaspadaan tidak boleh dikendurkan.

Dana Moneter Internasional (IMF) memiliki perangkat untuk mengukur tingkat ketidakpastian ekonomi global yaitu World Uncertainty Index (WUI). Indikator ini dikembangkan oleh Hites Ahir dan Davide Furceri dari IMF bekerja sama dengan Nicholas Bloom dari Stanford University.

WUI mengukur tingkat ketidakpastian global dan 143 negara secara individual. Data ini berasal dari kompilasi laporan Economist Intelligence Unit (EIU). Dasarnya adalah menghitung kata 'ketidakpastian' (uncertainty, uncertainties, uncertain).


Dalam beberapa waktu terakhir, ternyata kata-kata tersebut sangat erat berhubungan dengan proteksionisme, North American Free Trade Agreement (NAFTA), bea masuk, perdagangan, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dan World Trade Organizations (WTO). Jadi sudah jelas bahwa sumber utama ketidakpastian ekonomi global dalam beberapa waktu terakhir adalah perdagangan.

 

"WUI menunjukkan bahwa ketidakpastian mulai meningkat sekitar kuartal III-2018, bertepatan dengan babak lanjutan pengenaan bea masuk baik oleh Amerika Serikat (AS) maupun China. Kemudian ketidakpastian mulai turun pada kuartal berikutnya seiring 'gencatan' senjata AS-China di pertemuan G20 di Buenos Aires. Namun pada kuartal I-2019, ketidakpastian kembali meningkat, lagi-lagi karena pengenaan bea masuk baru.

"Kami menemukan bahwa ketidakpastian ini akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi dunia. Berdasarkan perkiraan kami, ketidakpastian di sisi perdagangan cukup untuk membuat pertumbuhan ekonomi global berkurang 0,75 poin persentase pada 2019," papar laporan IMF.

Saat AS dan China, dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, saling hambat dalam berdagang maka yang menjadi korban adalah rantai pasok global. Arus perdagangan dan investasi global menjadi seret sehingga membuat pertumbuhan ekonomi melambat.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Kalau mau adu kuat-kuatan lawan China, sepertinya AS bakal kalah. Sebab, sudah banyak yang merilis proyeksi bahwa kans AS untuk memasuki masa resesi pada 2020 semakin tinggi.

Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang New York dengan melihat tren imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun, sampai pada kesimpulan bahwa probabilitas resesi di AS pada Agustus 2020 adalah 37,93%. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2008.

The Fed Cleveland bahkan punya prediksi yang lebih seram lagi. Dengan memperhatikan yield obligasi pemerintah tenor 3 bulan dan 10 tahun serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, maka peluang terjadinya resesi pada Agustus 2020 mencapai 44,13%. Juga tertinggi sejak Maret 2013.


Selain dari The Fed, pihak lain juga menilai peluang AS untuk terpeleset ke jurang resesi lumayan besar. Misalnya di laporan US National Association for Business Economics (NABE) edisi Agustus 2019. Dalam laporan ini, tertuang hasil survei terhadap 226 anggota NABE yang dilakukan pada 14 Juli-1 Agustus.

Hasilnya, 38% responden memperkirakan AS akan mengalami resesi pada 2020. Kalau tidak 2020, bisa jadi resesi akan jatuh pada 2021 di mana 34% responden memperkirakan demikian.

US National Association for Business Economics

Bagaimana dengan China? Sepertinya jalan Negeri Tirai Bambu menuju resesi masih teramat panjang. Mengutip proyeksi Oxford Economics, pertumbuhan ekonomi China masih akan tetap di jalur positif setidaknya sampai 2050. Namun memang lajunya akan semakin melambat.

Mungkin dalam hal ini China boleh sombong. Resesi? Apa itu resesi?




(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Masalahnya, kalau AS sampai resesi maka seluruh dunia bakal kena getahnya. Maklum, AS adalah perekonomian terbesar di dunia, negara konsumen nomor satu di kolong langit.



Resesi tentu akan menurunkan permintaan di AS dan membuat ekspor seluruh dunia bermasalah, termasuk Indonesia. Bukan apa-apa, AS adalah negara tujuan ekspor kedua terbesar bagi Indonesia setelah China.

Pada Januari-Agustus, ekspor Indonesia ke AS tercatat US$ 11,51 miliar. Jumlah tersebut mencapai 11,35% dari total ekspor non-migas Tanah Air.



Jadi kalau permintaan dari AS berkurang tentu terasa betul buat Indonesia. Ekspor bakal melambat, dan bukan tidak mungkin terkontraksi.

Sekarang saja ekspor Indonesia sudah minus selama 10 bulan beruntun. Kalau AS sampai resesi, catatan itu bakal semakin panjang.


Oleh karena itu, masalah ekonomi di AS akan dirasakan sampai ke Indonesia. Menurut riset Deutsche Bank, saat pertumbuhan ekonomi AS turun 1% maka ekonomi Indonesia bakal turun 0,1%.

Seperti halnya China, resesi juga sepertinya masih jauh dari Indonesia. Menurut perkiraan Oxford Economics, ekonomi Indonesia masih akan tumbuh positif sampai 2050.



Namun, bukan berarti Indonesia boleh berleha-leha. Sebab selama kata resesi masih berseliweran, maka perlambatan ekonomi adalah sebuah risiko yang sangat nyata.




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular