
'Apa yang Terjadi Bila Prabowo Menang di Pilpres 2019?'
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
09 April 2019 13:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang pelaksanaan pemilihan umum presiden (pilpres) 2019 pada 17 April mendatang, sejumlah tulisan di media asing menampilkan analisis mengenai peluang kedua kandidat.
Setidaknya dua tulisan dari dua media yang berbeda sama-sama menjagokan calon presiden nomor urut 01 sekaligus petahana Joko Widodo dibandingkan rivalnya Prabowo Subianto.
Namun, apa yang menurut mereka akan terjadi bila Prabowo yang justru mampu membalikkan situasi?
"Bila lawan Jokowi, Prabowo Subianto memenangkan jabatan presiden, kebijakan di Indonesia akan berubah menjadi populis," tulis analis The Economist Intelligence Unit Anwita Basu dalam siaran pers, Kamis (4/4/2019) lalu.
The Economist Intelligence Unit adalah lembaga think tank yang berada di bawah naungan media ekonomi The Economist.
"Resep kebijakan Prabowo dapat mengancam stabilitas makroekonomi Indonesia, dan pendekatan proteksionisnya dapat menakut-nakuti investor asing," tambahnya.
Dalam laporan tersebut, The Economist Intelligence Unit memperkirakan Jokowi akan kembali memenangkan pilpres karena besarnya dukungan yang ia terima dari partai-partai pengusungnya.
Pemerintahan sang presiden saat ini telah membawa stabilitas makroekonomi dan akses yang lebih baik atas layanan kesehatan dan pendidikan, tulis lembaga tersebut.
Namun, posisi Jokowi bukan tanpa risiko. RsTantanganiko utama bagi Jokowi adalah upayanya untuk meraih dukungan kalangan Islam konservatif dan kegagalannya memperbaiki penegakan hak asasi manusia di Indonesia akan mengecewakan basis pendukung utamanya.
"Anak-anak muda liberal dan kaum minoritas khususnya tidak akan mendukungnya dengan semangat yang sama sebagaimana yang mereka tunjukkan di 2014," menurut Basu.
Meski juga menjagokan Jokowi, kolumnis Reuters, Clara Ferreira-Marques, mengatakan posisi sang petahana masih riskan.
Ia menyebut kemenangan Jokowi dari Prabowo di pemilu 2014 lalu sangatlah tipis, yaitu hanya enam poin persentase. Ini adalah hasil paling ketat dalam sejarah pemilu di Indonesia.
"Prabowo lebih baik dalam meraih suara Islam konservatif dan menyampaikan nada nasionalis, dengan menjanjikan, misalnya, meninjau kembali investasi China (di Indonesia)," tulisnya.
Ia juga mencatat bahwa sekitar 20% pemilih belum menentukan pilihannya. Rendahnya jumlah pemilih atau tipisnya selisih dengan Prabowo akan mendorong kubu oposisi untuk mempermasalahkan pelanggaran dalam proses pemilihan.
"Ini akan menjadi hasil yang buruk bagi Indonesia yang akan mendapat banyak keuntungan dari Widodo yang lebih berpengalaman memimpin dalam lima tahun ke depan."
(dru) Next Article Prabowo Vs Jokowi di Pilpres 2019 Bikin Penjualan Mobil Lesu?
Setidaknya dua tulisan dari dua media yang berbeda sama-sama menjagokan calon presiden nomor urut 01 sekaligus petahana Joko Widodo dibandingkan rivalnya Prabowo Subianto.
"Bila lawan Jokowi, Prabowo Subianto memenangkan jabatan presiden, kebijakan di Indonesia akan berubah menjadi populis," tulis analis The Economist Intelligence Unit Anwita Basu dalam siaran pers, Kamis (4/4/2019) lalu.
The Economist Intelligence Unit adalah lembaga think tank yang berada di bawah naungan media ekonomi The Economist.
![]() |
"Resep kebijakan Prabowo dapat mengancam stabilitas makroekonomi Indonesia, dan pendekatan proteksionisnya dapat menakut-nakuti investor asing," tambahnya.
Dalam laporan tersebut, The Economist Intelligence Unit memperkirakan Jokowi akan kembali memenangkan pilpres karena besarnya dukungan yang ia terima dari partai-partai pengusungnya.
Pemerintahan sang presiden saat ini telah membawa stabilitas makroekonomi dan akses yang lebih baik atas layanan kesehatan dan pendidikan, tulis lembaga tersebut.
Namun, posisi Jokowi bukan tanpa risiko. RsTantanganiko utama bagi Jokowi adalah upayanya untuk meraih dukungan kalangan Islam konservatif dan kegagalannya memperbaiki penegakan hak asasi manusia di Indonesia akan mengecewakan basis pendukung utamanya.
"Anak-anak muda liberal dan kaum minoritas khususnya tidak akan mendukungnya dengan semangat yang sama sebagaimana yang mereka tunjukkan di 2014," menurut Basu.
![]() |
Meski juga menjagokan Jokowi, kolumnis Reuters, Clara Ferreira-Marques, mengatakan posisi sang petahana masih riskan.
Ia menyebut kemenangan Jokowi dari Prabowo di pemilu 2014 lalu sangatlah tipis, yaitu hanya enam poin persentase. Ini adalah hasil paling ketat dalam sejarah pemilu di Indonesia.
"Prabowo lebih baik dalam meraih suara Islam konservatif dan menyampaikan nada nasionalis, dengan menjanjikan, misalnya, meninjau kembali investasi China (di Indonesia)," tulisnya.
Ia juga mencatat bahwa sekitar 20% pemilih belum menentukan pilihannya. Rendahnya jumlah pemilih atau tipisnya selisih dengan Prabowo akan mendorong kubu oposisi untuk mempermasalahkan pelanggaran dalam proses pemilihan.
"Ini akan menjadi hasil yang buruk bagi Indonesia yang akan mendapat banyak keuntungan dari Widodo yang lebih berpengalaman memimpin dalam lima tahun ke depan."
(dru) Next Article Prabowo Vs Jokowi di Pilpres 2019 Bikin Penjualan Mobil Lesu?
Most Popular