Inflasi 2018 Rendah, 'Investasi' Jokowi di Tahun Politik

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 January 2019 15:03
Inflasi 2018 Rendah, 'Investasi' Jokowi di Tahun Politik
Foto: Ilustrasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC IndonesiaBadan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat inflasi Desember 2018. Pada periode tersebut tercatat inflasi sebesar 0,62% secara bulanan (month-to-month/MtM).

Adapun secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi di bulan lalu mencapai 3,13%. Angka itu sama dengan inflasi di sepanjang tahun 2018 (year-to-date/YTD).

Realisasi inflasi di bulan Desember 2018 masih sedikit lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi tahunan pada Desember 2018 sebesar 3,04%.

Meski demikian, secara keseluruhan inflasi di tahun ini masih tergolong baik. Setidaknya dalam 1 dekade terakhir, inflasi di tahun ini menjadi salah satu yang terendah. Laju inflasi sebesar 3,13% YoY hanya lebih tinggi dari capaian di tahun 2009 (2,77%) dan 2016 (3,02%). 


Apabila ditelusuri lebih lanjut, dalam 4 tahun kepemimpinan Joko Widodo (Joko Widodo) inflasi memang terus stabil di kisaran 3% YoY. Padahal di Desember 2014 atau 2 bulan setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, inflasi tercatat sebesar 8,36% YoY.

Satu-satunya "kelengahan" Jokowi dalam menjaga inflasi adalah pada tahun 2017. Kala itu, inflasi melesat ke 3,61% YoY menyusul pencabutan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA) sejak awal tahun lalu.

Sejak keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT PLN (Persero), tarif listrik untuk golongan 900 VA rumah tangga akhirnya naik sebanyak tiga tahap dengan durasi 2 bulan sekali.

Tahap pertama 1 Januari 2017, Kementerian ESDM mematok harga Rp791 per kilowatt-hour (KWh), Kedua Rp Rp1.034/ KWh pada 1 Maret 2017, dan Rp1.352/ KWh per 1 Mei 2017. Lalu, mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA dikenakan penyesuaian tarif keekonomian setiap bulan seperti 12 golongan tarif non-subsidi lainnya.

Meski inflasi menanjak naik di tahun lalu, angka 3,61% sejatinya masih relatif lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Jadi, dengan kembali terjaganya level inflasi di tahun 2018, tidaklah berlebihan untuk mengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi yang mampu mengendalikan inflasi selama 4 tahun berturut-turut.

Lantas, apa resep Jokowi dalam menjaga inflasi di tahun lalu? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rendahnya inflasi di tahun ini nampaknya tidak lepas dari datangnya tahun politik. Kondisi ekonomi yang sehat akan menjadi modal yang kuat bagi calon presiden pertahana (incumbent). Oleh karena itu, menjaga inflasi memang menjadi salah satu agenda penting Jokowi di tahun ini.

Ada sejumlah rintangan yang menghalangi jalan Jokowi untuk mengendalikan inflasi. Rintangan paling besar datang dari kenaikan harga minyak mentah dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah.

Di sepanjang tahun 2018, harga minyak jenis brent memang jeblok 19,55% secara point-to-point. Namun, rata-rata harga di tahun lalu adalah sebesar US$ 71,67/barel, naik dari rata-rata tahun 2017 sebesar US$ 54,75/barel.

Hal ini tidak lepas dari harga si emas hitam yang sebenarnya sempat melambung tinggi hingga menembus level US$ 85/barel pada awal Oktober 2018. Walaupun setelah itu harganya jatuh dalam hingga akhir tahun ini.

Kenaikan harga minyak dunia jelas akan berdampak pada naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.

Per 10 Oktober 2018 saja (sepekan setelah harga minyak brent tembus US$ 85/barel), Pertamina menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.

Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat di sepanjang tahun 2018.

Akan tetapi, pemerintahan Jokowi sadar bahwa langkah yang sama tidak bisa ditempuh untuk BBM bersubsidi seperti solar. Demi menjaga harga solar, Jokowi pun memutuskan untuk menaikkan alokasi subsidi solar yang semula ditetapkan Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter pada pertengahan tahun ini.

Sementara itu, harga BBM jenis Premium juga dilarang naik di tahun lalu. Malah, pasokan BBM Premium yang semula dibatasi, kini dibuka lagi ke Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Itu baru harga BBM, belum harga listrik. Pemerintah menetapkan tarif listrik di sepanjang tahun 2018 sama dengan tarif di tahun 2017, baik untuk pelanggan non-subsidi maupun bersubsidi.

Padahal, Peraturan Menteri ESDM No 28 tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT PLN (Persero) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No 41 Tahun 2017, menyebutkan bahwa apabila terjadi perubahan terhadap asumsi makro ekonomi, yang dihitung secara triwulanan, maka akan dilakukan penyesuaian terhadap tarif tenaga listrik (tariff adjustment).

Seperti diketahui, rata-rata nilai tukar rupiah di sepanjang tahun ini berkisar di level Rp 14.227/US$, sudah meleset cukup jauh dari asumsi makro APBN 2018 sebesar Rp 13.400/US$. Belum lagi harga minyak yang makin menyimpang dari asumsi Indonesia Crude Price (ICP) di APBN 2018 sebesar US$ 48/barel.

Akan tetapi, demi mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat, pemerintah akhirnya menetapkan tidak ada perubahan besaran tarif tenaga listrik di tahun ini.

Alhasil, deretan kebijakan tersebut mampu menjaga inflasi RI tetap rendah di tahun lalu, khususnya di inflasi komponen energi. Sebagai informasi, inflasi komponen energi “hanya”sebesar 2,93% YoY di tahun 2018, jauh menurun dari inflasi 11,86% YoY.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)   Meski demikian, upaya pemerintah untuk menjaga inflasi tersebut tidaklah gratis. Pos belanja subsidi meningkat 41,02% YoY per akhir November 2018, menjadi pos belanja pemerintah pusat yang naik paling kencang di tahun ini.

Kenaikan pos subsidi didorong oleh kenaikan subsidi energi yang mencapai Rp 130,43 triliun. Jumlah ini setara dengan 138% dari target APBN 2018 yang "hanya" sebesar Rp 94,5 triliun. Dengan kata lain pos belanja subsidi pemerintah jebol di tahun ini.

Sementara itu, demi menanggung beban yang diakibatkan tidak adanya kenaikan harga BBM Premium, PT Pertamina (Persero) hanya membukukan laba bersih sebesar Rp 5 triliun sampai pada kuartal III-2018.

Perolehan tersebut merosot jauh dibanding capaian di 2017 lalu. Laba tercatat merosot sekitar 81% dibanding yang bisa dicapai perseroan di periode yang sama tahun lalu ketika perusahaan membukukan laba US$ 1,99 miliar atau setara Rp 26,8 triliun.

Adapun perusahaan pelat merah di sektor energi lainnya, yakni PT PLN (Persero), membukukan kerugian sebesar Rp 18,48 triliun untuk kinerja kuartal III tahun ini. Padahal, di sepanjang tahun lalu perseroan mampu mencetak laba bersih Rp 3,05 triliun.

Berdasar laporan keuangan yang dipublikasikan di situs Bursa Efek Indonesia, kerugian dipicu kenaikan beban usaha 12%.

Beban terbesar masih berasal dari beban bahan bakar dan pelumas yang naik dari Rp 85,28 triliun menjadi Rp 101,88 triliun. PLN juga menderita pembengkakan kerugian karena selisih kurs. Jika pada kuartal III-2017 rugi dari selisih kurs mencapai Rp 2,23 triliun, maka pada kuartal III-2018 menjadi Rp 17,33 triliun.

Akhirnya saat Tarif Dasar Listrik (TDL) tegangan rendah (TR) saat ini dijaga tetap di angka Rp 1.467,28 per kilo watt hour (kwh), PLN pun tak mampu menghindari kerugian yang amat besar. (TIM RISET CNBC INDONESIA)      
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular