
Ini Kronologi Demo Besar Hong Kong yang Lumpuhkan Ekonomi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2019 10:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa waktu terakhir, perkembangan di Hong Kong menyita perhatian dunia. Gelombang aksi massa membuat roda perekonomian eks koloni Inggris ini hampir tidak bergerak.
Kemarin, bandara internasional Hong Kong membatalkan seluruh penerbangan dan baru kembali dibuka pagi ini. Perkantoran, pertokoan, dan objek-objek ekonomi lainnya juga tutup.
Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong, menyatakan bahwa moda transportasi kereta api MTR kehilangan 2 juta penumpang per hari selama masa demonstrasi. Dia menyebut pemulihan ekonomi pasca aksi massa memakan waktu yang tidak sebentar.
"Aktivitas pelanggaran hukum atas nama kebebasan telah merusak tatanan. Aparat keamanan menggunakan pendekatan selunak mungkin. Saya bertanggung jawab untuk memulihkan perekonomian Hong Kong setelah rangkaian kekerasan ini berakhir," tegas Lam, seperti dikutip dari Reuters.
Aksi protes di Hong Kong sudah adalah puncak dari keresahan rakyat yang terjadi sejak Februari lalu. Kala itu, Biro Keamanan Hong Kong mengajukan proposal untuk mengamandemen aturan ekstradisi ke berbagai negara.
Dalam amandemen itu, para buronan dari Taiwan, Makau, dan China Daratan yang awalnya tidak masuk kemudian dimasukkan. Hong Kong akan melakukan ekstradisi jika diminta oleh pemerintah.
Namun amandemen ini menuai protes dari warga, jurnalis, sampai dunia usaha. Jika amandemen ini disahkan, maka Hong Kong tidak lagi menjadi tempat yang aman terutama dari cengkeraman sistem hukum China Daratan. Sistem politik-hukum China yang terkontrol dinilai membuat pengadilan hanya menjadi perpanjangan tangan besi negara, tidak ada demokrasi dan kesamaan di mata hukum.
Pada Maret, gelombang aksi massa dimulai. Ribuan orang melakukan demonstrasi menolak amandemen aturan ekstradisi. Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce) sampai mengirim surat keberatan kepada Menteri Keamanan Hong Kong John Lee.
"Peraturan tersebut akan menghapus persepsi Hong Kong sebagai tempat yang aman bagi bisnis," tulis surat itu.
Pada 28 April, pemerintah Hong Kong mulai membahas usulan amandemen aturan ekstradisi. Aksi massa kembali terjadi, menolak pembahasan (apalagi pengesahan) amandemen ini mengingat jejak rekam pengadilan China yang dinilai penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada 11 Mei, kala amandemen ini dibahas di legislatif, terjadi perpecahan suara. Kubu pendukung demokrasi menolak sementara para loyalis Beijing memberikan dukungan.
Kemudian pada 21 Mei, Lam menegaskan pemerintah akan mendorong pengesahan amandemen aturan ekstradisi walau banyak mendapat tentangan. Pemerintah bahkan berniat 'potong kompas', mengesahkan aturan tanpa prosedur legislasi yang semestinya.
Pada 30 Mei, pemerintah Hong Kong memberi penjelasan bahwa pelanggar hukum yang bisa diekstradisi hanya sebatas untuk pelanggaran tertentu, tidak semua. Namun itu tidak cukup untuk memuaskan pihak yang kontra.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, bandara internasional Hong Kong membatalkan seluruh penerbangan dan baru kembali dibuka pagi ini. Perkantoran, pertokoan, dan objek-objek ekonomi lainnya juga tutup.
Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong, menyatakan bahwa moda transportasi kereta api MTR kehilangan 2 juta penumpang per hari selama masa demonstrasi. Dia menyebut pemulihan ekonomi pasca aksi massa memakan waktu yang tidak sebentar.
Aksi protes di Hong Kong sudah adalah puncak dari keresahan rakyat yang terjadi sejak Februari lalu. Kala itu, Biro Keamanan Hong Kong mengajukan proposal untuk mengamandemen aturan ekstradisi ke berbagai negara.
Dalam amandemen itu, para buronan dari Taiwan, Makau, dan China Daratan yang awalnya tidak masuk kemudian dimasukkan. Hong Kong akan melakukan ekstradisi jika diminta oleh pemerintah.
Namun amandemen ini menuai protes dari warga, jurnalis, sampai dunia usaha. Jika amandemen ini disahkan, maka Hong Kong tidak lagi menjadi tempat yang aman terutama dari cengkeraman sistem hukum China Daratan. Sistem politik-hukum China yang terkontrol dinilai membuat pengadilan hanya menjadi perpanjangan tangan besi negara, tidak ada demokrasi dan kesamaan di mata hukum.
Pada Maret, gelombang aksi massa dimulai. Ribuan orang melakukan demonstrasi menolak amandemen aturan ekstradisi. Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce) sampai mengirim surat keberatan kepada Menteri Keamanan Hong Kong John Lee.
"Peraturan tersebut akan menghapus persepsi Hong Kong sebagai tempat yang aman bagi bisnis," tulis surat itu.
Pada 28 April, pemerintah Hong Kong mulai membahas usulan amandemen aturan ekstradisi. Aksi massa kembali terjadi, menolak pembahasan (apalagi pengesahan) amandemen ini mengingat jejak rekam pengadilan China yang dinilai penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada 11 Mei, kala amandemen ini dibahas di legislatif, terjadi perpecahan suara. Kubu pendukung demokrasi menolak sementara para loyalis Beijing memberikan dukungan.
Kemudian pada 21 Mei, Lam menegaskan pemerintah akan mendorong pengesahan amandemen aturan ekstradisi walau banyak mendapat tentangan. Pemerintah bahkan berniat 'potong kompas', mengesahkan aturan tanpa prosedur legislasi yang semestinya.
Pada 30 Mei, pemerintah Hong Kong memberi penjelasan bahwa pelanggar hukum yang bisa diekstradisi hanya sebatas untuk pelanggaran tertentu, tidak semua. Namun itu tidak cukup untuk memuaskan pihak yang kontra.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Most Popular