
Lika-Liku B20, Seberapa Sakti untuk Selamatkan Devisa RI?
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
29 August 2018 07:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Jujur saja, siapa yang tahu dan mengenal kata B20 sebelum sering disebut-sebut pemerintah dalam dua-tiga bulan terakhir ini. Bagaikan mantra, B20 diucapkan hampir seluruh pejabat negara ini dan dipercaya bisa menolong keuangan negara.
Setidaknya sampai setahun lalu, satu-satunya pejabat yang menyinggung soal B20 adalah Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan tentu jajaran di bawahnya.Kini, B20 terucap dari mulut menteri-menteri bahkan sampai Presiden Joko Widodo. Di tengah kondisi keuangan negara yang mendesak, dan neraca perdagangan terus defisit, B20 tiba-tiba naik daun.
Apa itu B20?
Pertanyaan pertama tentunya adalah soal apa ini B20? Kok, namanya sedikit mirip dengan merek sabun cuci?
B20 adalah salah satu jenis bahan bakar, mudahnya adalah hasil campuran solar dengan minyak sawit sebanyak 20%, biasa dikenal juga dengan biodiesel 20. Bahan bakar inilah nantinya yang akan wajib disalurkan di pom-pom bensin dan digunakan oleh kendaraan diesel. Produk ini sudah lama ada di Indonesia, hanya saja penggunaannya belum seluas yang akan digalakkan per 1 September mendatang.
Mengapa B20 Bisa Selamatkan Keuangan Negara?
Intinya, karena pemerintah bisa dibilang sedang putus asa. Neraca perdagangan yang terus defisit dan rupiah yang kian melemah, mendorong pemerintahan Joko Widodo untuk cepat mencari jalan keluar penyelamatan.
Salah satu penyumbang defisit terbesar saat ini berasal dari sektor migas, tentunya tak lepas dari impor yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Sementara, produksi minyak tak sebanding dan terus menurun.
Dari kebutuhan BBM 1,4 juta barel sehari, produksi rata-rata minyak tak sampai di 800 ribu barel sehari. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari sampai Juli 2018 defisit migas sudah sentuh US$ 6,65 miliar atau Rp 97,3 triliun.
Ini bikin pemerintah was-was dan putar akal cari cara untuk menekannya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba B20 maju sebagai solusi. Ini berawal dari kisah sukses uji coba B20 tahun lalu, yang diam-diam bisa selamatkan keuangan negara hingga Rp 12 triliun dari penghematan impor BBM.
"Tahun lalu untuk biodiesel 20% kita bisa hemat impor BBM sampai US$ 0,95 miliar, itu senilai Rp 12,2 triliun," ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana dalam diskusi terbatas di kementerian ESDM, Mei lalu.
Penghematan ini, kata Rida, dihasilkan dari realisasi konsumsi yang mencapai 2,68 juta kiloliter. Penghematan yang dicapai pada 2018 diharapkan bisa lebih besar.
Terilhami kisah sukses ini dan menargetkan penghematan lebih besar, lalu digelar rapat beruntung yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Ujung dari rapat ini kemudian dibawa ke Presiden Joko Widodo, dan diinstruksikan untuk percepatan dan perluasan pelaksanaan kewajiban B20.
"B20 itu keputusan peraturan presiden tadi presiden sudah mengetahui betul siap diteken perpres, mudah-mudahan sore ini atau paling lambat besok, sehingga Menteri ESDM bisa menindaklanjuti pelaksanaan teknis," ujar Darmin selepas Rapat Terbatas di Istana Negara, Selasa (14/8/2018).
Darmin menambahkan aturan B20 mulai efektif per 1 September 2018 dan pemerintah sudah membuat skenario dan perhitungan soal mewajibkan B20 untuk PSO (subsidi) maupun non PSO dari sisa waktu yang ada.
Berapa Potensi Penghematan dari B20?
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menghitung untuk tahun 2018, kebutuhan unsur nabati (FAME) yang akan dicampur ke biodiesel bisa mencapai 4,09 juta KL.
Angka ini terdiri dari untuk PSO 2,84 juta KL dan non PSO 1,24 juta KL. Jika jumlah ini terserap semua dan dapat direalisasikan, negara diperkirakan bisa menghemat hingga US$ 2,9 miliar atau sebesar Rp 31 triliun. "Di 2019, bisa mencapai 6,9 juta KL dan penghematannya US$ 3,5 miliar atau Rp 51 triliun," kata Arcandra, Selasa (28/8/2018).
Nah, saat ini realisasi B20 hingga Juni 2018 berdasar data ESDM baru sebanyak 1,2 juta KL untuk bahan bakar bersubsidi. Sementara yang non subsidi 104 ribu KL. Jika kebijakan berlaku efektif per 1 September nanti, maka penghematan yang bisa didapat negara untuk sementara adalah US$ 1,1 miliar atau Rp 15,8 triliun.
Efektifkah B20 untuk menolong transaksi berjalan RI?
Nah, soal ini waktu yang bisa menjawab. Tapi yang pasti pemerintah menyiapkan segala antisipasi agar mandatori bisa berjalan mulus September mendatang. Misal dengan menyiapkan sanksi kepada penyalur maupun pemasok yang alpha untuk distribusi atau sediakan B20 ke konsumen.
Tapi, jika aturan ini benar-benar serius dijalankan dan tidak ada halangan, bisa saja derasnya impor bisa diredam. Dampaknya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan terbantu.
(gus/prm) Next Article Jokowi Teken Aturan B20, Negara Hemat Rp 28 T Tahun Ini
Setidaknya sampai setahun lalu, satu-satunya pejabat yang menyinggung soal B20 adalah Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan tentu jajaran di bawahnya.Kini, B20 terucap dari mulut menteri-menteri bahkan sampai Presiden Joko Widodo. Di tengah kondisi keuangan negara yang mendesak, dan neraca perdagangan terus defisit, B20 tiba-tiba naik daun.
Pertanyaan pertama tentunya adalah soal apa ini B20? Kok, namanya sedikit mirip dengan merek sabun cuci?
B20 adalah salah satu jenis bahan bakar, mudahnya adalah hasil campuran solar dengan minyak sawit sebanyak 20%, biasa dikenal juga dengan biodiesel 20. Bahan bakar inilah nantinya yang akan wajib disalurkan di pom-pom bensin dan digunakan oleh kendaraan diesel. Produk ini sudah lama ada di Indonesia, hanya saja penggunaannya belum seluas yang akan digalakkan per 1 September mendatang.
![]() |
Intinya, karena pemerintah bisa dibilang sedang putus asa. Neraca perdagangan yang terus defisit dan rupiah yang kian melemah, mendorong pemerintahan Joko Widodo untuk cepat mencari jalan keluar penyelamatan.
Salah satu penyumbang defisit terbesar saat ini berasal dari sektor migas, tentunya tak lepas dari impor yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Sementara, produksi minyak tak sebanding dan terus menurun.
![]() |
Ini bikin pemerintah was-was dan putar akal cari cara untuk menekannya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba B20 maju sebagai solusi. Ini berawal dari kisah sukses uji coba B20 tahun lalu, yang diam-diam bisa selamatkan keuangan negara hingga Rp 12 triliun dari penghematan impor BBM.
"Tahun lalu untuk biodiesel 20% kita bisa hemat impor BBM sampai US$ 0,95 miliar, itu senilai Rp 12,2 triliun," ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana dalam diskusi terbatas di kementerian ESDM, Mei lalu.
Penghematan ini, kata Rida, dihasilkan dari realisasi konsumsi yang mencapai 2,68 juta kiloliter. Penghematan yang dicapai pada 2018 diharapkan bisa lebih besar.
Terilhami kisah sukses ini dan menargetkan penghematan lebih besar, lalu digelar rapat beruntung yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Ujung dari rapat ini kemudian dibawa ke Presiden Joko Widodo, dan diinstruksikan untuk percepatan dan perluasan pelaksanaan kewajiban B20.
"B20 itu keputusan peraturan presiden tadi presiden sudah mengetahui betul siap diteken perpres, mudah-mudahan sore ini atau paling lambat besok, sehingga Menteri ESDM bisa menindaklanjuti pelaksanaan teknis," ujar Darmin selepas Rapat Terbatas di Istana Negara, Selasa (14/8/2018).
Darmin menambahkan aturan B20 mulai efektif per 1 September 2018 dan pemerintah sudah membuat skenario dan perhitungan soal mewajibkan B20 untuk PSO (subsidi) maupun non PSO dari sisa waktu yang ada.
Berapa Potensi Penghematan dari B20?
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menghitung untuk tahun 2018, kebutuhan unsur nabati (FAME) yang akan dicampur ke biodiesel bisa mencapai 4,09 juta KL.
Angka ini terdiri dari untuk PSO 2,84 juta KL dan non PSO 1,24 juta KL. Jika jumlah ini terserap semua dan dapat direalisasikan, negara diperkirakan bisa menghemat hingga US$ 2,9 miliar atau sebesar Rp 31 triliun. "Di 2019, bisa mencapai 6,9 juta KL dan penghematannya US$ 3,5 miliar atau Rp 51 triliun," kata Arcandra, Selasa (28/8/2018).
Nah, saat ini realisasi B20 hingga Juni 2018 berdasar data ESDM baru sebanyak 1,2 juta KL untuk bahan bakar bersubsidi. Sementara yang non subsidi 104 ribu KL. Jika kebijakan berlaku efektif per 1 September nanti, maka penghematan yang bisa didapat negara untuk sementara adalah US$ 1,1 miliar atau Rp 15,8 triliun.
Efektifkah B20 untuk menolong transaksi berjalan RI?
![]() |
Tapi, jika aturan ini benar-benar serius dijalankan dan tidak ada halangan, bisa saja derasnya impor bisa diredam. Dampaknya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan terbantu.
(gus/prm) Next Article Jokowi Teken Aturan B20, Negara Hemat Rp 28 T Tahun Ini
Most Popular