
Opini
Narasi Ketakutan dan Teror dalam Pidato Prabowo-Sandi
Fikri Muhammad, CNBC Indonesia
15 January 2019 15:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Ariseno Ridhwan, Kepala Media Center pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan Prabowo akan memberikan materi dan kejutan mengenai apa yang dilakukan Prabowo dan Sandi saat nanti dilantik.
Saat berbicara dalam konferensi pers di Jakarta Convention Center pada Senin 14 Januari lalu, Ari juga mengatakan tajuk pemaparan visi dan misi "Indonesia Menang" tersebut bukan hanya untuk relawan Prabowo-Sandi semata, melainkan untuk seluruh aspek relawan dan masyarakat.
Namun nampaknya pidato tersebut tidak terlalu mengejutkan dan mirip dengan tahun 2014. Membicarakan Indonesia yang berkeadilan, makmur, dan kaya serta dinikmati oleh rakyatnya sendiri sebagai isu generik yang hampir pasti dijanjikan oleh berbagai calon.
Tidak salah dengan cita-cita mulia tersebut. Tetapi yang perlu dicermati adalah bagaimana Prabowo-Sandi mengemas pidatonya dalam bentuk narasi ketakutan dan teror.
Pembukaan paparan acara visi misi “Indonesia Menang” dibuka dengan tampilan video Prabowo Subianto yang fasih berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Apa yang dimaksud dalam tayangan tersebut sepertinya jelas, menyadarkan publik dan menciptakan sebuah pandangan dari khalayak pendukungnya. Tentang sosok kepemimpinan yang pantas tampil di kancah internasional.
Kemudian masuk pada paparan pidato dari Sandiaga Uno yang banyak menggambarkan paparan behavorialistik. Menceritakan perjalananya keliling Indonesia dan mendengarkan keluh kesah masyarakat.
"Alhamdulillah saya sempat mengunjungi 1.000 titik kunjungan di seantero negeri ini. Mulai dari curhatan emak-emak di pasar tradisional, milenial di cafe, petani, pedagang pasar, buruh, pengusaha UMKM, transportasi online, dan seluruh lapisan masyarakat. Bangsa ini tumbuh jauh di bawah potensinya. Maka sudah saatnya we wayae, kita bangun optimisme," ujar Sandi di Jakarta Convention Center, Senin (14/1/2019).
Walaupun cara Sandi itu bukan barang baru, para pendukungnya tampak bergembira mendengar kisah blusukan dari sosok Sandi. Ditambah, Sandi juga menampilkan pertemuannya dengan banyak lapisan masyarakat sebelum pidatonya dimulai dalam video yang di tampilkan di latar panggung. Namun, Sandi tetap memberikan bumbu ketakutan, seolah negara ini penuh dengan pesimistik.
Tidak hanya Sandi, namun Prabowo juga menggunakan cara yang sama. "Saudara sekalian, beberapa waktu lalu saya mendapat laporan buruh tani. Seorang bapak bernama Hardi di Desa Tawangharjo, Grobogan Jawa Tengah. Ia gantung diri meninggalkan anak istri karena merasa beban ekonomi yang berat," kata Prabowo dalam pidatonya (14/1/2019).
Entah apa yang ada di benak Prabowo kala itu. Membungkus kritik ekonomi melalui kasus bunuh diri. Jika memang sebuah data petani bernama Hardi merupakan fakta mengapa Prabowo melebih-lebihkan statistik dengan menggunakan bahasa yang ambigu dan mempermainkan emosional publik sebagai senjata utama.
Firman Manan, selaku pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, ikut berkomentar mengenai strategi kampanye Prabowo-Sandi dengan menebar ketakutan.
"Salah satu strategi kampanye yang dapat dipraktikkan adalah memainkan isu-isu untuk membangun politik ketakutan (politics of fear) dan membangun narasi pesimisme, yang menyentuh sisi emosionalitas pemilih. Permasalahannya, apakah solusi konkret dari penyataan ada petani yang bunuh diri karena himpitan ekonomi yang dapat diberikan? Tidak selesai hanya dengan membangun politik ketakutan belaka," kata Firman.
Trump juga menyebarkan ketakutan dalam praktik kampanye politiknya. Ia menebar stigma negatif terhadap imigran Meksiko dan terorisme dari umat Muslim. Cara ini secara nyata justru meningkatkan elektabilitas Trump sehingga ia berhasil menduduki jabatan presiden Amerika Serikat.
Jika dikaitkan, ucapan Prabowo menggambarkan Hardi sebagai “korban” membuat publik merasa rentan serta membutuhkan perlindungan dan jaminan ekonomi. Cara ini memang sengaja diutarakan untuk merendahkan kubu Jokowi.
Dengan sosok Prabowo sebagai mantan panglima militer, ucapan tersebut dapat menggambarkan bahwa ia adalah seorang strong man yang dibutuhkan bagi Republik Indonesia untuk mengatasi permasalahan ekonomi.
Tidak hanya Prabowo dan Sandi. Seorang mantan politikus PDI-P, Tubagus Dedi Suwendi Gumelar (Miing) juga mempunyai penalaran fokus yang serupa dalam upaya mengkritisi pemerintahan Jokowi ketika berkomentar tentang penurunan daya beli masyarakat.
"Faktanya dilapangan ya, saya ketemu dengan beberapa pengusaha. Baik pengusaha retail maupun konstruksi ya. Dari 10 pengusaha 8 sampai 9 diantaranya hampir collapse. Jadi daya beli masyarakat semakin sulit, begitu," kata politisi yang juga komedian saat ditemui CNBC Indonesia di Jakarta Convention Center (14/1/2019).
Miing juga menambahkan bahwa pemerintahan Jokowi selama ini hanya memamerkan infrastruktur di jalan tol. Yang menurut Miing hal itu adalah sektor privat, sehingga masyarakat harus membayar jika ingin menggunakan jalan tol tersebut. Sepatutnya, menurut Miing, jika berbicara jalan milik negara maka rakyat tidak harus membayar.
Uniknya, narasi ketakutan dan teror ini tidak hanya memengaruhi para pendukung. Namun melekat pada tokoh dalam kubu Prabowo seperti Miing. Ia nampaknya kebingungan apa yang sebetulnya terjadi pada konteks jalan milik negara. Atau mungkin ia memang menyadari, keuntungan dari penyebaran ketakutan.
[Gambas:Video CNBC]
Di waktu yang bersamaan, Jokowi yang berpidato di Istora Senayan dalam acara Pertemuan dengan Perangkat Pemerintah Desa Indonesia (PPDI) (14/1/2019) mengklaim bahwa pemerintah sudah mengucurkan dana 257 triliun ke 74 ribu Desa sampai tahun 2019. Menurut Jokowi, dana ini merealisasikan 138 kilo meter jalan desa.
Jika politisi seperti Miing mau membaca gerak-gerik oposisi seharusnya ia sudah tahu tentang dana yang dikeluarkan dan dijadikan argumentasi dari pihak Jokowi. Miing seharusnya tidak memberikan pandangan yang justru dapat menyesatkan publik.
Namun perlu diakui bahwa cara-cara tersebut mampu menjual solusi kemenangan. Karena menggembor-gemborkan narasi ketakutan dan teror. Walaupun menurut Firman, strategi kampanye seperti ini sejatinya berdampak negatif, diantaranya mempertinggi potensi konflik di tingkat akar rumput.
Firman juga meyakinkan agar pihak Jokowi sepatutnya memperhatikan segmentasi pemilih emosional. Untuk menangkal isu-isu seperti PKI, kriminalisasi ulama, dan tenaga kerja asal China.
Sejauh ini Jokowi memang memberikan wacana tandingan yang memberikan ide-ide optimisme ke hadapan publik. Tetapi, kalau Jokowi hanya menggunakan hasil data pembangunan tanpa memikat emosional publik, seperti yang dilakukan Prabowo-Sandi, maka akan mungkin jika kisah Trump akan berpihak pada Prabowo-Sandi.
*Penulis adalah Reporter CNBC Indonesia. Tulisan ini merupakan artikel opini dari penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi.
(miq/miq) Next Article Rupiah Anjlok, Prabowo-Sandiaga Kritik Keras Jokowi-JK
Saat berbicara dalam konferensi pers di Jakarta Convention Center pada Senin 14 Januari lalu, Ari juga mengatakan tajuk pemaparan visi dan misi "Indonesia Menang" tersebut bukan hanya untuk relawan Prabowo-Sandi semata, melainkan untuk seluruh aspek relawan dan masyarakat.
Namun nampaknya pidato tersebut tidak terlalu mengejutkan dan mirip dengan tahun 2014. Membicarakan Indonesia yang berkeadilan, makmur, dan kaya serta dinikmati oleh rakyatnya sendiri sebagai isu generik yang hampir pasti dijanjikan oleh berbagai calon.
Kemudian masuk pada paparan pidato dari Sandiaga Uno yang banyak menggambarkan paparan behavorialistik. Menceritakan perjalananya keliling Indonesia dan mendengarkan keluh kesah masyarakat.
"Alhamdulillah saya sempat mengunjungi 1.000 titik kunjungan di seantero negeri ini. Mulai dari curhatan emak-emak di pasar tradisional, milenial di cafe, petani, pedagang pasar, buruh, pengusaha UMKM, transportasi online, dan seluruh lapisan masyarakat. Bangsa ini tumbuh jauh di bawah potensinya. Maka sudah saatnya we wayae, kita bangun optimisme," ujar Sandi di Jakarta Convention Center, Senin (14/1/2019).
![]() |
Walaupun cara Sandi itu bukan barang baru, para pendukungnya tampak bergembira mendengar kisah blusukan dari sosok Sandi. Ditambah, Sandi juga menampilkan pertemuannya dengan banyak lapisan masyarakat sebelum pidatonya dimulai dalam video yang di tampilkan di latar panggung. Namun, Sandi tetap memberikan bumbu ketakutan, seolah negara ini penuh dengan pesimistik.
Tidak hanya Sandi, namun Prabowo juga menggunakan cara yang sama. "Saudara sekalian, beberapa waktu lalu saya mendapat laporan buruh tani. Seorang bapak bernama Hardi di Desa Tawangharjo, Grobogan Jawa Tengah. Ia gantung diri meninggalkan anak istri karena merasa beban ekonomi yang berat," kata Prabowo dalam pidatonya (14/1/2019).
Firman Manan, selaku pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, ikut berkomentar mengenai strategi kampanye Prabowo-Sandi dengan menebar ketakutan.
"Salah satu strategi kampanye yang dapat dipraktikkan adalah memainkan isu-isu untuk membangun politik ketakutan (politics of fear) dan membangun narasi pesimisme, yang menyentuh sisi emosionalitas pemilih. Permasalahannya, apakah solusi konkret dari penyataan ada petani yang bunuh diri karena himpitan ekonomi yang dapat diberikan? Tidak selesai hanya dengan membangun politik ketakutan belaka," kata Firman.
![]() |
Trump juga menyebarkan ketakutan dalam praktik kampanye politiknya. Ia menebar stigma negatif terhadap imigran Meksiko dan terorisme dari umat Muslim. Cara ini secara nyata justru meningkatkan elektabilitas Trump sehingga ia berhasil menduduki jabatan presiden Amerika Serikat.
Jika dikaitkan, ucapan Prabowo menggambarkan Hardi sebagai “korban” membuat publik merasa rentan serta membutuhkan perlindungan dan jaminan ekonomi. Cara ini memang sengaja diutarakan untuk merendahkan kubu Jokowi.
Dengan sosok Prabowo sebagai mantan panglima militer, ucapan tersebut dapat menggambarkan bahwa ia adalah seorang strong man yang dibutuhkan bagi Republik Indonesia untuk mengatasi permasalahan ekonomi.
Tidak hanya Prabowo dan Sandi. Seorang mantan politikus PDI-P, Tubagus Dedi Suwendi Gumelar (Miing) juga mempunyai penalaran fokus yang serupa dalam upaya mengkritisi pemerintahan Jokowi ketika berkomentar tentang penurunan daya beli masyarakat.
"Faktanya dilapangan ya, saya ketemu dengan beberapa pengusaha. Baik pengusaha retail maupun konstruksi ya. Dari 10 pengusaha 8 sampai 9 diantaranya hampir collapse. Jadi daya beli masyarakat semakin sulit, begitu," kata politisi yang juga komedian saat ditemui CNBC Indonesia di Jakarta Convention Center (14/1/2019).
![]() |
Miing juga menambahkan bahwa pemerintahan Jokowi selama ini hanya memamerkan infrastruktur di jalan tol. Yang menurut Miing hal itu adalah sektor privat, sehingga masyarakat harus membayar jika ingin menggunakan jalan tol tersebut. Sepatutnya, menurut Miing, jika berbicara jalan milik negara maka rakyat tidak harus membayar.
Uniknya, narasi ketakutan dan teror ini tidak hanya memengaruhi para pendukung. Namun melekat pada tokoh dalam kubu Prabowo seperti Miing. Ia nampaknya kebingungan apa yang sebetulnya terjadi pada konteks jalan milik negara. Atau mungkin ia memang menyadari, keuntungan dari penyebaran ketakutan.
[Gambas:Video CNBC]
Di waktu yang bersamaan, Jokowi yang berpidato di Istora Senayan dalam acara Pertemuan dengan Perangkat Pemerintah Desa Indonesia (PPDI) (14/1/2019) mengklaim bahwa pemerintah sudah mengucurkan dana 257 triliun ke 74 ribu Desa sampai tahun 2019. Menurut Jokowi, dana ini merealisasikan 138 kilo meter jalan desa.
Jika politisi seperti Miing mau membaca gerak-gerik oposisi seharusnya ia sudah tahu tentang dana yang dikeluarkan dan dijadikan argumentasi dari pihak Jokowi. Miing seharusnya tidak memberikan pandangan yang justru dapat menyesatkan publik.
Namun perlu diakui bahwa cara-cara tersebut mampu menjual solusi kemenangan. Karena menggembor-gemborkan narasi ketakutan dan teror. Walaupun menurut Firman, strategi kampanye seperti ini sejatinya berdampak negatif, diantaranya mempertinggi potensi konflik di tingkat akar rumput.
Firman juga meyakinkan agar pihak Jokowi sepatutnya memperhatikan segmentasi pemilih emosional. Untuk menangkal isu-isu seperti PKI, kriminalisasi ulama, dan tenaga kerja asal China.
Sejauh ini Jokowi memang memberikan wacana tandingan yang memberikan ide-ide optimisme ke hadapan publik. Tetapi, kalau Jokowi hanya menggunakan hasil data pembangunan tanpa memikat emosional publik, seperti yang dilakukan Prabowo-Sandi, maka akan mungkin jika kisah Trump akan berpihak pada Prabowo-Sandi.
*Penulis adalah Reporter CNBC Indonesia. Tulisan ini merupakan artikel opini dari penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi.
(miq/miq) Next Article Rupiah Anjlok, Prabowo-Sandiaga Kritik Keras Jokowi-JK
Most Popular