
'Manusia Setengah Dewa' Pun Tak Bisa Selesaikan Masalah CAD
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 August 2019 11:35

Celakanya, Transaksi Berjalan Indonesia selalu mencetak defisit setiap tahunnya. Bukannya malah menipis, belakangan defisit yang dibukukan justru semakin melebar. Bahkan pernah menembus rekor.
Pada tahun 2014, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) tercatat sebesar 3,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Perlu dicatat, PDB Indonesia terus meningkat setiap tahunnya sehingga kala rasio CAD terhadap PDB meningkat, pastilah nilai nominal CAD itu sendiri juga meningkat.
Pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, CAD sejatinya menipis ke level 2,03% dari PDB. Pada tahun 2016 dan 2017, CAD kembali membaik menjadi masing-masing 1,82% dan 1,6% dari PDB.
Namun, CAD Indonesia melejit menjadi 2,98% dari PDB pada tahun 2018, menandai CAD terparah sejak tahun 2014 (3,09% dari PDB). Merespons bengkaknya CAD, rupiah melemah hingga 5,97% melawan dolar AS di pasar spot sepanjang tahun 2018.
Di tahun 2019, bayang-bayang bengkaknya CAD belum juga bisa diusir. Sepanjang kuartal I-2019, BI mencatat Transaksi Berjalan membukukan defisit senilai US$ 6,97 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. CAD pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih dalam ketimbang CAD pada tiga bulan pertama tahun 2018 yang senilai US$ 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB.
Kala CAD pada kuartal-I saja sudah jauh lebih dalam, ada kemungkinan yang besar bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018, apalagi jika ternyata CAD kuartal II-2019 juga lebih dalam daripada CAD kuartal II-2018. Memang, rupiah masih menguat secara year-to-date. Sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin, 7/8/2019), rupiah mencetak apresiasi sebesar 1,11% melawan dolar AS di pasar spot.
Namun jika dicermati, dalam beberapa waktu terakhir rupiah terdepresiasi dengan begitu signifikan. Pada tahun ini, titik penutupan terkuat rupiah berada di level Rp 13.915/dolar AS (15 Juli 2019). Dalam periode 16 Juli hingga 7 Agustus, rupiah membukukan depresiasi sebesar 2,16%.
Kekhawatiran dalam menantikan rilis angka NPI (berikut Transaksi Berjalan) periode kuartal II-2019 ikut menjadi faktor yang melandasi aksi jual atas rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Transaksi Berjalan Indonesia sangatlah mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, negara-negara tetangga tercatat memiliki defisit Transaksi Berjalan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Bahkan, pada tahun lalu Thailand dan Malaysia bisa membukukan surplus Transaksi Berjalan yang besar.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Ekspor Barang Loyo, Tapi Impor Melejit (ank/dru)
Pada tahun 2014, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) tercatat sebesar 3,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Perlu dicatat, PDB Indonesia terus meningkat setiap tahunnya sehingga kala rasio CAD terhadap PDB meningkat, pastilah nilai nominal CAD itu sendiri juga meningkat.
Pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, CAD sejatinya menipis ke level 2,03% dari PDB. Pada tahun 2016 dan 2017, CAD kembali membaik menjadi masing-masing 1,82% dan 1,6% dari PDB.
Di tahun 2019, bayang-bayang bengkaknya CAD belum juga bisa diusir. Sepanjang kuartal I-2019, BI mencatat Transaksi Berjalan membukukan defisit senilai US$ 6,97 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. CAD pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih dalam ketimbang CAD pada tiga bulan pertama tahun 2018 yang senilai US$ 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB.
Kala CAD pada kuartal-I saja sudah jauh lebih dalam, ada kemungkinan yang besar bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018, apalagi jika ternyata CAD kuartal II-2019 juga lebih dalam daripada CAD kuartal II-2018. Memang, rupiah masih menguat secara year-to-date. Sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin, 7/8/2019), rupiah mencetak apresiasi sebesar 1,11% melawan dolar AS di pasar spot.
Namun jika dicermati, dalam beberapa waktu terakhir rupiah terdepresiasi dengan begitu signifikan. Pada tahun ini, titik penutupan terkuat rupiah berada di level Rp 13.915/dolar AS (15 Juli 2019). Dalam periode 16 Juli hingga 7 Agustus, rupiah membukukan depresiasi sebesar 2,16%.
Kekhawatiran dalam menantikan rilis angka NPI (berikut Transaksi Berjalan) periode kuartal II-2019 ikut menjadi faktor yang melandasi aksi jual atas rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Transaksi Berjalan Indonesia sangatlah mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, negara-negara tetangga tercatat memiliki defisit Transaksi Berjalan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Bahkan, pada tahun lalu Thailand dan Malaysia bisa membukukan surplus Transaksi Berjalan yang besar.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Ekspor Barang Loyo, Tapi Impor Melejit (ank/dru)
Next Page
Ekspor Barang Loyo, Tapi Impor Melejit
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular