UMP Naik 8%, Cukupkah Bagi Buruh dan Pengusaha?

Raydion Subiantoro & Alfado Agustio & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 October 2018 13:40
Apakah Kenaikan UMP Bisa Tingkatkan Konsumsi Masyarakat?
Foto: REUTERS/Beawiharta
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan hipotesis bahwa konsumsi akan terdongkrak hanya jika tingkat kenaikan UMP mampu lebih besar dari pertumbuhan harga-harga kebutuhan hidup.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun berjalan hingga bulan September 2018, tingkat inflasi tahun kalender “hanya” berada di angka 1,94%. Untuk beberapa kebutuhan pokok malahan ada di bawah level tersebut, misalnya bahan makanan (1,54%) dan perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (1,63%).

Yang agak tinggi paling hanya kelompok sandang (2,71%). Namun, secara andil inflasi, kelompok bahan makanan punya bobot inflasi terbesar, karena memiliki tingkat konsumsi yang paling besar pula.

  

Apalagi jika kita hanya menelusuri beberapa item bahan makanan yang masuk ke dalam daftar KHL, seperti beras, telur ayam ras, gula pasir, minyak goreng, dan daging sapi. Mengutip data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia, keseluruhan item itu sejatinya mengalami penurunan di sepanjang tahun ini.

Sepanjang tahun kalender 2018, penurunan terbesar dibukukan oleh item telur ayam ras (-13,59%), disusul oleh item gula pasir dan minyak goreng curah masing-masing sebesar 4,72% dan 4,96%.



Kesimpulannya, selama pemerintah melanjutkan prestasinya dalam menjaga inflasi (khususya kebutuhan pokok) di tahun depan, seharusnya kenaikan UMP sebesar 8,03% masih mampu mengompensasi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup.

Bahkan, masih ada ruang bagi konsumen untuk meningkatkan konsumsinya, karena masih ada spread antara tingkat kenaikan harga dengan tingkat inflasi yang tercipta. Artinya, peluang peningkatan konsumsi sebenarnya terbuka lebar.

Kenaikan konsumsi tentunya akan menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi tanah air. Pasalnya, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari setengah untuk Produk Domestik Bruto (PDB) RI. 

Sebenarnya bagaimana perbandingan upah buruh di kawasan ASEAN?

Secara rata-rata, UMP Indonesia tahun 2018 berada di angka Rp 2,3 juta. Tertinggi berada di DKI Jakarta sebesar Rp 3,65 juta, sementara terendah di Yogyakarta sebesar Rp 1,45 juta. Apabila dikonversikan ke mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dengan nilai saat ini, nilainya sekitar US$ 95,87 – 240,51.

Angka tersebut nyatanya masih relatif lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang berkisar US$ 220,80-239,99, atau Thailand di kisaran US$ 293,44 – 303,68. Artinya, sebenarnya masih ada ruang untuk peningkatan UMP, jika memang tujuannya untuk menyetarakan kesejahteraan buruh dengan kedua negara tetangga tersebut.

Meski demikian, UMP di Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan sisa negara lainnya di ASEAN. UMP Filipina berada di kisaran US$ 142,05 – 172,02, Vietnam US$ 117,92 – 170,05, Kamboja US$ 166,46, Laos US$ 140,72, dan Myanmar US$ 90,56.

Jangan lupa bahwa UMP merupakan salah satu faktor kompetitif yang menjadi pertimbangan investor, utamanya asing. Jika UMP semakin tinggi, sudah pasti biaya yang perlu dikeluarkan perusahaan dalam beroperasi akan semakin bengkak. Sebaliknya, biaya tenaga kerja yang murah justru menjadi daya tarik tersendiri untuk berinvestasi.

Melihat data di atas, mungkin bisa terjawab mengapa Penanaman Modal Asing (PMA) di Vietnam bisa mencapai US$ 20,22 miliar di kuartal II-2018, sementara di Indonesia hanya sekitar US$ 6,3 miliar.

(NEXT)  


(RHG)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular