
KPK Nilai Kebijakan B20 Rawan Potensi Korupsi
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
26 November 2018 17:53

Jakarta, CNBC Indonesia- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai kebijakan kewajiban penggunaan FAME dalam B20 rawan potensi korupsi.
Hal ini terungkap dalam kajian transformatif impor BBM yang dipaparkan oleh Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.
"Masih terdapat kerawanan korupsi pada beberapa proses bisnis seperti kewajikan penggunaan FAME/Bioethanol, dan penggunaan lembaga surveyor dan system online yang belum tersandar," seperti yang tertulis dalam kajian KPK yang diterima CNBC Indonesia, Senin (26/11/2018).
Kajian transformatif impor BBM ini dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut November 2017 - Februari 2018.
Potensi korupsi ini terjadi pertama-tama karena adanya masalah regulasi dalam ketentuan impor bahan bakar minyak (BBM). Terdapat regulasi di mana untuk mendapat kuota impor BBM harus memenuhi persyaratan FAME 20% dan Bioethanol 2%. FAME adalah bahan baku utama untuk produksi B20.
FAME 20% atau B20, tulis kajian, masih longgar dengan melakukan dispensasi ke pihak industri. Dispensasi ini diberikan karena B20 dinilai tidak cocok dengan kondisi mesin, pengecualian sebagaimana ditetapkan pemerintah misalnya untuk PLN dan Freeport.
Kemudian, antara produksi dan kapasitas terpasang tidak sebanging. Pada 2017, kapasitas terpasang 12,05 juta kilo liter (KL), tapi yang sudah berkontrak dengan badan usaha BBM hanya 2,5 juta KL. "Menunjukkan kurang minatnya penggunaan FAME pada bahan bakar, yang kemudian menimbulkan potensi jual beli kontrak FAME untuk pemenuhan syarat impor BBM," tulis kajian.
Begitu juga dengan bioethanol, yang jadi syarat untuk impor BBM dengan RON 92 ke atas. Di sini juga rawan jual beli kontrak, meskipun sebenarnya industrinya belum siap.
Intinya, pemicu terjadinya korupsi adalah kewajiban melampirkan kontrak FAME bagi badan usaha yang ingin melakukan impor solar.
Metode Corruption Impact Assesment
Terdapat 3 persepektif dalam pendekatan ini untuk menentukan rawan korupsi atau tidaknya suatu kebijakan. Tiga perspektif tersebut adalah; kemudahan pelaksanaan peraturan perundangan, ketepatan dari kebijakan, dan transparansi prosedur administratif.
Tiga perspektif ini kemudian terdiri dari 9 kriteria seperti kecukupan beban dalam pelaksanaan, kemungkinan perlakuan memihak, kecukupan tingkat hukuman/sanksi, potensi diskresi, transparansi, mekanisme pengawasan, dan lainnya.
Perspektif transparansi bisa dibilang yang belum bisa dipenuhi kebijakan B20. Menurut KPK, kebijakan FAME ini belum ditemukan adanya aksesibilitas dan keterbukaan. Begitu juga dari sisi pengawasan, belum ada pengawasan untuk implementasi.
KPK juga menilai kebijakan ini lebih menguntungkan sektor hulu sawit dan adanya resistensi di sektor hilir.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, sebagai perusahaan yang mencampur FAME dan menyalurkan B20, ia mengakui belum mendapat informasi terkait hal ini.
"Saya kurang tahu terkait hal itu. Belum ada update informasinya. Intinya kami komitmen untuk implementasikan B20, tentu ini tergantung supply, tapi apapun itu kami akan tetap lakukan distribusi," pungkas Nicke.
(hps) Next Article KPK Sebut Skema Impor BBM Tidak Efisien dan Rugikan Negara
Hal ini terungkap dalam kajian transformatif impor BBM yang dipaparkan oleh Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.
"Masih terdapat kerawanan korupsi pada beberapa proses bisnis seperti kewajikan penggunaan FAME/Bioethanol, dan penggunaan lembaga surveyor dan system online yang belum tersandar," seperti yang tertulis dalam kajian KPK yang diterima CNBC Indonesia, Senin (26/11/2018).
Potensi korupsi ini terjadi pertama-tama karena adanya masalah regulasi dalam ketentuan impor bahan bakar minyak (BBM). Terdapat regulasi di mana untuk mendapat kuota impor BBM harus memenuhi persyaratan FAME 20% dan Bioethanol 2%. FAME adalah bahan baku utama untuk produksi B20.
FAME 20% atau B20, tulis kajian, masih longgar dengan melakukan dispensasi ke pihak industri. Dispensasi ini diberikan karena B20 dinilai tidak cocok dengan kondisi mesin, pengecualian sebagaimana ditetapkan pemerintah misalnya untuk PLN dan Freeport.
Kemudian, antara produksi dan kapasitas terpasang tidak sebanging. Pada 2017, kapasitas terpasang 12,05 juta kilo liter (KL), tapi yang sudah berkontrak dengan badan usaha BBM hanya 2,5 juta KL. "Menunjukkan kurang minatnya penggunaan FAME pada bahan bakar, yang kemudian menimbulkan potensi jual beli kontrak FAME untuk pemenuhan syarat impor BBM," tulis kajian.
Begitu juga dengan bioethanol, yang jadi syarat untuk impor BBM dengan RON 92 ke atas. Di sini juga rawan jual beli kontrak, meskipun sebenarnya industrinya belum siap.
Intinya, pemicu terjadinya korupsi adalah kewajiban melampirkan kontrak FAME bagi badan usaha yang ingin melakukan impor solar.
![]() |
Metode Corruption Impact Assesment
Terdapat 3 persepektif dalam pendekatan ini untuk menentukan rawan korupsi atau tidaknya suatu kebijakan. Tiga perspektif tersebut adalah; kemudahan pelaksanaan peraturan perundangan, ketepatan dari kebijakan, dan transparansi prosedur administratif.
Tiga perspektif ini kemudian terdiri dari 9 kriteria seperti kecukupan beban dalam pelaksanaan, kemungkinan perlakuan memihak, kecukupan tingkat hukuman/sanksi, potensi diskresi, transparansi, mekanisme pengawasan, dan lainnya.
Perspektif transparansi bisa dibilang yang belum bisa dipenuhi kebijakan B20. Menurut KPK, kebijakan FAME ini belum ditemukan adanya aksesibilitas dan keterbukaan. Begitu juga dari sisi pengawasan, belum ada pengawasan untuk implementasi.
KPK juga menilai kebijakan ini lebih menguntungkan sektor hulu sawit dan adanya resistensi di sektor hilir.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, sebagai perusahaan yang mencampur FAME dan menyalurkan B20, ia mengakui belum mendapat informasi terkait hal ini.
"Saya kurang tahu terkait hal itu. Belum ada update informasinya. Intinya kami komitmen untuk implementasikan B20, tentu ini tergantung supply, tapi apapun itu kami akan tetap lakukan distribusi," pungkas Nicke.
(hps) Next Article KPK Sebut Skema Impor BBM Tidak Efisien dan Rugikan Negara
Most Popular