Cerita Eks Bos Pertamina Soal Praktik Mafia Migas di Petral
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
12 September 2019 16:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku perlu lima tahun untuk membongkar praktik mafia migas di tubuh anak usaha Pertamina, Petral. KPK mengatakan perlu hati-hati sampai bisa mendapat bukti cukup untuk menaikkan status kasus ke penyidikan.
VP Marketing Pertamina Energy Service (PES) dan juga mantan bos Pertamina Energy Trading Limited (Petral), Bambang Irianto (BTO) pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan perkara suap terkait dengan perdagangan minyak mentah dan produk kilang.
Menanggapi hal ini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto yang juga eks Direktur Utama Pertamina buka suara. Ia mengapresiasi KPK masih lanjut untuk mengusut kasus Petral tersebut.
Ia mengatakan, ketika di awal-awal dirinya menjabat Direktur Utama Pertamina, dirinya sudah diminta KPK untuk memberikan paparan tentang Petral dan tentang hasil audit investigasi yang dilakukan auditor independen KordaMentha.
"Mereka minta semua data, ya kami sampaikan," kata Dwi saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Lebih lanjut, ia mengatakan, "Setelahnya belum ada berita lanjutan, dan ternyata setelah itu ditelusuri karena di KordaMentha kan tidak ada pernyataan mengenai nilai transfer dan sebagainya, karena ternyata tidak bisa mengakses data pribadi," jelasnya.
Ternyata, kabar terkini diketahui ada aliran dana. Sehingga, dirinya berharap langkah bisa penyidikan bisa dilanjutkan, dan upaya-upaya untuk membebaskan industri migas dari mafia. Selama kegiatan korupsi belum hilang betul, kata dia, tentu masih ada celah-celah korupsi yang bisa dilakukan.
"Selama tidak ada lembaga yang betul melakukan pengawasan secara baik, kemungkinan-kemungkinan seperti itu masih ada," pungkasnya.
Adapun, sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menuturkan, pihaknya berharap kepada pemerintah dan khususnya kepada Pertamina yang sampai saat ini masih membeli banyak minyak dari luar negeri, untuk tidak mengulangi praktik yang dilakukan oleh PES. Pasalnya, dicurigai saat ini pun masih terjadi praktik serupa atau memiliki risiko yang mirip dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh Petral dan PES.
"Karena, kami mendengarkan, sekarang ini, meski Petral sudah ditutup, tapi praktik sekarang masih mirip-mirip dengan model seperti itu (Petral dan PES), dan akhirnya merugikan keuangan negara," kata Laode.
"Jadi, yang paling penting, jangan sampai praktik seperti ini masih terjadi sekarang. Jangan sampai Pertamina masih beli minyak dari perantara, bukan pemilik langsung. Kalau beli (minyak) dari Malaysia, ya langsung saja ke Petronas, tidak perlu melalui a, b, c. Jadi satu step harganya, tidak diputar-putar," kata Laode.
Menurut pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, setelah Petral dibubarkan, kewenangan impor crude dan BBM dialihkan ke ISC di bawah Pertamina yang berkedudukan di Jakarta.
Sejak pengalihan tersebut, Fahmy menilai, pengadaan impor crude dan BBM relatif lebih baik dan transparan. Indikatornya, adanya penghematan dalam jumlah besar.
"Posisi ISC di Jakarta lebih memudahkan dalam pengawasan internal, maupun eksternal oleh BPK dan KPK," kata Fahmy saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (12/9/2019).
"Paska penetapan Bambang Irianto sebagai tersangka, akan lebih baik bagi KPK untuk lebih fokus dalam menangani pengusutan mafia migas, termasuk menjerat pentolan mafia migas dan aliran dana yang konon mengalir sampai jauh ke mana-mana," pungkasnya.
(gus) Next Article Ini Kata Mantan Orang Dalam Pertamina Soal Pengganti 'Petral'
VP Marketing Pertamina Energy Service (PES) dan juga mantan bos Pertamina Energy Trading Limited (Petral), Bambang Irianto (BTO) pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan perkara suap terkait dengan perdagangan minyak mentah dan produk kilang.
Ia mengatakan, ketika di awal-awal dirinya menjabat Direktur Utama Pertamina, dirinya sudah diminta KPK untuk memberikan paparan tentang Petral dan tentang hasil audit investigasi yang dilakukan auditor independen KordaMentha.
"Mereka minta semua data, ya kami sampaikan," kata Dwi saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Lebih lanjut, ia mengatakan, "Setelahnya belum ada berita lanjutan, dan ternyata setelah itu ditelusuri karena di KordaMentha kan tidak ada pernyataan mengenai nilai transfer dan sebagainya, karena ternyata tidak bisa mengakses data pribadi," jelasnya.
Ternyata, kabar terkini diketahui ada aliran dana. Sehingga, dirinya berharap langkah bisa penyidikan bisa dilanjutkan, dan upaya-upaya untuk membebaskan industri migas dari mafia. Selama kegiatan korupsi belum hilang betul, kata dia, tentu masih ada celah-celah korupsi yang bisa dilakukan.
"Selama tidak ada lembaga yang betul melakukan pengawasan secara baik, kemungkinan-kemungkinan seperti itu masih ada," pungkasnya.
Adapun, sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menuturkan, pihaknya berharap kepada pemerintah dan khususnya kepada Pertamina yang sampai saat ini masih membeli banyak minyak dari luar negeri, untuk tidak mengulangi praktik yang dilakukan oleh PES. Pasalnya, dicurigai saat ini pun masih terjadi praktik serupa atau memiliki risiko yang mirip dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh Petral dan PES.
"Karena, kami mendengarkan, sekarang ini, meski Petral sudah ditutup, tapi praktik sekarang masih mirip-mirip dengan model seperti itu (Petral dan PES), dan akhirnya merugikan keuangan negara," kata Laode.
"Jadi, yang paling penting, jangan sampai praktik seperti ini masih terjadi sekarang. Jangan sampai Pertamina masih beli minyak dari perantara, bukan pemilik langsung. Kalau beli (minyak) dari Malaysia, ya langsung saja ke Petronas, tidak perlu melalui a, b, c. Jadi satu step harganya, tidak diputar-putar," kata Laode.
Menurut pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, setelah Petral dibubarkan, kewenangan impor crude dan BBM dialihkan ke ISC di bawah Pertamina yang berkedudukan di Jakarta.
Sejak pengalihan tersebut, Fahmy menilai, pengadaan impor crude dan BBM relatif lebih baik dan transparan. Indikatornya, adanya penghematan dalam jumlah besar.
"Posisi ISC di Jakarta lebih memudahkan dalam pengawasan internal, maupun eksternal oleh BPK dan KPK," kata Fahmy saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (12/9/2019).
"Paska penetapan Bambang Irianto sebagai tersangka, akan lebih baik bagi KPK untuk lebih fokus dalam menangani pengusutan mafia migas, termasuk menjerat pentolan mafia migas dan aliran dana yang konon mengalir sampai jauh ke mana-mana," pungkasnya.
(gus) Next Article Ini Kata Mantan Orang Dalam Pertamina Soal Pengganti 'Petral'
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular