Dua Kata Untuk RAPBN Jokowi Tahun 2020: Bangkitkan Optimisme!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 August 2019 13:28
Dua Kata Untuk RAPBN Jokowi Tahun 2020: Bangkitkan Optimisme!
Foto: Jokowi Pakai Baju Adat (Ist Setpres RI)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sama halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, menjelang peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, presiden berbicara di depan hadapan anggota parlemen mengenai postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun berikutnya.

Kemarin (16/8/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan hal serupa. Dirinya menjabarkan RAPBN untuk tahun 2020 atau tahun pertama di periode keduanya sebagai pemegang takhta kekuasaan tertinggi di Indonesia.

Di dalam RAPBN tahun 2020 yang tentunya disusun bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jokowi mematok target pertumbuhan ekonomi di level 5,3%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2013.


Bagi yang belum tahu, pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menghitung pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB sendiri merupakan total barang dan jasa yang dihasilkan oleh Indonesia di dalam suatu periode tertentu.

Angka PDB yang digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi merupakan PDB dengan harga konstan, yakni barang dan jasa yang dihasilkan di Indonesia dihitung bukan menggunakan harga pada tahun berjalan, melainkan harga konstan. Dengan demikian, kala angka pertumbuhan ekonomi positif, bisa dipastikan bahwa yang bertambah adalah jumlah barang yang dihasilkan.

Hal ini menjadi penting: ketika pertumbuhan ekonomi didorong oleh kenaikan jumlah barang dan bukan kenaikan harga barang semata, maka kesejahteraan masyarakat dipastikan ikut naik.

Lantas, laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% (tertinggi sejak 2013) yang ditargetkan oleh Jokowi menjadi sesuatu yang sangat positif bagi masyarakat Indonesia.

Jangan lupa, perekonomian global sedang memasuki masa yang sulit. Hingga kini, perang dagang AS-China belum juga bisa diselesaikan. Untuk diketahui, AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi. Perang dagang AS-China sudah berlangsung selama lebih dari setahun.

Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi saling balas-membalas bea masuk, dampaknya sudah bisa diprediksi: perekonomian global akan mendapatkan tekanan yang signifikan dan itulah yang terjadi saat ini.

Pada tahun 2018 dan 2019, perang dagang AS-China membawa perekonomian global meredup. Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.

Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global melandai menjadi 3,598%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan kembali melandai menjadi 3,328%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian global justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.


Walaupun kondisi eksternal sedang sulit, Jokowi ternyata berani memasang badan untuk mematok target pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Pengendalian Harga Jadi Kunci
Pengendalian inflasi menjadi kunci dibalik keberanian Jokowi memasang target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam RAPBN 2020, inflasi dipatok di level 3,1%, sama dengan outlook untuk tahun ini.

Sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi, salah satu capaiannya yang impresif adalah pengendalian inflasi. Pada periode satu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), secara rata-rata inflasi berada di level 8,49%. Pada periode dua SBY, rata-ratanya memang turun namun masih berada di level yang tinggi, yakni 6,17%. Beralih ke periode satu Jokowi, secara rata-rata inflasi bertengger di level 3,24%. Di era Jokowi, tak sekalipun inflasi melampaui level 4%.


Bagi yang belum tahu, inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Simpelnya, ketika Indonesia mengalami inflasi, biaya hidup masyarakat Indonesia juga akan terkerek naik. Nah, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Ini artinya, menjaga tingkat harga barang dan jasa di Indonesia sangatlah krusial. Kala tekanan harga kelewat tinggi, masyarakat akan cenderung menahan konsumsinya sehingga pertumbuhan ekonomi bisa terhambat.

Di sini, infrastruktur nan-megah yang dieksekusi Jokowi berbicara. Semenjak mengambil tampuk kepemimpinan dari SBY pada tahun 2014 silam, Jokowi memang begitu rajin menggenjot pembangunan infrastruktur. Hal ini terlihat jelas dari alokasi dana dalam APBN/APBNP untuk bidang infrastruktur yang terus menggelembung di era kepemimpinannya.

Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun. Selepas tahun 2014, anggaran untuk pembangunan infrastruktur terus melejit.


Selain anggarannya yang besar, pembangunan infrastruktur yang dieksekusi Jokowi juga terbukti tak Jawa-sentris. Dari Sabang sampai Merauke, jalan, jalan tol, tol laut, jembatan, pelabuhan, hingga bandara dieksekusi dengan begitu gesit oleh mantan walikota Solo tersebut.

Baca: Layakkah Jokowi Disebut Bapak Infrastruktur?

Dengan konektivitas yang lebih baik, kenaikan harga bahan pangan yang seringkali menjadi momok melonjaknya inflasi menjadi bisa ditekan.

Oh ya, walaupun target inflasi untuk tahun depan sekilas terlihat tak spesial-spesial amat, sama persis dengan outlook untuk tahun 2019, perlu diingat bahwa tahun depan pemerintah memproyeksikan bahwa rupiah akan berada di posisi yang lebih lemah dari tahun ini.

Dalam RAPBN 2020, rupiah dipatok di level Rp 14.400/dolar AS, lebih lemah dibandingkan outlook untuk tahun 2019 yang sebesar Rp 14.250/dolar AS. Pada perdagangan kemarin (16/7/2019), rupiah ditutup di level Rp 14.230/dolar AS di pasar spot.

Kala rupiah melemah, praktis harga bahan baku yang diimpor dari luar negeri akan menjadi lebih mahal sehingga bisa membuat biaya produksi naik. Namun, Jokowi terlihat optimistis bahwa konektivitas yang sudah jauh lebih baik saat ini akan menjaga harga-harga di tanah air relatif terjaga.

Kembali ke masalah pembangunan infrastruktur, pada tahun ini masih akan digenjot oleh Jokowi. Pada tahun depan, belanja negara ditargetkan berada di angka Rp 2.528,8 triliun, naik 7,99% jika dibandingkan dengan outlook untuk tahun 2019 yang senilai Rp 2.341,6. Dari anggaran belanja senilai lebih dari Rp 2.500 triliun tersebut, sebanyak Rp 419,2 triliun dialokasikan untuk membangun infrastruktur.

Jadi, pembangunan infrastruktur baru nan-megah yang acap kali membuat kita terperangai masih akan kita saksikan di tahun depan.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Bangkitkan Optimisme Sempat disinggung di halaman sebelumnya, pemerintah mematok rupiah di level Rp 14.400/dolar AS, lebih lemah dibandingkan outlook untuk tahun 2019 yang sebesar Rp 14.250/dolar AS. Namun, sejatinya target tersebut bukan merupakan bentuk pesimisme, melainkan pemerintah mencoba realistis dalam menghadapi dinamika perekonomian global.

Sempat disinggung di halaman pertama mengenai perang dagang AS-China. Hingga kini, belum ada tanda-tanda perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut akan berakhir. Bahkan, seperti yang diungkapkan sendiri oleh Presiden AS Donald Trump, China bisa saja menunggu hingga pemilihan presiden (Pilpres) di AS selesai tahun depan untuk meneken kesepakatan dagang guna mendapatkan kesepakatan yang lebih baik, dengan asumsi kandidat dari Partai Demokrat yang menang.

Kala perang dagang AS-China terus saja terjadi, memang dolar AS selaku safe haven akan menjadi salah satu primadona bagi pelaku pasar.

Belum lagi jika berbicara mengenai proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pada tanggal 31 Oktober 2019, Inggris dijadwalkan untuk meningglkan Uni Eropa, baik dengan kesepakatan atau tidak sama sekali. Untuk diketahui, Inggris merupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia, sementara Uni Eropa merupakan blok ekonomi terbesar di dunia. Kala keduanya bercerai, apalagi jika perceraiannya buruk, pastilah laju perekonomian global akan tertekan. Lagi-lagi, dolar AS selaku safe haven akan menjadi buruan pelaku pasar.

Nah, guna menghadapi ketidakpastian global yang begitu besar pada tahun depan, Sri Mulyani meracik anggaran yang prudent, mengedepankan prinsip kehati-hatian. Dalam APBN 2019, defisit fiskal (selisih antara penerimaan dengan belanja) dipatok di level 1,84% dari PDB. Outlook untuk defisit fiskal pada tahun ini berada di level 1,93% dari PDB. Untuk tahun 2020, defisit fiskal ditargetkan di level 1,76% dari PDB.

Posisi defisit anggaran memang sangat penting bagi perekonomian. Untuk diketahui, saat ini undang-undang membatasi defisit anggaran di level 3% dari PDB.

Dengan defisit anggaran yang terjaga, kepercayaan investor asing terhadap pemerintah Indonesia akan tetap tinggi sehingga akan meminimalisir aliran modal keluar (outflow) kala terdapat gonjang-ganjing di perekonomian global. Ketika outflow bisa diredam, maka pelemahan yang terjadi kepada rupiah juga bisa diredam.

Selama ini, Indonesia terus mendapatkan kepercayaan dari investor asing yang terus-menerus menanamkan dananya di pasar modal Indonesia. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Juli 2019 pemodal asing tercatat memiliki 44,9% dari saham yang tercatat di KSEI. Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 14 Agustus 2019, investor asing memiliki senilai Rp 1.005,76 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 38,7%.

Kalau kepercayaan dari investor asing ini tak dijaga, dengan mudahnya mereka akan keluar dari Indonesia dan membuat nilai tukar rupiah tertekan.

“Bangkitkan optimisme” rasanya merupakan dua kata yang tepat untuk menggambarkan RAPBN yang disusun oleh pemerintahan Jokowi untuk tahun 2020. Kala perekonomian global penuh dengan tantangan, pemerintah berani mematok target pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dengan pengendalian inflasi yang baik sebagai daya dukungnya.

Di sisi lain, realistisnya pemerintah dalam merumuskan asumsi nilai tukar rupiah pada tahun depan patut membangkitkan optimisme bahwa asumsi-asumsi lain yang dipatok dalam RAPBN bisa dikebut untuk dicapai, atau bahkan melebihi target.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular