
Internasional
Perang Dagang Dengan AS, China Tak Akan Devaluasi Yuan
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
19 September 2018 16:02

Tianjin, CNBC Indonesia - China tidak akan melakukan devaluasi mata uang yang kompetitif, ujar Perdana Menteri Li Keqiang. Penekanan tersebut disampaikan beberapa jam setelah China membalas tarif impor Amerika Serikat (AS) dengan hantaman yang lebih ringan.
Ketika berpidato di konferensi Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Tianjin pada hari Rabu (19/9/2018), Li tidak menyebut konflik perdagangan secara langsung. Namun, dia menyebut klaim Beijing dengan sengaja melemahkan mata uangnya sebagai tuduhan "tidak mendasar".
"Depresiasi yuan memberi lebih banyak kerugian ketimbang keuntungan untuk China," katanya. "China tidak akan mengandalkan depresiasi yuan untuk mendorong ekspor."
(roy/roy) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?
Ketika berpidato di konferensi Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Tianjin pada hari Rabu (19/9/2018), Li tidak menyebut konflik perdagangan secara langsung. Namun, dia menyebut klaim Beijing dengan sengaja melemahkan mata uangnya sebagai tuduhan "tidak mendasar".
"Depresiasi yuan memberi lebih banyak kerugian ketimbang keuntungan untuk China," katanya. "China tidak akan mengandalkan depresiasi yuan untuk mendorong ekspor."
China tidak akan melakukannya untuk mengejar "laba yang sedikit" dan "sedikit uang".
Kemudian Li berkata bahwa sistem perdagangan multilateral dunia harus dipertahankan, dan tindakan dagang unilateral tidak akan menyelesaikan masalah apapun.
Pidatonya mengerek nilai tukar yuan yang sudah melemah hampir 9% sejak pertengahan April di tengah perang dagang yang berkecamuk.
Pada hari Selasa (18/9/2018), Beijing mengumumkan bea masuk baru terhadap produk impor China senilai US$60 miliar (Rp 893,9 triliun) sebagai bentuk pembalasan untuk rencana Presiden AS Donald Trump menerapkan bea impor 10% ke produk impor China senilai $200 miliar.
Sejauh ini, AS sudah menerapkan tarif impor terhadap produk China senilai $50 miliar untuk menekan China agar segera mengubah kebijakan perdagangan, transfer teknologi dan subsidi industri berteknologi tinggi. China merespons dengan tindakan serupa.
Tarif impor AS yang baru akan mulai diterapkan pada tanggal 24 September, kemudian akan ditingkatkan menjadi 25% per tanggal 1 Januari 2019. Bank of America Merrill Lynch memproyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China akan turun 0,5 persen poin menjadi 6,1% di tahun 2019.
Oxford Economics menyampaikan dalam sebuah catatan bahwa proyeksi dasarnya untuk PDB China tahun 2019 bisa turun di bawah 6%, dan prospek tensi dagang akan mereda dalam jangka pendek rendah.
"Namun, kemungkinan penurunan tensi akan meningkat dari waktu ke waktu karena naiknya dampak ekonomi di AS akan membuat tim Trump kurang agresif, dan China menyadari akan sulit untuk lebih berintegrasi ke ekonomi global tanpa beberapa konsesi terkait model ekonominya yang spesifik," tulisnya.
Para investor lega ketegangan yang terjadi belakangan tidak separah prediksi para peserta pasar. Saham-saham Asia naik di hari Rabu dan imbal hasil (yield) surat utang AS mendekati posisi tertinggi dalam empat bulan.
Pidatonya mengerek nilai tukar yuan yang sudah melemah hampir 9% sejak pertengahan April di tengah perang dagang yang berkecamuk.
Pada hari Selasa (18/9/2018), Beijing mengumumkan bea masuk baru terhadap produk impor China senilai US$60 miliar (Rp 893,9 triliun) sebagai bentuk pembalasan untuk rencana Presiden AS Donald Trump menerapkan bea impor 10% ke produk impor China senilai $200 miliar.
Sejauh ini, AS sudah menerapkan tarif impor terhadap produk China senilai $50 miliar untuk menekan China agar segera mengubah kebijakan perdagangan, transfer teknologi dan subsidi industri berteknologi tinggi. China merespons dengan tindakan serupa.
Tarif impor AS yang baru akan mulai diterapkan pada tanggal 24 September, kemudian akan ditingkatkan menjadi 25% per tanggal 1 Januari 2019. Bank of America Merrill Lynch memproyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China akan turun 0,5 persen poin menjadi 6,1% di tahun 2019.
Oxford Economics menyampaikan dalam sebuah catatan bahwa proyeksi dasarnya untuk PDB China tahun 2019 bisa turun di bawah 6%, dan prospek tensi dagang akan mereda dalam jangka pendek rendah.
"Namun, kemungkinan penurunan tensi akan meningkat dari waktu ke waktu karena naiknya dampak ekonomi di AS akan membuat tim Trump kurang agresif, dan China menyadari akan sulit untuk lebih berintegrasi ke ekonomi global tanpa beberapa konsesi terkait model ekonominya yang spesifik," tulisnya.
Para investor lega ketegangan yang terjadi belakangan tidak separah prediksi para peserta pasar. Saham-saham Asia naik di hari Rabu dan imbal hasil (yield) surat utang AS mendekati posisi tertinggi dalam empat bulan.
(roy/roy) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?
Most Popular