'Manusia Setengah Dewa' Pun Tak Bisa Selesaikan Masalah CAD

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 August 2019 11:35
'Manusia Setengah Dewa' Pun Tak Bisa Selesaikan Masalah CAD
Foto: Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi pekan yang luar biasa sibuk bagi pelaku pasar keuangan tanah air. Jika di luar negeri ada perang dagang AS-China, di dalam negeri ada rilis data ekonomi yang begitu penting.

Pada awal pekan yakni hari Senin (5/8/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Kemudian besok (9/8/2019), Bank Indonesia (BI) dijadwalkan merilis angka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).

Baca:
Pak Jokowi, Cuma Keajaiban Bisa Bawa Ekonomi RI Tumbuh 7%

Bagi yang belum tahu, NPI merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari tanah air. Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.

Angka NPI menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi cadangan devisa Indonesia. Kala NPI positif, cadangan devisa akan bertambah dan memberikan amunisi tambahan bagi BI untuk menstabilkan rupiah (intervensi) kala terjadi depresiasi yang signifikan.

Biasanya, intervensi BI untuk menstabilkan pergerakan rupiah dilakukan dengan melepas dolar AS ke pasar. Hukum permintaan dan penawaran bermain di sini. Kala BI melepas dolar AS ke pasar, apalagi dengan nilai yang besar, membludaknya suplai dolar AS akan membuat nilainya turun (rupiah menguat, dolar AS melemah).

Bagi sebuah perekonomian, kestabilan nilai tukar sangatlah penting, utamanya melawan dolar AS. Pasalnya, aktivitas perdagangan internasional sangat tergantung dari pergerakan nilai tukar rupiah melawan dolar AS.

Ketika rupiah melemah, produk ekspor Indonesia akan menjadi lebih murah, namun di sisi lain produk impor akan menjadi lebih mahal. Sebaliknya kala rupiah menguat, produk impor akan menjadi lebih murah, namun produk ekspor Indonesia akan menjadi lebih mahal.

Namun, jika berbicara mengenai rupiah, ada indikator lain yang tak kalah penting, bahkan bisa dibilang lebih penting ketimbang NPI. Indikator tersebut bernama Transaksi Berjalan yang merupakan bagian dari NPI itu sendiri.

Untuk diketahui, NPI memiliki tiga komponen utama sebagai pembentuknya yakni Transaksi Berjalan, Transaksi Modal, dan Transaksi Finansial. Transaksi Berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari tiga hal: ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.

Pos pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, beserta dengan arus devisa dari hasil investasi (baik itu investasi langsung, investasi portofolio, maupun investasi lainnya).

Kemudian, pos pendapatan sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya. Pos pendapatan sekunder mencakup pula transfer dari tenaga kerja (remitansi).

Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Tak Pernah Beres Tapi Makin Parah
Celakanya, Transaksi Berjalan Indonesia selalu mencetak defisit setiap tahunnya. Bukannya malah menipis, belakangan defisit yang dibukukan justru semakin melebar. Bahkan pernah menembus rekor.

Pada tahun 2014, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) tercatat sebesar 3,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Perlu dicatat, PDB Indonesia terus meningkat setiap tahunnya sehingga kala rasio CAD terhadap PDB meningkat, pastilah nilai nominal CAD itu sendiri juga meningkat.

Pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, CAD sejatinya menipis ke level 2,03% dari PDB. Pada tahun 2016 dan 2017, CAD kembali membaik menjadi masing-masing 1,82% dan 1,6% dari PDB.

Namun, CAD Indonesia melejit menjadi 2,98% dari PDB pada tahun 2018, menandai CAD terparah sejak tahun 2014 (3,09% dari PDB). Merespons bengkaknya CAD, rupiah melemah hingga 5,97% melawan dolar AS di pasar spot sepanjang tahun 2018.

Di tahun 2019, bayang-bayang bengkaknya CAD belum juga bisa diusir. Sepanjang kuartal I-2019, BI mencatat Transaksi Berjalan membukukan defisit senilai US$ 6,97 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. CAD pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih dalam ketimbang CAD pada tiga bulan pertama tahun 2018 yang senilai US$ 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB.


Kala CAD pada kuartal-I saja sudah jauh lebih dalam, ada kemungkinan yang besar bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018, apalagi jika ternyata CAD kuartal II-2019 juga lebih dalam daripada CAD kuartal II-2018. Memang, rupiah masih menguat secara year-to-date. Sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin, 7/8/2019), rupiah mencetak apresiasi sebesar 1,11% melawan dolar AS di pasar spot.

Namun jika dicermati, dalam beberapa waktu terakhir rupiah terdepresiasi dengan begitu signifikan. Pada tahun ini, titik penutupan terkuat rupiah berada di level Rp 13.915/dolar AS (15 Juli 2019). Dalam periode 16 Juli hingga 7 Agustus, rupiah membukukan depresiasi sebesar 2,16%.


Kekhawatiran dalam menantikan rilis angka NPI (berikut Transaksi Berjalan) periode kuartal II-2019 ikut menjadi faktor yang melandasi aksi jual atas rupiah dalam beberapa waktu terakhir.

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Transaksi Berjalan Indonesia sangatlah mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, negara-negara tetangga tercatat memiliki defisit Transaksi Berjalan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Bahkan, pada tahun lalu Thailand dan Malaysia bisa membukukan surplus Transaksi Berjalan yang besar.


BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Ekspor Barang Loyo, Tapi Impor Melejit Kenapa sih CAD Indonesia membengkak terus? Jika dicermati, sedari tahun 2012 kala Transaksi Berjalan Indonesia mulai konsisten membukukan defisit, sumbangsih terbesar bagi CAD selalu datang dari pos pendapatan primer.

Hal ini sejaitnya wajar saja. Pasalnya, investor asing memiliki porsi yang besar di pasar saham dan obligasi Indonesia sehingga akan selalu ada keuntungan investasi yang dibawa keluar dari Indonesia.

 
Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Juli 2019 pemodal asing tercatat memiliki 44,9% dari saham yang tercatat di KSEI. Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 6 Agustus 2019 investor asing menguasai senilai Rp 1.014,93 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 39,16%.

Defisit di pos pendapatan primer ini sulit untuk diredam. Bisa sih, misalnya dengan memainkan kebijakan perpajakan. Semakin lama keuntungan atas investasi portofolio ditahan di tanah air, maka ada insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah. Namun agaknya, sulit untuk mengharapkan kebijakan macam ini dalam waktu dekat.

Pasalnya, kebijakan macam ini memerlukan kajian yang panjang dari pihak Kementerian Keuangan. Belum lagi jika harus dibahas terlebih dahulu bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), urusan bisa makin panjang lagi. Jika kebijakan tersebut lolos pun, belum tentu investor asing betah memarkir dananya lama-lama di Indonesia.

Nah, cara yang paling memungkinkan untuk memperbaiki Transaksi Berjalan adalah meningkatkan ekspor barang. Terhitung dalam periode 2010 hingga 2017, neraca barang selalu membukukan surplus. Namun pada tahun 2018, neraca barang membukukan defisit senilai US$ 439 juta.


Pada tiga bulan pertama tahun 2019, neraca barang membukukan surplus senilai US$ 1,06 miliar. Namun, surplus tersebut merupakan surplus neraca barang kuartal I terendah setidaknya sejak tahun 2010.


Pesatnya pertumbuhan impor yang tak bisa diimbangi oleh pertumbuhan ekspor menjadi faktor yang memberikan tekanan terhadap neraca barang (yang kemudian menekan Transaksi Berjalan).

Pada tahun 2018, BI mencatat bahwa ekspor barang tumbuh sebesar 7% jika dibandingkan dengan tahun 2017, sementara impor justru tercatat melejit hingga 20,7%. Pada kuartal I-2019, impor memang jatuh sebesar 6,1% secara tahunan, namun ekspor justru ambruk hingga 8,6%.


BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Sektor Manufaktur Harus Dibuat Bergairah Guna mendongkrak ekspor barang (yang pada akhirnya akan membuat neraca barang surplus dan mengurangi tekanan terhadap Transaksi Berjalan), pemerintah sudah sepatutnya bekerja keras untuk menggairahkan sektor manufaktur.

Pasalnya, negara-negara berkembang memang lazimnya mengantungkan ekspor mereka terhadap produk-produk manufaktur. Untuk diketahui, sejauh ini produk ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas yang nilai tambahnya rendah. Selain nilai tambahnya rendah, menggantungkan diri kepada komoditas sebagai produk ekspor utama juga tidak baik karena harganya yang begitu berfluktuasi.

Ketergantungan terhadap komoditas sebagai produk ekspor utama bahkan diakui sendiri oleh pemerintah.

“Hingga saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas dengan jasa transportasi asing, tidak berbeda dengan periode 40 tahun yang lalu. Rasio ekspor terhadap PDB terus menurun dari 41% pada tahun 2000 menjadi 21% pada tahun 2018. Akibatnya, Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan, sementara beberapa negara peers sudah mencatatkan surplus," mengutip dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dipublikasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Jika berbicara mengenai sektor manufaktur, sejatinya tulang punggung perekonomian Indonesia ini sudah menjadi begitu keropos dalam beberapa tahun terakhir. Untuk diketahui, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).

Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.

Dari tahun ke tahun, pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.

Baca:
Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?

Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%. Sangat-sangat miris.


Tak heran jika ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas, wong sektor manufaktur tak ada gairahnya sama sekali.

Alhasil, guna meningkatkan ekspor dan memperbaiki Transaksi Berjalan, sektor manufaktur harus digairahkan kembali. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur harus diberi insentif yang bisa mendorong mereka untuk memasarkan produknya di luar negeri.

Selain itu, penanaman modal (baik merupa penanaman modal dalam negeri [PMDN] ataupun penanaman modal asing [PMA]) ke sektor manufaktur juga patut digenjot supaya semakin banyak pemain di sektor manufaktur Indonesia.

Baca:
Pak Jokowi, Ini Sederet Cara Agar Investasi Tak Lagi Loyo Cara yang paling mudah adalah dengan memberikan insentif fiskal. Selama ini, insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang ‘kentang’, hampir tak ada dampaknya sama sekali.

Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.

Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan pajak penghasilan (PPh) paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.

Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%. PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.

Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).

Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja ‘kentang’, ya hasilnya sama saja. Sektor manufaktur akan tetap tak bergairah dan permasalahan bernama deifisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) tak akan bisa diatasi.

Kala cara main Jokowi masih saja seperti saat ini, dewa pun tak akan bisa membenahi permasalahan CAD.

Apa iya pemerintah rela melihat mata uang Garuda terus saja terdepresiasi lantaran CAD terus membengkak?

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular