
Petani Gagal Panen, Harga Cabai Melesat
Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
21 July 2019 18:42

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga cabai merah dan cabai rawit melesat yang dipicu minimnya pasokan dari petani maupun distributor. Di beberapa daerah, pasokan memang terhambat karena kekeringan yang terjadi sejak beberapa bulan lalu.
Petani cabai di Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto mengalami kerugian karena tanaman cabai mengering sebelum sempat dipanen.
Salah seorang petani cabai di Desa Pucuk, Sugeng (63) mengatakan, kemarau sejak awal Juni 2019 membuat dirinya kesulitan mendapatkan air untuk irigasi. Perkebunan di wilayahnya selama ini mengandalkan air hujan.
Akibat kekurangan air, tanaman cabai miliknya mengering. Buah cabai yang masih muda pun nampak layu sehingga tak bisa dipanen. Sugeng terpaksa mencabuti tanaman cabai yang telah mengering di lahan miliknya.
"Biasanya lahan saya 300 meter persegi kalau panen menghasilkan puluhan kilogram cabai. Ini karena kering tak bisa dipanen," kata Sugeng sembari mencabuti tanaman cabai yang sudah layu, seperti dikutip dari detikcom, Minggu (21/7/2019).
Hal senada dikatakan Sunardi (46), petani cabai rawit di Desa Pucuk. Jika tak kesulitan air, rata-rata setiap hektare lahan menghasilkan 3-4 kwintal cabai. Uang yang dia hasilkan pun mencapai Rp 5 juta.
"Sekarang bisa dilihat sendiri tak laku dijual. Oleh sebab itu kami sengaja membiarkan cabai di pohonnya, soalnya sudah tak laku," terangnya.
Akibat gagal panen, Sunardi mengalami kerugian Rp 4 juta untuk setiap hektare lahan yang dia garap. Kerugian itu akibat biaya tanam dan perawatan yang selama ini dia keluarkan.
Dia hanya bisa gigit jari melihat hamparan tanaman cabai rawit miliknya tak bisa dipanen. Terlebih lagi saat ini harga cabai rawit di pasar-pasar Mojokerto menembus angka Rp 60 ribu/Kg.
"Mau bagaimana lagi, kami tak bisa berbuat apa-apa. Karena tanaman cabai sangat membutuhkan air untuk tetap bertahan hidup," tandasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob) Next Article Banjir Jadi Biang Kerok Harga Cabai Meroket
Petani cabai di Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto mengalami kerugian karena tanaman cabai mengering sebelum sempat dipanen.
Salah seorang petani cabai di Desa Pucuk, Sugeng (63) mengatakan, kemarau sejak awal Juni 2019 membuat dirinya kesulitan mendapatkan air untuk irigasi. Perkebunan di wilayahnya selama ini mengandalkan air hujan.
Akibat kekurangan air, tanaman cabai miliknya mengering. Buah cabai yang masih muda pun nampak layu sehingga tak bisa dipanen. Sugeng terpaksa mencabuti tanaman cabai yang telah mengering di lahan miliknya.
"Biasanya lahan saya 300 meter persegi kalau panen menghasilkan puluhan kilogram cabai. Ini karena kering tak bisa dipanen," kata Sugeng sembari mencabuti tanaman cabai yang sudah layu, seperti dikutip dari detikcom, Minggu (21/7/2019).
Hal senada dikatakan Sunardi (46), petani cabai rawit di Desa Pucuk. Jika tak kesulitan air, rata-rata setiap hektare lahan menghasilkan 3-4 kwintal cabai. Uang yang dia hasilkan pun mencapai Rp 5 juta.
"Sekarang bisa dilihat sendiri tak laku dijual. Oleh sebab itu kami sengaja membiarkan cabai di pohonnya, soalnya sudah tak laku," terangnya.
Akibat gagal panen, Sunardi mengalami kerugian Rp 4 juta untuk setiap hektare lahan yang dia garap. Kerugian itu akibat biaya tanam dan perawatan yang selama ini dia keluarkan.
Dia hanya bisa gigit jari melihat hamparan tanaman cabai rawit miliknya tak bisa dipanen. Terlebih lagi saat ini harga cabai rawit di pasar-pasar Mojokerto menembus angka Rp 60 ribu/Kg.
"Mau bagaimana lagi, kami tak bisa berbuat apa-apa. Karena tanaman cabai sangat membutuhkan air untuk tetap bertahan hidup," tandasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob) Next Article Banjir Jadi Biang Kerok Harga Cabai Meroket
Most Popular