UU SDA Lahir Lagi, Seberapa Darurat Masalah Air di RI?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 September 2019 19:17
UU SDA Lahir Lagi, Seberapa Darurat Masalah Air di RI?
Foto: Ilustrasi Air Bersih di Kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, Selasa (9/7/2019). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Selasa (17/9) DPR ketuk palu mengesahkan Rancangan Undang - Undang Sumber Daya Alam (RUU SDA) melalui sidang paripurna di Kompleks Senayan.

Pengesahan RUU itu adalah buah dari Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) seluruhnya pada 2015 silam.

Tak dapat dipungkiri bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang vital bagi semua negara di dunia ini. Setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan setiap harinya tidak terlepas dari peranan air. Oleh karena itu negara melihat air sebagai objek strategis yang perlu dikelola dengan baik. Negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi landasan pengelolaan air.

Bagaimana kondisi & pengelolaan air di Indonesia, apakah bermasalah? Indonesia memang bisa dibilang sudah darurat air. Lho, kok bisa? Mari kita telusuri bersama.

Indonesia adalah negara kepulauan yang dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah. Menurut laporan Asian Development Bank (ADB) tahun 2016, ketersediaan air di Indonesia setiap tahunnya mencapai 690 miliar meter kubik (m3).

Jumlah tersebut jauh melampaui kebutuhan air orang Indonesia yang hanya 175 miliar meter kubik (m3). Namun kapasitas penampungan air Indonesia terus mengalami penurunan sejak 1945-2014.

Hingga saat ini, kapasitas reservoir air Indonesia mencapai 12,56 miliar m3 atau setara dengan 52,55 m3 per kapita. Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan negara-negara kawasan Asia lainnya.

RUU SDA Disahkan, RI Darurat Air!Sumber : Asian Development Bank


Selain kapasitas penampungan air yang terus menurun, kualitas perairan di Indonesia juga sangat mengkhawatirkan. Menurut studi yang sama yang dilakukan ADB, kualitas air di sungai & danau Indonesia bahkan tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air minum.

Lebih dari setengah sampel air sungai yang dicuplik mengindikasikan tidak masuk kualitas air kelas II. Sebagai tambahan informasi, kualitas air golongan II dapat digunakan untuk berbagai aktivitas seperti rekreasi, irigasi, pembudidayaan ikan air tawar dan peternakan menurut PP No. 82 Tahun 2001.

Dari 44 sungai besar di Indonesia, hanya 4 sungai yang kualitas airnya memenuhi baku mutu air kelas II. Hasil yang tak jauh beda juga dijumpai di air danau. Dari 15 danau terbesar di Indonesia yang di sampling, hampir semua menyandang status tercemar parah (hipereutrofikasi).

Tercemarnya perairan di Indonesia diakibatkan oleh beberapa polutan seperti limbah cair domestik rumah tangga, sanitasi yang buruk, industri, pertambangan, agrikultur, perikanan, limbah padat hingga limbah berupa logam.

Untuk diketahui bahwa lebih dari 110 juta orang yang tinggal di perkotaan, hanya 1% dari limbah cair yang berhasil dikumpulkan dan mendapatkan treatment yang sesuai, sedangkan limbah cair dari 130 juta rumah tangga di pedesaan bahkan tidak dikumpulkan dan ditangani dengan baik.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Akibatnya pencemaran tidak hanya terjadi di sungai dan danau tetapi juga sampai ke air tanah. Hampir seluruh air tanah yang dangkal di kota-kota besar di Pulau Jawa telah tercemar.

Yang juga tak kalah menyedihkan adalah 45% air tanah di Jakarta telah terkontaminasi fecal coliform dan 80% tercemar bakteri E.coli. Untuk diketahui bersama kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri penyebab disentri, tifus, hepatitis dan berbagai penyakit lainnya.
 

Hal tersebut sudah menjadi cukup gambaran bahwa pengelolaan SDA di Indonesia masih buruk. Pengelolaan SDA yang tidak baik memiliki dampak ekonomis serius bagi perekonomian suatu negara. Beberapa dampak negatif akibat tidak terkelolanya SDA dengan baik antara lain :

  • Peningkatan biaya kesehatan akibat penyakit yang ditimbulkan oleh pencemaran air yang digunakan sebagai air minum, air untuk budidaya perikanan maupun peternakan
  • Penurunan estetika wilayah rekreasi dan pariwisata yang dapat berdampak pada berkurangnya pendapatan daerah maupun nasional
  • Penurunan biodiversitas yang dapat menyebabkan ekosistem terganggu, hingga
  • Berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur dan real estate di dekat wilayah permukaan air

Sejauh ini, konsumsi air paling banyak masih di Pulau Jawa. Maklum saja Pulau Jawa masih jadi pulau terpadat di Indonesia. Di Jawa, penggunaan air selain untuk kebutuhan sehari hari seperti minum, memasak serta mandi, cuci & kakus (MCK), porsi air yang terbesar digunakan untuk pengairan atau irigasi hampir 70%. Sementara 9% diserap untuk kebutuhan domestik, perkotaan serta perindustrian.

Jadi bayangkan saja jika jumlah air dengan kondisi layak yang kita butuhkan terus menurun dan tercemar, tentu dampaknya sistemik dan lagi-lagi akan berdampak negatif ke perekonomian.

Di tahun-tahun mendatang, permintaan air di Indonesia akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah populasi, laju urbanisasi yang tinggi serta permintaan untuk sektor industri serta energi.

Karena adanya urbanisasi, maka pertumbuhan populasi akan terkonsentrasi di daerah perkotaan sehingga permintaan air di daerah perkotaan akan naik sementara permintaan di pedesaan menurun. Permintaan air di wilayah perkotaan diprediksi naik dari 205 m3/s pada 2015 menjadi 283 m3/s pada 2030. Sementara itu, permintaan air di pedesaan turun dari 100 m3/s menjadi 86 m3/s.

RUU SDA Disahkan, RI Darurat Air!Sumber : Asian Development Bank

Struktur ekonomi Indonesia juga telah berubah, dari yang ditopang oleh sektor pertanian mulai bergeser ke manufaktur dan jasa. Pergeseran ini juga mengakibatkan peningkatan permintaan air untuk sektor industri. ADB memperkirakan jumlah permintaan air di tahun 2030 dua kali lipat dari 2013. Pada tahun 2020 permintaan air untuk industri berkisar di 20,1 m3/s dan pada 2030 naik jadi 28,7 m3/s.

RUU SDA Disahkan, RI Darurat Air!Sumber : Asian Development Bank


Air yang memiliki energi potensial dan kinetik secara fisika adalah kandidat kuatnya, sehingga permintaan air dan proporsi air untuk sektor energi dan pembangkit listrik akan terus meningkat. ADB memperkirakan permintaan air untuk pembangkit listrik akan meningkat hampir 88% di tahun 2030 dibanding tahun 2020.

RUU SDA Disahkan, RI Darurat Air!Sumber : Asian Development Bank



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

Dengan melihat kenyataan tersebut artinya praktik pengelolaan air di Indonesia hingga saat ini bisa dibilang belum sustainable. Peningkatan permintaan air yang semakin tinggi ke depannya artinya membutuhkan tidak hanya jumlah air yang mencukupi tapi juga kualitas air karena untuk tiap kebutuhan pastinya akan berbeda-beda jenis, kualitas serta kuantitas air yang dibutuhkan.

Hingga saat ini praktik pengelolaan air di Indonesia yang belum berkelanjutan menyebabkan Indonesia terpapar risiko yang cukup besar di masa yang akan datang akibat adanya isu pemanasan global serta perubahan iklim yang jadi biang kerok langkanya pasokan air global.

Menurut studi yang dilakukan oleh World Resource Institute (WRI), menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang berisiko menengah ke tinggi akibat adanya krisis air. Sementara banyak negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara seperti Qatar, Lebanon, Libya, Kuwait & Arab Saudi menjadi negara yang paling berisiko akibat berkurangnya pasokan air.

Jadi kalau Indonesia masih mengalami penurunan kapasitas penampungan air serta degradasi kualitas air bisa dipastikan risiko Indonesia mengalami krisis air akan menjadi semakin tinggi dan bukan tidak mungkin air akan jadi barang yang langka dan harganya sangat mahal.

Dengan adanya pengesahan RUU SDA diharapkan jadi momentum agar Indonesia bisa lebih baik dalam mengelola salah satu aset paling berharganya. Ini bukan cuma masalah pemerintahnya saja, pelaku industri atau masyarakat.

Ini adalah tanggung jawab kita semua untuk mengubah pola pikir dalam melihat air sebagai komoditas yang murah menjadi objek vital dan strategis  yang perlu dikelola dengan baik agar memberikan dampak optimal bagi perekonomian yang berkelanjutan.


(TIM RISET CNBC INDONESIA)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular