Anomali Tekstil: Eksportir Garmen Bahagia, Produk Kain Merana

Efrem Siregar, CNBC Indonesia
10 September 2019 11:24
Ada anomali di industri tekstil, ada sektor yang diuntungkan, ada sektor yang dirugikan.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menghadapi serbuan produk impor terutama produk hulu. Bahan baku impor yang murah menekan sejumlah industri hulu TPT. Di sisi lain industri hilir justru sebaliknya, mereka diuntungkan dengan ekspor yang bahan bakunya dari impor.

Ketua Umum IKATSI Suharno Rusdi mengakui ada laju pertumbuhan Industri TPT sebsar 20,71% di Kuartal II-2019. Namun, ia mengatakan, angka 20,71% lebih dipengaruhi kenaikan nilai ekspor garmen.

"Sedangkan kondisi yang terjadi di sektor produksi serat/benang (sektor hulu), benang dan kain justru memperlihatkan kondisi sebaliknya," kata Suharno.



Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Perdagangan Benny Soetrisno lebih lanjut menggambarkan kondisi TPT hulu dan hilir berdasarkan pengalamannya.

"Saya merasakan setiap hari, bagaimana staf saya sulitnya menjual benang atau harga benang turun atau kain grey sudah dijual. Tapi staf garmen saya mengatakan pembeli bertambah," kata Benny.

Naik turunnya permintaan, menurut Benny adalah konsekuensi berbisnis. Beredarnya bahan baku impor hanya satu penyebab. Daya saing produk TPT Indonesia juga dianggap kalah dibanding negara tetangga lain seperti Vietnam.

Atas keadaan tersebut, pengusaha berupaya bangkit. Mereka mengusulkan beberapa langkah penyelamatan. Salah satunya adalah pemulihan dan penguasaan pasar domestik (substitusi impor) melalui penerapan trade remedies seperti anti-dumping atau safeguard.

Proses penerapan kebijakan safeguard digiatkan. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dalam dua bulan terakhir telah merampungkan sejumlah kategori yang menjadi persyaratan dari upaya pengajuan instrumen perlindungan perdagangan dari banjirnya serbuan produk impor atau safeguard. 

Selanjutnya, API telah menyerahkan sejumlah indikator kepada kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Setelah kita submit karena ini sudah dikonsultasikan paling tidak pemerintah akan rapat karena di sini keputusan berada di Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan," kata Ketua Umum API, Ade Sudrajat yang ikut dalam diskusi.

Ia memperkirakan kementerian terkait termasuk Kementerian Keuangan bisa menerapkan bea masuk impor sementara dapat diterapkan untuk sejumlah produk TPT impor selama 200 hari.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, saat ini industri hulu yang memproduksi serat dan benang tengah digempur impor kain akibat kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.



Kondisi ini menyebabkan produk dari industri hulu, khususnya di sektor pembuatan kain kalah bersaing dengan kain impor karena tak banyak diserap oleh industri garmen di hilir. Redma menyebut saat ini utilisasi produksi di sektor pertenunan, perajutan dan pencelupan kain hanya berada di kisaran 40%.

"Subsektor industri antara ini memang tidak sehat dalam 5 tahun terakhir karena banjirnya serbuan barang impor. Kehadiran Permendag 64/2017 yang memberikan izin impor tanpa pengendalian kepada importir pedagang (API-U) membuat kondisi semakin kritis," kata Redma dalam paparan kinerja di Hotel Sahid, Rabu (10/7/2019).
(hoi/hoi) Next Article Teka-Teki di Balik Pertumbuhan Industri Tekstil RI '15%'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular