B20 Tidak Efektif karena Spekulan, Benarkah?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
19 November 2018 17:17

Jakarta, CNBC Indonesia- Sejak diterapkan 1 September 2018, kebijakan B20 dinilai belum cukup efektif. Hal tersebut dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Bendahara negara menyebut, impor solar baik dari sisi volume maupun devisa yang berasal dari PT Pertamina belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Dari data monitoring impor solar kementerian disimpulkan bahwa devisa impor solar rata-rata harian meningkat sedangkan volume menurun pasca-kebijakan B20, hingga 13 November 2018.
Bahkan, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawadi bahkan sampai menduga, ada spekulan yang bermain dalam kebijakan tersebut.
"Ini dugaan. Ada kebijakan B20, kenapa tinggi impor solar. Ini yang masih diteliti. [...] Hukum ekonomi kalau ada kebijakan yang mengurangi pasti ada spekulan," kaya Edy kepada CNBC Indonesia, Jumat (16/11/2018).
Lalu, benarkah begitu?
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia menuturkan, adanya spekulan adalah hal yang memungkinkan, apalagi jika sudah dilontarkan oleh staf Kemenko Bidang Perekonomian. Namun, ia mengingatkan, perlu diperjelas lagi, di bagian mana spekulan itu diduga berada.
"Spekulan tetap perlu diawasi, tetapi mesti diperjelas, spekulan yang dimaksud seperti apa," ujar Telisa kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Senin (19/11/2018).
Ia menuturkan, jika program B20 sudah dilakukan tetapi impor masih tinggi, mungkin saja spekulan berasal dari impor komponen FAME (fatty acid methyl ester) dan katalis yang digunakan untuk mencampur CPO.
"Tetapi, memang ada baiknya untuk dipastikan lagi ke pihak Kemenko Perekonomian, di mana letak spekulannya," pungkas Telisa.
Adapun, sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar pun mengakui memang program perluasan B20 ini belum memberikan hasil yang signifikan.
Ia menjelaskan, pada dasarnya, program perluasan B20 baru diterapkan pada awal September lalu, sehingga umurnya baru dua bulan, dan belum 100% non-PSO mengimplementasikan program tersebut.
Ia menjelaskan, melalui hitungannya, mestinya dalam setahun, penyerapan B20 dari non-PSO sebesar dua juta kilo liter (KL). Namun, berhubung penerapan perluasannya baru diberlakukan pada September dan sekarang sudah berjalan dua bulan, maka penyerapannya baru 330 ribu KL, itu pun jika terserap oleh non-PSO 100%.
"B20 itu kan sudah jalan selama ini, yang diharapkan membantu itu dari perluasan yang non-PSO, itu setahun ekspektasi penyerapannya kan dua juta KL, nah sekarang baru 2 bulan, itu berapa? Kalau 2 dibagi 12 bulan dikalikan 2 juta, maka jadi 330 ribu, segitu cuma efeknya. Itu pun kalau 100% sudah menyerap," terang Arcandra kepada media ketika dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Arcandra pun mengatakan, program ini baru akan terasa efeknya secara signifikan di tahun depan, ketika penerapannya sudah dilakukan setahun penuh, karena memiliki tempo yang panjang.
(gus) Next Article Dua Cara Pemerintah Agar B20 100% Efektif di Tahun Depan
Bendahara negara menyebut, impor solar baik dari sisi volume maupun devisa yang berasal dari PT Pertamina belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Dari data monitoring impor solar kementerian disimpulkan bahwa devisa impor solar rata-rata harian meningkat sedangkan volume menurun pasca-kebijakan B20, hingga 13 November 2018.
"Ini dugaan. Ada kebijakan B20, kenapa tinggi impor solar. Ini yang masih diteliti. [...] Hukum ekonomi kalau ada kebijakan yang mengurangi pasti ada spekulan," kaya Edy kepada CNBC Indonesia, Jumat (16/11/2018).
Lalu, benarkah begitu?
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia menuturkan, adanya spekulan adalah hal yang memungkinkan, apalagi jika sudah dilontarkan oleh staf Kemenko Bidang Perekonomian. Namun, ia mengingatkan, perlu diperjelas lagi, di bagian mana spekulan itu diduga berada.
"Spekulan tetap perlu diawasi, tetapi mesti diperjelas, spekulan yang dimaksud seperti apa," ujar Telisa kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Senin (19/11/2018).
Ia menuturkan, jika program B20 sudah dilakukan tetapi impor masih tinggi, mungkin saja spekulan berasal dari impor komponen FAME (fatty acid methyl ester) dan katalis yang digunakan untuk mencampur CPO.
"Tetapi, memang ada baiknya untuk dipastikan lagi ke pihak Kemenko Perekonomian, di mana letak spekulannya," pungkas Telisa.
Adapun, sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar pun mengakui memang program perluasan B20 ini belum memberikan hasil yang signifikan.
Ia menjelaskan, pada dasarnya, program perluasan B20 baru diterapkan pada awal September lalu, sehingga umurnya baru dua bulan, dan belum 100% non-PSO mengimplementasikan program tersebut.
Ia menjelaskan, melalui hitungannya, mestinya dalam setahun, penyerapan B20 dari non-PSO sebesar dua juta kilo liter (KL). Namun, berhubung penerapan perluasannya baru diberlakukan pada September dan sekarang sudah berjalan dua bulan, maka penyerapannya baru 330 ribu KL, itu pun jika terserap oleh non-PSO 100%.
"B20 itu kan sudah jalan selama ini, yang diharapkan membantu itu dari perluasan yang non-PSO, itu setahun ekspektasi penyerapannya kan dua juta KL, nah sekarang baru 2 bulan, itu berapa? Kalau 2 dibagi 12 bulan dikalikan 2 juta, maka jadi 330 ribu, segitu cuma efeknya. Itu pun kalau 100% sudah menyerap," terang Arcandra kepada media ketika dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Arcandra pun mengatakan, program ini baru akan terasa efeknya secara signifikan di tahun depan, ketika penerapannya sudah dilakukan setahun penuh, karena memiliki tempo yang panjang.
(gus) Next Article Dua Cara Pemerintah Agar B20 100% Efektif di Tahun Depan
Most Popular