Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi

Rapor Menteri Airlangga: Konsep Ok, Eksekusi Nothing

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 13:31
Rapor Menteri Airlangga: Konsep Ok, Eksekusi Nothing
Menteri PerindustrianAirlangga Hartarto (Kemenperin)
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi industri terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih yang terbesar yaitu sekitar 20%. 

Namun, tulang punggung ini seakan terserang osteoporosis. Dia sekarang begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun. 

Pada 2018, kontribusi industri terhadap pembentukan PDB adalah 19,86%. Padahal pada 2014, kontribusinya adalah 21,02%.

Apalagi kalau bicara 2008, kala itu sumbangsih industri terhadap pembentukan PDB adalah 27,81%. Menyusut lumayan dalam.
 

 

Belum lagi bicara laju pertumbuhan industri. Sudah cukup lama, laju pertumbuhan industri pengolahan selalu di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
 Pada tahun 2011, industri pengolahan membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan industri pengolahan bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi.



Akibat lambatnya pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Memang, jika melihat pertumbuhan serapan tenaga kerja industri manufaktur, angkanya terbilang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, terlepas dari pertumbuhan industri manufaktur itu sendiri yang lemah.



Namun, kalau saja pertumbuhan industri manufaktur tak lemah, maka serapan tenaga kerjanya tentu bisa lebih kencang lagi. Hal ini penting, mengingat industri manufaktur berkontribusi 14,7% dari total lapangan kerja di Indonesia (per tahun 2018), terbesar ketiga di bawah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,8%) dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor (18,6%).

Guna memberantas tingkat pengangguran di Indonesia yang merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, wajib hukumnya pemerintah menggenjot penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang sudah terbukti menjadi tulang punggung bagi bangsa Indonesia di bidang penyediaan lapangan kerja.



Sekedar mengingatkan, pembangunan industri manufaktur adalah salah satu prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kala menerima tongkat estafet dari Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi berjanji akan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari konsumtif menjadi produktif.
 

Artinya Indonesia harus membangun industri pengolahan yang memberikan nilai tambah. Jangan lagi Indonesia bergantung kepada komoditas, karena itu tidak sehat. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sejatinya, ada modal besar yang dimiliki untuk mengembangkan industri pengolahan di tanah air, yakni infrastruktur. Ya, tanpa adanya infrastruktur yang memadai, jangan harap aktivitas industri di tanah air akan bergeliat.

Semenjak resmi menjadi presiden pada Oktober 2014, Jokowi tampak begitu giat membangun infrastruktur.

Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.

Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada Oktober atau kurang dari 3 bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.

Selain gelontoran dana yang besar, pembangunan infrastruktur di era Jokowi terbukti lebih menyeluruh. Sebagai perbandingan, dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.

Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.

Beralih ke zaman Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%) dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Dalam 3 tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Pembangunan industri nasional berada dalam ranah Kementerian Perindustrian. Di Kabinet Kerja 2014-2019, Saleh Husin menjabat menteri perindustrian hingga Juli 2016 sebelum digantikan oleh Airlangga Hartarto sampai sekarang. 

Sang Ketua Umum Partai Golkar sepertinya sudah menyadari bahwa sektor industri dalam negeri butuh servis besar, butuh overhaul. Tidak hanya overhaul, pembangunan industri juga harus disesuaikan dengan kebutuhan terkini. 

Guna melengkapi pembangunan infrastruktur secara masif yang digalakkan oleh Jokowi, Airlangga kemudian menuangkan rencana pengembangan industri pengolahan tanah air dalam program bertajuk Making Indonesia 4.0. Artinya, pembangunan industri harus sejalan dengan arus utama saat ini yaitu berbasis teknologi.

"Penerapan 4IR (revolusi industri keempat) membuka peluang untuk merevitalisasi kembali industri manufaktur kita, meningkatkan produktivitas pekerja, mendorong ekspor, serta membuka sekitar 10 juta lapangan pekerjaan tambahan yang akan menjadi landasan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk menuju 10 ekonomi terbesar di dunia," sebut Airlangga dalam kata sambutan dokumen Making Indonesia 4.0. 

Ada empat pilar utama dalam program Industri 4.0 a la Kemenperin. Pertama adalah menjadikan Indonesia masuk 10 besar perekonomian dunia pada 2030. Saat ini Indonesia berada di peringkat 16. 

Kedua adalah menggandakan rasio produktivitas terhadap biaya (produtivity-cost ratio). Ketiga adalah mendorong net ekspor hingga berkontribusi 10% terhadap PDB.

Pada 2018, ekspor menyumbang 21,13% terhadap PDB sementara impor menjadi faktor pengurang dengan angka 23,7%. Jadi secara net malah negatif, ekspor tidak memberi kontribusi justru menjadi beban bagi PDB. 

Baca:
Bukan Melesat, Ekonomi RI Malah Meleset dan Neraca Jeblok

Pilar keempat adalah menganggarkan 2% dari PDB untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Hal ini dilakukan untuk mendorong inisiatif penguasaan dan pengembangan teknologi pada masa mendatang. 

Kemudian, Kemenperin akan berfokus kepada lima industri yaitu makanan-minuman, tekstil dan produk tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia. Lima sektor ini dipilih karena menyumbang 60% dari PDB industri manufaktur, 65% dari ekspor manufaktur, dan 60% dari lapangan kerja manufaktur. 

"4IR mencakup beragam teknologi canggih seperti kecerdasan buatan, internet of things, wearables, robotika, dan 3D printing. Indonesia akan berfokus pada lima sektor utama untuk penerapan awal teknologi ini. Indonesia akan mengevaluasi strategi dari setiap fokus sektor setiap 3-4 tahun untuk meninjau kemajuannya dan mengatasi tantangan pelaksanaannya," sebut dokumen Making Indonesia 4.0. 

Berdasarkan kajian Kemenperin, implementasi Making Indonesia 4.0 bisa mendongkrak pertumbuhan PDB sebesar 1-2% per tahun sehingga pertumbuhan ekonomi bisa mencapai rata-rata 6-7% hingga 2030. Kemudian kontribusi industri manufaktur terhadap pembentukan PDB akan naik menjadi 21-26%. Lalu ekspor neto bisa menaikkan kontribusinya menjadi 5-10% terhadap PDB. 

"Selain kenaikan produktivitas, Making Indonesia 4.0 menjanjikan pembukaan lapangan pekerjaan sebanyak 7-19 juta, baik di sektor manufaktur maupun non-manufaktur, pada 2030 sebagai akibat dari permintaan ekspor yang lebih besar," sebut dokumen Making Indonesia 4.0. 

Program Making Indonesia 4.0 dicanangkan pada 2018. Sejauh ini hasilnya ada sedikit terlihat, tetapi ya itu. Sedikit.

Pada kuartal I-2019, kontribusi industri terhadap PDB naik menjadi 20,07% dari kisaran 19% pada 2018. Sementara net ekspor mengurangi PDB sebesar 0,26%. Masih minus, tetapi membaik ketimbang kuartal sebelumnya. 

Making Indonesia 4.0 adalah sebuah program jangka panjang, yang jika dijalankan secara konsisten bisa saja menyembuhkan tulang punggung ekonomi nasional dari osteoporosis.

Secara konsep, sebenarnya Airlangga sudah oke. Sudah on track lah. Namun soal implementasi, nanti dulu...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular