
'Manusia Setengah Dewa' Pun Tak Bisa Selesaikan Masalah CAD
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 August 2019 11:35

Guna mendongkrak ekspor barang (yang pada akhirnya akan membuat neraca barang surplus dan mengurangi tekanan terhadap Transaksi Berjalan), pemerintah sudah sepatutnya bekerja keras untuk menggairahkan sektor manufaktur.
Pasalnya, negara-negara berkembang memang lazimnya mengantungkan ekspor mereka terhadap produk-produk manufaktur. Untuk diketahui, sejauh ini produk ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas yang nilai tambahnya rendah. Selain nilai tambahnya rendah, menggantungkan diri kepada komoditas sebagai produk ekspor utama juga tidak baik karena harganya yang begitu berfluktuasi.
Ketergantungan terhadap komoditas sebagai produk ekspor utama bahkan diakui sendiri oleh pemerintah.
“Hingga saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas dengan jasa transportasi asing, tidak berbeda dengan periode 40 tahun yang lalu. Rasio ekspor terhadap PDB terus menurun dari 41% pada tahun 2000 menjadi 21% pada tahun 2018. Akibatnya, Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan, sementara beberapa negara peers sudah mencatatkan surplus," mengutip dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dipublikasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Jika berbicara mengenai sektor manufaktur, sejatinya tulang punggung perekonomian Indonesia ini sudah menjadi begitu keropos dalam beberapa tahun terakhir. Untuk diketahui, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Baca:
Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%. Sangat-sangat miris.
Tak heran jika ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas, wong sektor manufaktur tak ada gairahnya sama sekali.
Alhasil, guna meningkatkan ekspor dan memperbaiki Transaksi Berjalan, sektor manufaktur harus digairahkan kembali. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur harus diberi insentif yang bisa mendorong mereka untuk memasarkan produknya di luar negeri.
Selain itu, penanaman modal (baik merupa penanaman modal dalam negeri [PMDN] ataupun penanaman modal asing [PMA]) ke sektor manufaktur juga patut digenjot supaya semakin banyak pemain di sektor manufaktur Indonesia.
Baca:
Pak Jokowi, Ini Sederet Cara Agar Investasi Tak Lagi Loyo Cara yang paling mudah adalah dengan memberikan insentif fiskal. Selama ini, insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan pajak penghasilan (PPh) paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%. PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja. Sektor manufaktur akan tetap tak bergairah dan permasalahan bernama deifisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) tak akan bisa diatasi.
Kala cara main Jokowi masih saja seperti saat ini, dewa pun tak akan bisa membenahi permasalahan CAD.
Apa iya pemerintah rela melihat mata uang Garuda terus saja terdepresiasi lantaran CAD terus membengkak?
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/dru)
Pasalnya, negara-negara berkembang memang lazimnya mengantungkan ekspor mereka terhadap produk-produk manufaktur. Untuk diketahui, sejauh ini produk ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas yang nilai tambahnya rendah. Selain nilai tambahnya rendah, menggantungkan diri kepada komoditas sebagai produk ekspor utama juga tidak baik karena harganya yang begitu berfluktuasi.
Ketergantungan terhadap komoditas sebagai produk ekspor utama bahkan diakui sendiri oleh pemerintah.
Jika berbicara mengenai sektor manufaktur, sejatinya tulang punggung perekonomian Indonesia ini sudah menjadi begitu keropos dalam beberapa tahun terakhir. Untuk diketahui, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Baca:
Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%. Sangat-sangat miris.
Tak heran jika ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas, wong sektor manufaktur tak ada gairahnya sama sekali.
Alhasil, guna meningkatkan ekspor dan memperbaiki Transaksi Berjalan, sektor manufaktur harus digairahkan kembali. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur harus diberi insentif yang bisa mendorong mereka untuk memasarkan produknya di luar negeri.
Selain itu, penanaman modal (baik merupa penanaman modal dalam negeri [PMDN] ataupun penanaman modal asing [PMA]) ke sektor manufaktur juga patut digenjot supaya semakin banyak pemain di sektor manufaktur Indonesia.
Baca:
Pak Jokowi, Ini Sederet Cara Agar Investasi Tak Lagi Loyo Cara yang paling mudah adalah dengan memberikan insentif fiskal. Selama ini, insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.
Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan pajak penghasilan (PPh) paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.
Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%. PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja. Sektor manufaktur akan tetap tak bergairah dan permasalahan bernama deifisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) tak akan bisa diatasi.
Kala cara main Jokowi masih saja seperti saat ini, dewa pun tak akan bisa membenahi permasalahan CAD.
Apa iya pemerintah rela melihat mata uang Garuda terus saja terdepresiasi lantaran CAD terus membengkak?
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular