Internasional

Awas, "Hantu" Resesi Gentayangi Negara Maju

Wangi Sinintya Mangkuto & Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
10 September 2019 06:59
Awas,
Foto: Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi bukan hanya menjadi ketakutan bagi negara-negara berkembang saja. Melainkan menjadi ketakutan bagi negara-negara maju.

Dalam rilis kuartal kedua 2019 yang dibeberkan kementerian keuangan dan badan statistik sejumlah negara, negara-negara yang masuk ke dalam ekonomi terbesar dunia juga mengalami pelemahan ekonomi dan terancam masuk ke jurang resesi.

Pada dasarnya resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.


Lalu siapa saja negara tersebut. Berikut data yang dirangkum CNBC Indonesia Selasa (10/9/2019).

Jerman

Pesanan di sektor industri Jerman jauh di bawah perkiraan pada Juli. Melemahnya permintaan dari luar negeri menunjukan betapa menderitanya industri manufaktur di ekonomi terbesar Eropa yang kini dibayangi hantu resesi di kuartal ketiga ini.

Ekonomi Jerman yang sangat bergantung pada ekspor menderita karena lemahnya permintaan asing dan ketidakpastian bisnis. Penyebabnya antara lain perselisihan perdagangan antara AS dan Jerman dan tak menentunya kesepakatan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

Menurut Kementerian Ekonomi Jerman, kontrak untuk barang buatan Jerman di Juli turun -2,7% dibandingkan bulan sebelumnya akibat penurunan besar pemesanan dari negara-negara non-Eropa. Sebelumnya, di Juni angkanya mencapai 2,7%.

"Penderitaan di sektor manufaktur ini akan terjadi. Penurunan permintaan baru sangat signifikan di tengah risiko resesi dari ekonomi Jerman," kata ekonom dari VP Bank Thomas Gitzel sebagaimana dilansir CNBC Indonesia dari Reuters.

Ekonomi Jerman mengalami kontraksi 0,1% dari kuartal ke kuartal pada kuartal kedua, karena ekspor yang lebih lemah, dengan penurunan penjualan asing didorong oleh Inggris. "Bahayanya besar, bahwa pertumbuhan negatif juga akan dicatat pada kuartal ketiga," tambahnya.


BERSAMBUNG KE HAL 2
Data menunjukkan, pesanan dari negara-negara non-Eropa anjlok hampir 7% pada bulan itu sementara permintaan dari negara-negara zona Eropa dan pemesanan domestik naik sedikit. Tanpa efek mendistorsi pesanan massal, pesanan industri naik 0,5% pada bulan Juli.

Pada kuartal pertama 2019, ekonomi Jerman tumbuh 2,8%. Namun di kuartal kedua, ekonomi Jerman hanya tumbuh 2,1%.

Jepang
Ekonomi Jepang pada kuartal II 2019 tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan. Perang dagang AS-China mempengaruhi pertumbuhan dan menggiring bank sentral Bank of Japan (BOJ) untuk memberikan stimulus pada pertemuan 19 September.

Data dari Kantor Kabinet Jepang menunjukkan bahwa ekonomi Jepang tumbuh 1,3% pada April-Juni, angka tersebut lebih lemah dari pembacaan target awal pemerintah sebesar 1,8%.

Ini juga melambat dibanding realisasi kuartal sebelumnya yang berada di 2,1%.

"Ada kemungkinan pertumbuhan akan negatif di kuartal nanti Oktober-Desember," kata Kepala Ekonom Totan research, Izuru Kato sebagaimana dilansir CNBC Indonesia dari Reuters.

"Jika khawatir dengan pertumbuhan yang negatif (di tahun-tahun mendatang), Bank Jepang akan memangkas suku bunga ke teritori negatif (lagi),".

Belanja modal hanya naik 0,2% dari kuartal sebelumnya. Jauh lebih rendah dari kenaikan sebesar 1,5% pada awal dan perkiraan median untuk kenaikan 0,7%.

Konsumsi swasta, yang menyumbang sekitar 60% dari produk domestik bruto (PDB), naik 0,6% dibandingkan tiga bulan sebelumnya, sesuai dengan target pembacaan awal.

Analis memperingatkan kemungkinan penurunan konsumsi domestik, setelah Jepang menaikkan pajak penjualan menjadi 10% seperti yang direncanakan bulan depan.

Kebijakan itu diprediksi akan mengancam ekonomi terutama bila tidak ada pendorong pertumbuhan, kecuali permintaan global meningkat.

BERSAMBUNG KE HAL 3 Inggris

Inggris terancam masuk ke dalam resesi pada tahun 2020 jika negara itu meninggalkan Uni Eropa (UE) tanpa kesepakatan atau no-deal Brexit.

Apabila no-deal Brexit benar terjadi, maka ekonomi Inggris akan melemah di setiap kuartal tahun depan, yang akan berujung pada resesi pertama sejak 2009 dan pertama setelah krisis keuangan.
"Karena debat Brexit akan dilakukan, ekonomi Inggris kini di persimpangan jalan. Sulit untuk memikirkan waktu lain ketika Inggris berada di ambang dua belokan ekonomi yang sangat berbeda, tetapi dampak Brexit tanpa kesepakatan tidak boleh diremehkan," kata Kepala Ekonom KPMG Inggris Yael Selfin seperti dikutip dari The Guardian.

Selfin menjelaskan bahwa efek no-deal Brexit terhadap perdagangan dan kepercayaan bisnis Inggris akan menyebabkan ekonomi menyusut 1,5% tahun depan.

"Meskipun ada hambatan seperti ekonomi global yang melambat dan kapasitas domestik yang terbatas, ekonomi Inggris sekarang memiliki potensi untuk menguat selama 12 bulan ke depan. Tetapi no-deal Brexit dapat membahayakan kenaikan ini, memicu resesi pertama Inggris selama satu dekade," jelasnya.

Selain itu, Ia menjelaskan bahwa no-deal Brexit bisa membuat pengeluaran konsumen, yang telah mendukung sekitar 60% hingga 80% pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir, juga akan sangat terganggu.

Brexit tanpa kesepakatan mengancam kepercayaan rumah tangga, investasi bisnis, dan perdagangan lintas batas, sementara para pembuat kebijakan tidak memiliki sarana untuk sepenuhnya mengurangi dampak negatif dari no-deal Brexit.

Namun begitu, KPMG memperkirakan bahwa apabila kesepakatan Brexit bisa dicapai sebelum tenggat waktu 31 Oktober, maka ekonomi Inggris justru akan tumbuh menjadi 1,5% pada tahun 2020.
Next Page
Awas,
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular