
Jakarta "Tenggelam" 7 cm/Tahun, Waspada Krisis Air Tanah
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
16 September 2019 18:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi air tanah Jakarta telah mengalami penurunan permukaan. Penurunan muka air tanah ini akan berkontribusi terhadap penurunan tanah Jakarta dikarenakan pemanfaatan air tanah masih dominan dimanfaatkan sebagai sumber air gedung-gedung di Jakarta.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani, seperti dikutip dari keterangan resminya, Senin (16/9/2019).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, air tanah berada di pori-pori batuan yang semulanya terisi air setelah diekstrasi menjadi kosong ketika air dipompa naik ke atas permukaan. Antar butiran di bawah tanah terjadi pemadatan, sehingga akhirnya tanah bisa ambles dan mengalami kerusakan.
Penurunan tanah di Jakarta terjadi dengan kecepatan bervariasi. Secara umum, sisi utara lebih cepat daripada sisi selatan. Di sisi utara (daerah Ancol), muka tanah turun hingga sekitar 7 cm per tahun didasarkan pada data peta zona kerusakan air tanah pada Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta pada 2013 dan pada tahun 2018 hasil kegiatan survei dan penelitian Balai Konservasi Air Tanah- Badan Geologi Kementerian ESDM.
Dihubungi di kesempatan terpisah, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar lebih rinci menjelaskan, melalui pengamatan pihaknya terhadap pola kontur muka air tanah, terdapat cekungan-cekungan di bagian barat laut dan timur laut. Ini merupakan indikasi adanya pengambilan air tanah secara masif.
Namun, lanjut Rudy, jika dilihat dari ketinggian muka air tanahnya dari 2013-2018 mengalami perubahan positif, ditandai dengan adanya kenaikan muka air tanah, meski tidak terlalu besar kenaikannya.
"Terlihat pada 2013 muka air tanah paling dalam itu -40 meter di bawah permukaan tanah, kemudian 2018 naik menjadi -35 meter, atau ada kenaikan 5 meter," terang Rudy saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019).
Penyebabnya, lanjut Rudy, karena adanya kegiatan-kegiatan konservasi air tanah yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat. Contohnya, di Kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP) yang sudah dilarang penggunaan air tanah karena masuk kategori zona rusak.
"Kami keluarkan kebijakan untuk daeraha tersebut tidak memberikan rekomendasi teknis untuk pengambilan air tanah. Tentunya juga adanya peran dari Pemda DKI dalam melakukan program zero deep well di kawasan JIEP, karena sebagian besar, hampir 100% sudah terpenuhi oleh PAM," tuturnya.
Adapun, Jakarta bukan satu-satunya daerah yang mengalami penurunan muka air tanah. Rudy mencatat, terdapat beberapa daerah lain yang sudah dan masih berpotensi mengalami hal serupa.
"Ada (wilayah lain), di Bandung itu juga ada cekungan di bagian timur dan Cimahi Selatan, sedangkan di Yogyakarta, Semarang, dan kota-kota besar lainnya seperti Denpasar dan Surabaya, itu berpotensi turun, Yogya terancam turun permukaannya," pungkas Rudy.
(gus) Next Article Atasi Polusi, Jonan Usul Jakarta Pakai Cara China Ini
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani, seperti dikutip dari keterangan resminya, Senin (16/9/2019).
Penurunan tanah di Jakarta terjadi dengan kecepatan bervariasi. Secara umum, sisi utara lebih cepat daripada sisi selatan. Di sisi utara (daerah Ancol), muka tanah turun hingga sekitar 7 cm per tahun didasarkan pada data peta zona kerusakan air tanah pada Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta pada 2013 dan pada tahun 2018 hasil kegiatan survei dan penelitian Balai Konservasi Air Tanah- Badan Geologi Kementerian ESDM.
Dihubungi di kesempatan terpisah, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar lebih rinci menjelaskan, melalui pengamatan pihaknya terhadap pola kontur muka air tanah, terdapat cekungan-cekungan di bagian barat laut dan timur laut. Ini merupakan indikasi adanya pengambilan air tanah secara masif.
Namun, lanjut Rudy, jika dilihat dari ketinggian muka air tanahnya dari 2013-2018 mengalami perubahan positif, ditandai dengan adanya kenaikan muka air tanah, meski tidak terlalu besar kenaikannya.
"Terlihat pada 2013 muka air tanah paling dalam itu -40 meter di bawah permukaan tanah, kemudian 2018 naik menjadi -35 meter, atau ada kenaikan 5 meter," terang Rudy saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019).
Penyebabnya, lanjut Rudy, karena adanya kegiatan-kegiatan konservasi air tanah yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat. Contohnya, di Kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP) yang sudah dilarang penggunaan air tanah karena masuk kategori zona rusak.
"Kami keluarkan kebijakan untuk daeraha tersebut tidak memberikan rekomendasi teknis untuk pengambilan air tanah. Tentunya juga adanya peran dari Pemda DKI dalam melakukan program zero deep well di kawasan JIEP, karena sebagian besar, hampir 100% sudah terpenuhi oleh PAM," tuturnya.
Adapun, Jakarta bukan satu-satunya daerah yang mengalami penurunan muka air tanah. Rudy mencatat, terdapat beberapa daerah lain yang sudah dan masih berpotensi mengalami hal serupa.
"Ada (wilayah lain), di Bandung itu juga ada cekungan di bagian timur dan Cimahi Selatan, sedangkan di Yogyakarta, Semarang, dan kota-kota besar lainnya seperti Denpasar dan Surabaya, itu berpotensi turun, Yogya terancam turun permukaannya," pungkas Rudy.
(gus) Next Article Atasi Polusi, Jonan Usul Jakarta Pakai Cara China Ini
Most Popular