
Apakah Wajar Indonesia Menambah Utang? Ini Penjelasannya
Yuni Astutik, CNBC Indonesia
21 August 2019 16:38

Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pembiayaan utang pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020 mencapai Rp 351,9 triliun. Jumlah pembiayaan utang tersebut turun jika dibandingkan perkiraan realisasi (outlook) APBN 2019 yang sebesar 373,9 triliun.
Chief Economist dari Bank BTN mengatakan Winang Budoyo mengatakan layaknya korporasi, kalau memang sudah mampu tentu saja negara tidak perlu utang. Akan tetapi jika belum mampu dan mempunyai target yang cukup tinggi, maka utang menjadi alternatif.
"Tinggal bagaimana utang dipakai, konsumtif atau produktif. Kalau produktif kan nantinya jadi leverage, seperti penghasilan kita jatuhnya, yang bisa meningkatkan penghasilan di masa depan," kata Winang kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/08/2019).
Meski demikian tetap harus disesuaikan dan dilihat hasil yang diperoleh di masa depan, lebih banyak pendapatan atau untuk bayar utang. Winang menyatakan, pemerintah memiliki harapan untuk membangun negeri namun ruang geraknya dibatasi oleh penerimaan negara yang terbatas. Jika hanya mengandalkan penerimaan negara maka target pemerintah tidak akan tercapai.
"Dengan konsep leverage kita bisa mencapai target. Tapi caranya asalkan utangnya produktif sesuai rambu-rambunya, agar tidak besar pasar dari pendapatan," katanya.
Jika digunakan untuk membangun infrastruktur, menurutnya dalam jangka pendek adalah cost tetapi jangka panjang bisa jadi keuntungan. Sepanjang untuk utang produktif dan rambu-rambu, rasio utang terhadap GDP relatif rendah. Winang mengatakan indikator utang Indonesia masih jauh di bawah, dan masih kategori masih aman.
"Kecuali kalau bersifat konsumtif, misalnya subsidi BBM. Dalam jangka pendek memang bisa menjaga inflasi dan daya beli masyarakat, tetapi kan itu uang konsumtif kaya bakar uang," katanya.
Winang menyatakan utang masih dibutuhkan apalagi selama ini 60% pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dimotori oleh konsumsi domestik, jika ingin lebih tinggi maka harus menambahkan ekspor dan investasi. Negara yang pertumbuhannya bertumpu pada ekspor lebih tinggi ketimbang yang hanya mengandalkan domestik.
"Kita harus ada tambahan dari ekspor dengan mengubah pola ekspor dari comodity base yang sangat rentan pada harga dunia, kita harus mengubah yag lebih memiliki nilai tambah. Manufaktur perlu dikembangkan, dan ini butuh waktu," ujar Winang.
Sebelumnya pada pidato Nota Keuangan 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pada RAPBN 2020 meski masih harus menutup defisit dengan utang, pemerintah memastikan keseimbangan primer akan lebih baik.
Keseimbangan primer yang merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika keseimbangan primer negatif maka pemerintah masih harus berutang untuk menutup utang.
Pemerintah memastikan pengelolaan utang akan dilakukan secara hati-hati meski masih harus menutup defisit dengan utang. Jokowi mengatakan pemerintah akan mengelola fiskal secara konsisten dan hati-hati.
"Defisit anggaran dan rasio utang terhadap PDB tetap dikendalikan dalam batas aman, di bawah tingkat yang diatur dalam UU Keuangan Negara, sekaligus untuk mendorong keseimbangan primer menuju positif," kata Jokowi di Gedung DPR, Jumat (16/8/2019).
Upaya tersebut ditunjukkan dengan diturunkannya Defisit Anggaran dari 2,59% terhadap PDB pada 2015, menjadi sekitar 1,93% pada 2019 dan pada 2020 diturunkan lagi menjadi 1,76%. Defisit keseimbangan primer juga dipersempit dari Rp 142,5 triliun pada 2015, menjadi sekitar Rp 34,7 triliun pada 2019, dan diupayakan lebih rendah lagi menjadi Rp 12 triliun pada 2020," kata Jokowi.
Kebijakan fiskal tersebut, diharapkan mampu menjaga keseimbangan primer atau bahkan surplus dalam waktu dekat.
"Selain itu, utang pemerintah terus dikelola secara transparan dan akuntabel, dengan memperkecil risiko pada stabilitas ekonomi di masa sekarang dan akan datang," tegas Jokowi.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob) Next Article RI Masih Gali Lubang Tutup Lubang di 2020, Tapi Lebih Baik
Chief Economist dari Bank BTN mengatakan Winang Budoyo mengatakan layaknya korporasi, kalau memang sudah mampu tentu saja negara tidak perlu utang. Akan tetapi jika belum mampu dan mempunyai target yang cukup tinggi, maka utang menjadi alternatif.
"Tinggal bagaimana utang dipakai, konsumtif atau produktif. Kalau produktif kan nantinya jadi leverage, seperti penghasilan kita jatuhnya, yang bisa meningkatkan penghasilan di masa depan," kata Winang kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/08/2019).
Meski demikian tetap harus disesuaikan dan dilihat hasil yang diperoleh di masa depan, lebih banyak pendapatan atau untuk bayar utang. Winang menyatakan, pemerintah memiliki harapan untuk membangun negeri namun ruang geraknya dibatasi oleh penerimaan negara yang terbatas. Jika hanya mengandalkan penerimaan negara maka target pemerintah tidak akan tercapai.
"Dengan konsep leverage kita bisa mencapai target. Tapi caranya asalkan utangnya produktif sesuai rambu-rambunya, agar tidak besar pasar dari pendapatan," katanya.
Jika digunakan untuk membangun infrastruktur, menurutnya dalam jangka pendek adalah cost tetapi jangka panjang bisa jadi keuntungan. Sepanjang untuk utang produktif dan rambu-rambu, rasio utang terhadap GDP relatif rendah. Winang mengatakan indikator utang Indonesia masih jauh di bawah, dan masih kategori masih aman.
"Kecuali kalau bersifat konsumtif, misalnya subsidi BBM. Dalam jangka pendek memang bisa menjaga inflasi dan daya beli masyarakat, tetapi kan itu uang konsumtif kaya bakar uang," katanya.
Winang menyatakan utang masih dibutuhkan apalagi selama ini 60% pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dimotori oleh konsumsi domestik, jika ingin lebih tinggi maka harus menambahkan ekspor dan investasi. Negara yang pertumbuhannya bertumpu pada ekspor lebih tinggi ketimbang yang hanya mengandalkan domestik.
"Kita harus ada tambahan dari ekspor dengan mengubah pola ekspor dari comodity base yang sangat rentan pada harga dunia, kita harus mengubah yag lebih memiliki nilai tambah. Manufaktur perlu dikembangkan, dan ini butuh waktu," ujar Winang.
Sebelumnya pada pidato Nota Keuangan 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pada RAPBN 2020 meski masih harus menutup defisit dengan utang, pemerintah memastikan keseimbangan primer akan lebih baik.
Keseimbangan primer yang merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika keseimbangan primer negatif maka pemerintah masih harus berutang untuk menutup utang.
Pemerintah memastikan pengelolaan utang akan dilakukan secara hati-hati meski masih harus menutup defisit dengan utang. Jokowi mengatakan pemerintah akan mengelola fiskal secara konsisten dan hati-hati.
"Defisit anggaran dan rasio utang terhadap PDB tetap dikendalikan dalam batas aman, di bawah tingkat yang diatur dalam UU Keuangan Negara, sekaligus untuk mendorong keseimbangan primer menuju positif," kata Jokowi di Gedung DPR, Jumat (16/8/2019).
Upaya tersebut ditunjukkan dengan diturunkannya Defisit Anggaran dari 2,59% terhadap PDB pada 2015, menjadi sekitar 1,93% pada 2019 dan pada 2020 diturunkan lagi menjadi 1,76%. Defisit keseimbangan primer juga dipersempit dari Rp 142,5 triliun pada 2015, menjadi sekitar Rp 34,7 triliun pada 2019, dan diupayakan lebih rendah lagi menjadi Rp 12 triliun pada 2020," kata Jokowi.
Kebijakan fiskal tersebut, diharapkan mampu menjaga keseimbangan primer atau bahkan surplus dalam waktu dekat.
"Selain itu, utang pemerintah terus dikelola secara transparan dan akuntabel, dengan memperkecil risiko pada stabilitas ekonomi di masa sekarang dan akan datang," tegas Jokowi.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob) Next Article RI Masih Gali Lubang Tutup Lubang di 2020, Tapi Lebih Baik
Most Popular