Dana Pendidikan 20% APBN, Kualitas Output Kok Kalah Bersaing?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
03 August 2019 08:04
Dana Pendidikan 20% APBN, Kualitas Output Kok Kalah Bersaing?
Foto: Ruangan kelas 5 yang rusak di SDN Citatah Jaya, Kelurahan Ciriung, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/7/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Satu dekade telah berlalu sejak negeri ini mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dengan menggelontorkan seperlima dari anggarannya ke sektor pendidikan. Harapannya, kualitas manusia Indonesia pun kian kompetitif. Namun kenyataannya, belum.

Sebenarnya, amanat pengalokasian mayoritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sektor pendidikan ini sudah termaktub di UUD 1945 pasal 31 ayat 4, yang diperkokoh dengan UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 49 ayat 1.

Hanya saja, implementasinya tak bisa seperti membalik telapak tangan. Perlu gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kurun waktu 2005-2008, yang berujung pada enam putusan, yang intinya mempertegas kewajiban penganggaran 20% dari APBN, dan mengultimatum presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mematuhi.

Akhirnya, anggaran pendidikan 2009 dialokasikan sebesar Rp 207,4 triliun (20% dari APBN). Sejak saat itu, pemerintah patuh mengalokasikan 20% dari bujetnya untuk program yang terkait pendidikan, baik di Kementerian Pendidikan, maupun di kementerian dan lembaga lainnya.
Dana Pendidikan 20% APBN, Kualitas Output Kok Kalah Bersaing?Foto: Ruangan kelas 5 yang rusak di SDN Citatah Jaya, Kelurahan Ciriung, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/7/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Kini, sepuluh tahun sejak putusan pemerintah mematuhi ketentuan penganggaran pendidikan, apakah hasilnya sesuai dengan harapan? Tim Riset CNBC Indonesia berusaha menelusuri dengan mengacu pada indikator capaian pendidikan, baik domestik maupun internasional.

Jika mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka IPM Indonesia naik berkesinambungan dari 66,53 (2010) ke 71,39 (2018). IPM mengukur keberhasilan pembangunan kualitas hidup manusia untuk mengakses pendidikan. 
Dana Pendidikan 20% APBN, Kualitas Output Kok Kalah Bersaing?Foto: Sumber: BPS
Bersamaan dengan itu, Harapan Lama Sekolah (HLS) naik 1,7% per tahun yang mengindikasikan makin banyak WNI yang bersekolah. Pada 2018, HLS mencapai 12,91 tahun. Artinya, anak-anak usia 7 tahun berpeluang menamatkan pendidikan mereka hingga lulus SMA atau D1 ke depan.

Sementara itu, rata-rata lama sekolah warga dewasa (25 tahun ke atas) tumbuh 1,14% per tahun. Pada 2018, secara rata-rata penduduk Indonesia usia dewasa tersebut mencapai 8,17 tahun, atau telah menyelesaikan pendidikan hingga kelas IX (pendidikan dasar).

Itu versi BPS. Indonesia bisa dibilang kian membaik dalam hal pembangunan manusia lewat pendidikan. Lalu, bagaimana jika kita bicara kancah internasional?

Ke Halaman Selanjutnya

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terbuka menyayangkan program pendidikan yang belum mencapai sasaran meski APBN telah mengalokasikan 20% dari anggarannya ke sektor ini.

Dia mengutip laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD) tentang Program for International Student Assessment (PISA). Di situ, Indonesia di level 62 dari 70 negara, alias terbarik ke-9 dari bawah.




"Indonesia masih berada di belakang beberapa negara Asia dari segi pendidikan, padahal kami telah mengeluarkan anggaran 20 persen dari APBN untuk edukasi selama 10 tahun terakhir. Ini masih belum memuaskan," tutur Sri Mulyani, pada Selasa (12/3/2019).

PISA mengukur kualitas output pendidikan sebuah negara dengan menguji siswa berusia 15 tahun untuk memecahkan persoalan akademis di bidang matematika, sains, dan daya baca. Risetnya dilakukan tiap 3 tahun sekali, dan terakhir dirilis pada 2015. Riset terbaru tahun ini baru akan dirilis pada Desember 2019.

Jika kita mengacu pada United Nations Development Programme (UNDP), posisi IPM Indonesia—atau istilahnya Human Development Index (HDI)— di dalam laporan lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut belum cukup kuat.

Di dalam laporan penelitian tahun 2017 yang baru dirilis resmi tahun lalu tersebut, Indonesia terhitung kalah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara dengan berada di level 116, berbagi tempat dengan Vietnam dan hanya unggul terhadap Kamboja dan Myanmar.




Sebagai catatan, skor mendekati 1 menunjukkan sebuah negara kian berhasil membangun kualitas manusianya dengan indikator usia harapan hidup yang meningkat, pendapatan nasional bruto per kapita yang besar, dan tingkat pendidikan yang tinggi.

Per 2017 tersebut, skor Indonesia berada di level 0,694, atau sedikit membaik dibandingkan posisi 2016 pada 0,691. Namun jika dibandingkan dengan negara tetangga, misalnya Malaysia, maka capaian Indonesia jadi tak berarti karena skor HDI Negeri Jiran itu mencapai 0,802. Lalu di mana problemnya? 

Ke Halaman Selanjutnya


Memang benar bahwa pemerintah telah berinvestasi besar-besaran di bidang pendidikan dengan mengalokasikan seperlima anggaran negara selama 10 tahun terakhir. Namun, harus disadari bahwa belanja itu banyak mengalir ke fasilitas fisik dan penunjang.

Data Rekapitulasi Nasional BOS SD per triwulan I menunjukkan bahwa dana BOS terfokus untuk membiayai proyek fisik dan fasilitas penunjang operasonal sekolah seperti operasional aktivitas mengajar, perawatan fisik, dll.




Jika mengacu pada PISA, maka terlihat bahwa gelontoran dana tersebut selama 1 dekade terakhir ternyata tidak banyak membuat kualitas output pendidikan Indonesia semakin kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Artinya, persoalan bukan lagi di ranah fisik semata.

Di satu sisi, aspek fisik memang tetap perlu dibangun mengingat banyak kondisi sekolah yang masih memprihatinkan. Namun, berhenti di aspek fisik adalah kesalahan besar mengingat aspek sistemis yang tidak atau belum tergarap di tengah kucuran dana triliunan rupiah selama 10 tahun terakhir ini.


Aspek sistemik tersebut tentunya bersifat soft-structure, yang selama ini belum digarap lewat dana APBN. Apa itu? Kurikulum. Ruh pendidikan yang progresif dan sesuai tuntutan zaman terletak pada kurikulum dan kapasitas pengajar agar murid tidak hanya menjadi penghafal bahan pelajaran, tetapi juga berlogika dan berpikir sesuai dengan tuntutan global kekinian.

Namun sayangnya, sasaran penggunaan dana APBN di Kemdikbud sejauh ini memang lebih pada upaya membangun fasilitas fisik pendidikan dan penyediaan tenaga penunjang seperti guru. Ini bisa dilihat dari sasaran target yang terfokus pada aspek-aspek penunjang pendidikan.
Dana Pendidikan 20% APBN, Kualitas Output Kok Kalah Bersaing?Foto: Sumber: Kemdikbud
Untuk itu, mari kita simak laporan Lowy Institute yang menyorot soal buruknya sistem pendidikan Indonesia. Berjudul “Beyond access: Making Indonesia’s education system work”, laporan itu menilai problem sistem pendidikan Indonesia terkait dengan “politik dan kuasa”.

“Tantangan terbesar Indonesia terkait dengan pendidikan tidak lagi pada memperbaiki akses pendidikan, melainkan juga memperbaiki kualitasnya,” tulis laporan yang dirilis di Sydney, Australia tersebut.

Indonesia, baru menyelesaikan persoalan pertama pendidikan yakni: dana. Tiga persoalan lain masih menghadang: kualitas tenaga pengajar, minimnya insentif bagi pengajar menciptakan teknik ajar dan riset berkualitas, serta buruknya manajemen institusi pendidikan.


Pada tahun yang sama ketika pemerintah menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan, mereka mendudukan sekolah negeri di “kasta rendah”, dengan mengenalkan ‘sekolah internasional’ yang kurikulumnya menganut standar OECD dan diizinkan mematok tarif jauh lebih tinggi.

Pertanyaannya cuma satu: bukankah seharusnya standar internasional OECD itu diterapkan di semua sekolah negeri, jika kita ingin benar-benar mencetak murid berkualitas dan berdaya saing internasional?

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular