
Bangun Kilang Tapi Roadmap BBM Belum Jelas, Hanya Pencitraan?
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
10 December 2018 19:31

Jakarta, CNBC Indonesia- Hampir seperempat abad tak bangun kilang, hari ini langsung dikebut penandatanganan rencana pembangunan dua kilang sekaligus. Yakni kilang Balikpapan dan kilang Bontang. Pertanyaannya adalah, bisakah dua kilang ini beroperasi sesuai target?
Bermula dari Galaunya Jokowi
PT Pertamina (Persero) meneken dua kesepakatan sekaligus. Pertama adalah penandatanganan kontrak pelaksanaan rancangan konstruksi (EPC) perluasan dan pengembangan (RDMP) kilang Balikpapan. Penandatanganan dilakukan bersama dengan joint operation 4 perusahaan dari dalam dan luar negeri seperti PT Rekayasa Industri, PT PP (Persero) Tbk, Hyundai Engineering, dan SK Engineering & Construction.
Kedua adalah rencana pembangunan kilang Bontang. Kali ini adalah proyek kilang baru (Grass Root Refinery/GRR), Pertamina menggandeng investor asal Oman, Muscat, untuk membangun kilang yang rencananya jadi kilang terbesar di RI. Perjanjian kali ini masih berupa framework, alias masih jauh prosesnya.
Pertamina menargetkan kilang Balikpapan rampung di 2023 dan bisa beroperasi, sementara Bontang setidaknya pada 2026.
Dua kilang ini sebenarnya program yang ingin dikebut Jokowi begitu dia naik jadi Presiden RI pada 2014 lalu. Untuk percepatan, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Belum cukup dengan itu, proyek-proyek kilang ini juga dimasukkan dalam proyek strategis nasional. Terutama untuk kilang baru atau grass root refinery (GRR) seperti Bontang dan Tuban. Dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional di bawah payung hukum Perpres No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Selain itu, di dalam daftar Proyek Strategi Nasional juga direncanakan proyek Revitalisasi 5 Minyak Kilang Eksisting (RDMP). Kilang minyak eksisting yang akan ditingkatkan kapasitasnya, di antaranya Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan, dan Plaju.
Tapi, segala surat sakti ini ternyata belum cukup untuk bangun kilang. Sampai-sampai presiden galau sendiri. "Presiden pun galau, karena sudah empat tahun jadi Presiden belum ada yang jadi pembangunan kilang," ujar Luhut dalam acara Pertamina Energy Forum 2018, di Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Tiba-Tiba Kilang Diteken
Tak lama sejak presiden galau, dalam waktu sepekan sudah masuk undangan seremonial pembangunan dua kilang sekaligus. Kilang Balikpapan yang masuk tahap EPC, dan Bontang yang baru sebatas framework.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengakui memang ada keterlambatan dalam pembangunan kilang Balikpapan ini, namun menurutnya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
"Memang kami akui kilang ini mengalami keterlambatan, mending telat deh. Kita hari ini mulai, tapi kita percepat. Jadi akhir 2026, keenam proyek kilang ini bisa kita laksanakan. Jadi, schedule tuh udah very tight. Seluruh detail jadi 53 bulan. Ini kami harapkan bisa 2023," ujar Nicke, Senin (10/12/2018).
Sementara untuk Bontang, berdasar penelusuran CNBC Indonesia kesepakatan dengan Oman ini sudah diumumkan sejak Februari lalu. Bedanya waktu itu konsorsium tidak hanya dari Oman, tapi hadir juga Jepang. Tapi hari ini, perkembangan terbarunya hanya dengan Oman. Sejak Februari hingga November, artinya tidak ada progres signifikan kecuali lepasnya satu mitra yang dalam pengumuman hari ini tak disebut, yakni Jepang.
Target dan Tujuan 6 Kilang
Tujuan utama dibangunnya kilang adalah untuk ketahanan energi, apalagi dengan konsumsi BBM yang terus meningkat. Rata-rata produksi saat ini adalah 750 ribu barel sehari, maksimal. Sementara konsumsi bisa dua kali lipat lebih 1,4 juta hingga 1,5 juta barel sehari.
Dewan Energi Nasional memproyeksi konsumsi BBM naik 3% setahun, dan di 2025 bisa mencapai 1,9 juta barel per hari. Sementara kapasitas kilang saat ini tercatat hanya 900 ribu barel per hari maksimal. Artinya, impor BBM sulit dihindari.
Impor ini semakin menjadi-jadi ketika bahan bakar yang paling banyak dikonsumsi masih jenis premium (RON 88), yang untuk mengolahnya perlu ongkos lebih tinggi ketimbang impor bensin beroktan 92. Sebab, sudah tidak ada lagi negara yang konsumsi bensin oktan rendah.
Pembangunan 6 kilang ini, ditargetkan bisa mencapai kapasitas 2 juta barel sehari pada 2025. Dengan asumsi ini, artinya jumlah kebutuhan dan kemampuan pengolahan kilang setara. Tapi, itu dengan catatan semua kilang memproduksi BBM jenis yang sama.
Dari paparan Pertamina hari ini, setiap kilang yang dibangun punya produk akhir yang berbeda. Rincinya adalah sebagai berikut:
Dari rencana 6 kilang tersebut, rata-rata kilang punya tujuan yang sangat visioner bahkan sampai hasilkan green fuel. Tapi realisasi saat ini, konsumsi paling tinggi masih didominasi Premium, Pertalite, dan Solar. Boro-boro beralih ke bensin dengan oktan lebih tinggi, meninggalkan bensin Premium saja masih berat.
Sampai saat ini belum ada peta kebijakan yang jelas, baik dari Pertamina maupun pemerintah, soal kapan RI bakal lepas dari bensin oktan rendah? Jangan sampai kilang dibangun, tapi konsumsinya masih bensin oktan rendah. Sungguh mubazir.
Antara visi jangka panjang dengan kebijakan saat ini tidak seiring sejalan. Ini sebenarnya pernah diungkap oleh mantan Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik, pada Maret 2018 lalu di hadapan DPR.
Pertamina mengaku serba salah dalam urusan memproduksi bahan bakar minyak (BBM). Di satu sisi pemerintah meminta BUMN ini mulai produksi bensin berstandar Euro IV, tapi di sisi lain juga diminta mencukupi kebutuhan bensin RON 88 alias Premium.
"Ini membingungkan karena dari Kementerian Lingkungan Hidup sudah minta Euro IV, tapi bensin Premium masih RON 88," ujar Direktur Pertamina Elia Massa Manik dalam paparannya di Komisi VII DPR RI, Senin (19/3/2018).
Harga Premium ditahan, terutama untuk di kota-kota besar yang tadinya sudah mulai beralih ke bensin yang lebih ramah lingkungan, dinilai akan sulit menghapusnya di masa mendatang.
Saat ditanya soal roadmap atau peta kebijakan BBM ini, dari Pertamina juga belum bisa memberikan jawaban yang jelas. Direktur Pemasaran Retail Pertamina saat hanya bisa memberi jawaban singkat, "Belum," kata dia, Senin (10/12/2018).
(wed) Next Article Pertamina Bangun Kilang, Asing Bisa Masuk 99%
Bermula dari Galaunya Jokowi
PT Pertamina (Persero) meneken dua kesepakatan sekaligus. Pertama adalah penandatanganan kontrak pelaksanaan rancangan konstruksi (EPC) perluasan dan pengembangan (RDMP) kilang Balikpapan. Penandatanganan dilakukan bersama dengan joint operation 4 perusahaan dari dalam dan luar negeri seperti PT Rekayasa Industri, PT PP (Persero) Tbk, Hyundai Engineering, dan SK Engineering & Construction.
Kedua adalah rencana pembangunan kilang Bontang. Kali ini adalah proyek kilang baru (Grass Root Refinery/GRR), Pertamina menggandeng investor asal Oman, Muscat, untuk membangun kilang yang rencananya jadi kilang terbesar di RI. Perjanjian kali ini masih berupa framework, alias masih jauh prosesnya.
Pertamina menargetkan kilang Balikpapan rampung di 2023 dan bisa beroperasi, sementara Bontang setidaknya pada 2026.
Dua kilang ini sebenarnya program yang ingin dikebut Jokowi begitu dia naik jadi Presiden RI pada 2014 lalu. Untuk percepatan, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Belum cukup dengan itu, proyek-proyek kilang ini juga dimasukkan dalam proyek strategis nasional. Terutama untuk kilang baru atau grass root refinery (GRR) seperti Bontang dan Tuban. Dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional di bawah payung hukum Perpres No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Selain itu, di dalam daftar Proyek Strategi Nasional juga direncanakan proyek Revitalisasi 5 Minyak Kilang Eksisting (RDMP). Kilang minyak eksisting yang akan ditingkatkan kapasitasnya, di antaranya Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan, dan Plaju.
Tapi, segala surat sakti ini ternyata belum cukup untuk bangun kilang. Sampai-sampai presiden galau sendiri. "Presiden pun galau, karena sudah empat tahun jadi Presiden belum ada yang jadi pembangunan kilang," ujar Luhut dalam acara Pertamina Energy Forum 2018, di Jakarta, Kamis (29/11/2018).
![]() |
Tiba-Tiba Kilang Diteken
Tak lama sejak presiden galau, dalam waktu sepekan sudah masuk undangan seremonial pembangunan dua kilang sekaligus. Kilang Balikpapan yang masuk tahap EPC, dan Bontang yang baru sebatas framework.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengakui memang ada keterlambatan dalam pembangunan kilang Balikpapan ini, namun menurutnya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
"Memang kami akui kilang ini mengalami keterlambatan, mending telat deh. Kita hari ini mulai, tapi kita percepat. Jadi akhir 2026, keenam proyek kilang ini bisa kita laksanakan. Jadi, schedule tuh udah very tight. Seluruh detail jadi 53 bulan. Ini kami harapkan bisa 2023," ujar Nicke, Senin (10/12/2018).
Sementara untuk Bontang, berdasar penelusuran CNBC Indonesia kesepakatan dengan Oman ini sudah diumumkan sejak Februari lalu. Bedanya waktu itu konsorsium tidak hanya dari Oman, tapi hadir juga Jepang. Tapi hari ini, perkembangan terbarunya hanya dengan Oman. Sejak Februari hingga November, artinya tidak ada progres signifikan kecuali lepasnya satu mitra yang dalam pengumuman hari ini tak disebut, yakni Jepang.
Target dan Tujuan 6 Kilang
Tujuan utama dibangunnya kilang adalah untuk ketahanan energi, apalagi dengan konsumsi BBM yang terus meningkat. Rata-rata produksi saat ini adalah 750 ribu barel sehari, maksimal. Sementara konsumsi bisa dua kali lipat lebih 1,4 juta hingga 1,5 juta barel sehari.
Dewan Energi Nasional memproyeksi konsumsi BBM naik 3% setahun, dan di 2025 bisa mencapai 1,9 juta barel per hari. Sementara kapasitas kilang saat ini tercatat hanya 900 ribu barel per hari maksimal. Artinya, impor BBM sulit dihindari.
Impor ini semakin menjadi-jadi ketika bahan bakar yang paling banyak dikonsumsi masih jenis premium (RON 88), yang untuk mengolahnya perlu ongkos lebih tinggi ketimbang impor bensin beroktan 92. Sebab, sudah tidak ada lagi negara yang konsumsi bensin oktan rendah.
Pembangunan 6 kilang ini, ditargetkan bisa mencapai kapasitas 2 juta barel sehari pada 2025. Dengan asumsi ini, artinya jumlah kebutuhan dan kemampuan pengolahan kilang setara. Tapi, itu dengan catatan semua kilang memproduksi BBM jenis yang sama.
Dari paparan Pertamina hari ini, setiap kilang yang dibangun punya produk akhir yang berbeda. Rincinya adalah sebagai berikut:
- Kilang Balikpapan untuk produksi bensin standar Euro V atau RON 92
- Kilang Plaju dan kilang Dumai untuk green fuel (B100, green avtur)
- Kilang Balongan untuk produksi BBM Euro IV dan V (serta petrokimia)
- Kilang Cilacap untuk BBM
- Kilang Tuban untuk BBM (gasoline dan diesel) dan sisanya petrokimia.
Dari rencana 6 kilang tersebut, rata-rata kilang punya tujuan yang sangat visioner bahkan sampai hasilkan green fuel. Tapi realisasi saat ini, konsumsi paling tinggi masih didominasi Premium, Pertalite, dan Solar. Boro-boro beralih ke bensin dengan oktan lebih tinggi, meninggalkan bensin Premium saja masih berat.
Sampai saat ini belum ada peta kebijakan yang jelas, baik dari Pertamina maupun pemerintah, soal kapan RI bakal lepas dari bensin oktan rendah? Jangan sampai kilang dibangun, tapi konsumsinya masih bensin oktan rendah. Sungguh mubazir.
Antara visi jangka panjang dengan kebijakan saat ini tidak seiring sejalan. Ini sebenarnya pernah diungkap oleh mantan Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik, pada Maret 2018 lalu di hadapan DPR.
Pertamina mengaku serba salah dalam urusan memproduksi bahan bakar minyak (BBM). Di satu sisi pemerintah meminta BUMN ini mulai produksi bensin berstandar Euro IV, tapi di sisi lain juga diminta mencukupi kebutuhan bensin RON 88 alias Premium.
"Ini membingungkan karena dari Kementerian Lingkungan Hidup sudah minta Euro IV, tapi bensin Premium masih RON 88," ujar Direktur Pertamina Elia Massa Manik dalam paparannya di Komisi VII DPR RI, Senin (19/3/2018).
Harga Premium ditahan, terutama untuk di kota-kota besar yang tadinya sudah mulai beralih ke bensin yang lebih ramah lingkungan, dinilai akan sulit menghapusnya di masa mendatang.
Saat ditanya soal roadmap atau peta kebijakan BBM ini, dari Pertamina juga belum bisa memberikan jawaban yang jelas. Direktur Pemasaran Retail Pertamina saat hanya bisa memberi jawaban singkat, "Belum," kata dia, Senin (10/12/2018).
![]() |
(wed) Next Article Pertamina Bangun Kilang, Asing Bisa Masuk 99%
Most Popular