Bad News 2018
Lifting Meleset Investasi Loyo, Migas RI Babak Belur di 2018
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
25 December 2018 12:22

Tahun 2018 akan segera berakhir dalam hitungan hari. Terkait hal itu, CNBC Indonesia merangkum sederet peristiwa penting sepanjang tahun anjing tanah ini. Peristiwa itu terbagi ke dalam dua kategori, yaitu good news from 2018 dan bad news from 2018. Selamat membaca!
Jakarta, CNBC Indonesia- Tidak hanya impor minyak dan defisit migas yang masih harus diperbaiki, iklim investasi, dan lifting migas pun mesti menjadi perhatian pemerintah.
Pasalnya, hampir setahun ini, investasi migas belum menunjukkan performa yang memuaskan. Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan.
Sampai kuartal III 2018 ini investasi migas baru tercapai 56% dari target 2018 yang sebesar US$14,2 miliar. Sementara sampai akhir tahun, investasi migas diperkirakan hanya tercapai 79% dari target, atau sebesar US$11,2 miliar.
Jika dibandingkan dengan tahun 2017, memang ada peningkatan sebesar 11,22%. Namun, secara realisasi 2018 yang hanya 79% dari target, masih jauh lebih parah dari realisasi 2017 yang masih sebesar 88% dari target.
Melihat harga minyak dunia yang menanjak, kini sentimen eksternal tidak bisa lagi disalahkan. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai bahwa masih loyonya investasi migas di tahun 2018 tidak terlepas dari faktor regulasi.
"Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby.
Lesunya investasi migas ini bisa berdampak pada produksi migas RI di masa depan. Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Moody's menilai Indonesia setidaknya butuh suntikan investasi sebesar Rp 2200 triliun jika ingin menyelamatkan industri migas yang produksinya kian merosot.
Moody's Investor Service menyebut nilai investasi ribuan triliun itu dibutuhkan sejak saat ini hingga 2025 mendatang untuk hulu migas yang produksinya terus turun, pembangunan infrastruktur gas, dan juga peningkatan kapasitas kilang untuk pemenuhan kebutuhan bbm dan petrolium.
"Kami juga yakin proporsi investasi Pertamina, selaku BUMN migas, akan naik dan juga produsen domestik lainnya di tengah moderatnya investor asing dan terus berkembangnya regulasi," kata Analis Moody's Rachel Chua melalui keterangan resminya, Oktober lalu.
Asisten Wakil Presiden lembaga pemeringkat internasional tersebut juga mengatakan, sekitar 80% atau US$ 120 miliar dari investasi dihabiskan untuk eksplorasi dan produksi hulu, dan sisa US$ 30 miliar bisa dialokasikan untuk sektor hilir migas.
Lifting Kian Merosot
Sedangkan terkait lifting migas, SKK Migas mencatat, sampai pada November 2018, lifting minyak bumi secara year to date sebesar 762 ribu BOPD, dan dan lifting gas bumi sebesar 1.143 Ribu BOEPD.
Sehingga, total lifting migas selama 11 bulan ini adalah 1,91 juta barel setara minyak atau BOEPD.
"Capaian tersebut mencapai 95% dari APBN 2018, dan hingga akhir tahun kami tetap upayakan produksi bisa lebih maksimal," ujar Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher melalui keterangan resminya, Kamis (13/12/2018).
Lebih lanjut, ia menuturkan, belum tercapainya target lifting tersebut disebabkan oleh kinerja sumur baru yang belum sesuai ekspektasi, serta semakin besarnya decline rate dari sumur eksisting.
Selain itu, Wisnu mengakui, juga terjadi beberapa kendala operasi dan instrumen. Namun, kendala tersebut sudah dapat diatasi, dan faktor lainnya yakni terdapat juga beberapa program pengembangan yang mundur ke 2019.
Wisnu mengatakan, SKK Migas akan terus secara berkelanjutan mengupayakan pencapaian agar bisa maksimal. Pihaknya mencatat, ada lima proyek hulu migas yang sudah onstream, diantaranya, Blok A di Aceh, SP di ONWJ, dan yang paling terbaru yakni pembangunan Gathering Station di PEP field Bunyu.
(gus) Next Article Kuartal III-2018, Investasi Migas Baru Capai Separuh Target
Jakarta, CNBC Indonesia- Tidak hanya impor minyak dan defisit migas yang masih harus diperbaiki, iklim investasi, dan lifting migas pun mesti menjadi perhatian pemerintah.
Pasalnya, hampir setahun ini, investasi migas belum menunjukkan performa yang memuaskan. Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan.
Sampai kuartal III 2018 ini investasi migas baru tercapai 56% dari target 2018 yang sebesar US$14,2 miliar. Sementara sampai akhir tahun, investasi migas diperkirakan hanya tercapai 79% dari target, atau sebesar US$11,2 miliar.
Jika dibandingkan dengan tahun 2017, memang ada peningkatan sebesar 11,22%. Namun, secara realisasi 2018 yang hanya 79% dari target, masih jauh lebih parah dari realisasi 2017 yang masih sebesar 88% dari target.
Melihat harga minyak dunia yang menanjak, kini sentimen eksternal tidak bisa lagi disalahkan. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai bahwa masih loyonya investasi migas di tahun 2018 tidak terlepas dari faktor regulasi.
"Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby.
Lesunya investasi migas ini bisa berdampak pada produksi migas RI di masa depan. Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Moody's menilai Indonesia setidaknya butuh suntikan investasi sebesar Rp 2200 triliun jika ingin menyelamatkan industri migas yang produksinya kian merosot.
Moody's Investor Service menyebut nilai investasi ribuan triliun itu dibutuhkan sejak saat ini hingga 2025 mendatang untuk hulu migas yang produksinya terus turun, pembangunan infrastruktur gas, dan juga peningkatan kapasitas kilang untuk pemenuhan kebutuhan bbm dan petrolium.
"Kami juga yakin proporsi investasi Pertamina, selaku BUMN migas, akan naik dan juga produsen domestik lainnya di tengah moderatnya investor asing dan terus berkembangnya regulasi," kata Analis Moody's Rachel Chua melalui keterangan resminya, Oktober lalu.
Asisten Wakil Presiden lembaga pemeringkat internasional tersebut juga mengatakan, sekitar 80% atau US$ 120 miliar dari investasi dihabiskan untuk eksplorasi dan produksi hulu, dan sisa US$ 30 miliar bisa dialokasikan untuk sektor hilir migas.
Lifting Kian Merosot
Sedangkan terkait lifting migas, SKK Migas mencatat, sampai pada November 2018, lifting minyak bumi secara year to date sebesar 762 ribu BOPD, dan dan lifting gas bumi sebesar 1.143 Ribu BOEPD.
Sehingga, total lifting migas selama 11 bulan ini adalah 1,91 juta barel setara minyak atau BOEPD.
"Capaian tersebut mencapai 95% dari APBN 2018, dan hingga akhir tahun kami tetap upayakan produksi bisa lebih maksimal," ujar Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher melalui keterangan resminya, Kamis (13/12/2018).
Lebih lanjut, ia menuturkan, belum tercapainya target lifting tersebut disebabkan oleh kinerja sumur baru yang belum sesuai ekspektasi, serta semakin besarnya decline rate dari sumur eksisting.
Selain itu, Wisnu mengakui, juga terjadi beberapa kendala operasi dan instrumen. Namun, kendala tersebut sudah dapat diatasi, dan faktor lainnya yakni terdapat juga beberapa program pengembangan yang mundur ke 2019.
Wisnu mengatakan, SKK Migas akan terus secara berkelanjutan mengupayakan pencapaian agar bisa maksimal. Pihaknya mencatat, ada lima proyek hulu migas yang sudah onstream, diantaranya, Blok A di Aceh, SP di ONWJ, dan yang paling terbaru yakni pembangunan Gathering Station di PEP field Bunyu.
(gus) Next Article Kuartal III-2018, Investasi Migas Baru Capai Separuh Target
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular