Peserta BPJS Dibatasi Naik Kelas, Rugikan Bisnis Asuransi

Roy Franedya, CNBC Indonesia
18 January 2019 12:46
Selain terbitkan aturan yang soal urunan biaya rumah sakit, BPJS Kesehatan juga batasi peserta naik kelas.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - BPJS Watch mengkritisi Peraturan Menteri Keuangan (Permenkes) No.51 tahun 2018 tentang pengunaan urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan.

BPJS Watch mengkritis soal aturan selisih biaya yang membatasi peserta mandiri dan pekerja formal BPJS Kesehatan untuk naik kelas hanya boleh satu tingkat. Sebelumnya, peserta BPJS Kesehatan diperbolehkan naik kelas hingga dua tingkat atau lebih asal selisih biayanya ditanggung oleh peserta.

Koordinator Advocat BPJS Kesehatan Timboel Siregar mengatakan melihat dari tujuannya, aturan pembatasan peserta naik kelas hanya satu tingkat bagus. Sebab, peserta memiliki uang tidak bisa lagi membayar iuran kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan tetapi ketika sakit memilih naik kelas hingga kelas I atau kelas eksklusif.

"Jika peserta BPJS Kesehatan yang termasuk golongan mampu ini menjadi peserta kelas II atau kelas I maka iuran mereka bisa sebagai subsidi silang bagi peserta BPJS Kesehatan yang tidak mampu," ujar Timboel Siregar kepada CNBC Indonesia, Jumat (18/1/2019).

Batasi Peserta BPJS Kesehatan Naik Kelas Rugikan AsuransiFoto: BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)

Namun, Timboel Siregar menambahkan, aturan yang membatasi peserta naik kelas ini menghalangi hak peserta untuk mendapatkan layanan yang lebih baik. Aturan ini juga merugikan para pekerja formal yang sudah memiliki asuransi dari perusahaan tempat bekerja.

"Mereka tidak bisa lagi naik kelas kelayanan rumah sakit yang lebih tinggi , yang nyaman menurut mereka, padahal biayanya ditanggung oleh peserta atau asuransi dari kantor," ujar Timboel Siregar.

"Dalam skema naik kelas yang lebih tinggi BPJS Kesehatan tidak dirugikan sama sekali. Mereka hanya bayar biaya kesehatan sesuai dengan kategori iuran yang mereka bayar."

Dampak dari kebijakan inipun bisa berimbas pada perusahaan asuransi. Perusahaan tempat bekerja atau peserta yang memiliki keuangan yang baik akan enggan membeli polis asuransi karena tidak bisa menikmati layanan kesehatan yang lebih baik lagi.

"Perusahaan akan enggan bekerja sama dengan asuransi swasta dan memilih membayar langsung selisih biaya rumah sakit. Aturan ini juga merugikan buat rumah sakit karena bila peserta naik kelas lebih tinggi maka pendapatan yang didapat rumah sakit lebih baik," tegas Timboel Siregar.

Asal tahu saja, pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Kemenkes No.51 tahun 2018 tentang pengenaan urun biaya dan selisih bayar dalam program jaminan kesehatan. Aturan ini diterbitkan Desember 2018.

Dalam aturan baru ini, layanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dibatasi biaya kunjungan rawat jalan pada rumah sakit kelas A dan rumah sakit kelas B sebesar Rp 20 ribu untuk satu kali kunjungan. Untuk rumah sakit kelas C, D dan klinik utama Rp 10 ribu.

Aturan ini juga membatasi jumlah biaya paling tinggi untuk kunjungan rawat jalan sebesar Rp 350 ribu untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam jangka waktu 3 bulan.

Untuk rawat inap, biaya yang ditanggung peserta dari layanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan sebesar 10% dari total biaya.

Kemenkes juga membatasi berasnya biaya yang ditanggung peserta rawat jalan sebesar 10% dari biaya yang dihitung dari total tarif Sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) atau tarif layanan kesehatan yang dipatok pemerintah atau paling tinggi Rp 30 juta.

Dalam aturan ini, rumah sakit diwajibkan untuk memberitahukan dan mendapat persetujuan dari peserta BPJS Kesehatan tentang kesediaan menanggung selisih biaya. Aturan ini tidak berlaku untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah.

[Gambas:Video CNBC]



(roy/gus) Next Article Dana Bailout Cair, BPJS Kesehatan Bayarkan Klaim Rumah Sakit

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular