
Harga Rokok Naik, Siap-siap PHK Massal?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 September 2019 15:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan cukai rokok hingga 23% menyebabkan harga jual ecerannya pun naik hingga 35%. Kenaikan harga yang drastis dapat menyebabkan turunnya konsumsi rokok yang berimbas pada kemungkinan penurunan penjualan. Akibatnya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah risiko yang nyata.
Harga rokok yang naik drastis dapat menurunkan daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya konsumsi rokok jadi turun. Mau tidak mau produsen rokok harus cari jalan untuk memangkas ongkos produksi rokok yang bisa mencapai 80% dari total penjualan. Salah satu skenario yang mungkin adalah pemutusan hubungan kerja karyawan terutama untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya.
Pasalnya selama periode 2009-2018, pangsa pasar rokok SKT terus menurun. Menurut studi yang dilakukan Nielsen, pangsa pasar segmen rokok SKT pada 2009 mencapai 30,6%, tetapi turun drastis hingga 23,9%
Pada 2013, studi lain yang dilakukan oleh Mirae Aset Sekuritas menyebutkan bahwa pangsa pasar rokok SKT terus menurun. Hingga kuartal III-2018, pangsa pasar SKT tinggal 17,3%.
Hal tersebut salah satunya diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan rokok yang mulai bergeser ke segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM). Produk SKM lebih menguntungkan karena biaya produksinya yang lebih efisien.
Satu mesin rokok memiliki kapasitas seperti 4.500 karyawan. Dengan adanya mesin tersebut tentu dapat memangkas ongkos tenaga kerja secara signifikan.
Akibat pergeseran tren tersebut, jumlah PHK pada industri hasil rokok meningkat. Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sudarto, selama lima tahun terakhir ini sudah ada lebih dari 32.000 karyawan industri hasil tembakau yang dirumahkan.
Itu jumlah yang tercatat dalam organisasi, yang tidak tercatat jumlahnya kemungkinan besar lebih banyak. Kebanyakan dari karyawan yang dirumahkan adalah mereka yang bekerja sebagai pelinting SKT yang notabene adalah perempuan dengan tingkat pendidikan rendah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Harga rokok yang naik drastis dapat menurunkan daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya konsumsi rokok jadi turun. Mau tidak mau produsen rokok harus cari jalan untuk memangkas ongkos produksi rokok yang bisa mencapai 80% dari total penjualan. Salah satu skenario yang mungkin adalah pemutusan hubungan kerja karyawan terutama untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya.
Pasalnya selama periode 2009-2018, pangsa pasar rokok SKT terus menurun. Menurut studi yang dilakukan Nielsen, pangsa pasar segmen rokok SKT pada 2009 mencapai 30,6%, tetapi turun drastis hingga 23,9%
Hal tersebut salah satunya diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan rokok yang mulai bergeser ke segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM). Produk SKM lebih menguntungkan karena biaya produksinya yang lebih efisien.
Satu mesin rokok memiliki kapasitas seperti 4.500 karyawan. Dengan adanya mesin tersebut tentu dapat memangkas ongkos tenaga kerja secara signifikan.
Akibat pergeseran tren tersebut, jumlah PHK pada industri hasil rokok meningkat. Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sudarto, selama lima tahun terakhir ini sudah ada lebih dari 32.000 karyawan industri hasil tembakau yang dirumahkan.
Itu jumlah yang tercatat dalam organisasi, yang tidak tercatat jumlahnya kemungkinan besar lebih banyak. Kebanyakan dari karyawan yang dirumahkan adalah mereka yang bekerja sebagai pelinting SKT yang notabene adalah perempuan dengan tingkat pendidikan rendah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Most Popular