
Jokowi, Defisit Migas, dan Janji Bangun Kilang
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
12 August 2018 12:35

Jakarta, CNBC Indonesia- Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kembali mencatat defisit yang terus membengkak. Mencapai US$ 4,3 miliar, naik dari periode sebelumnya US$ 3,8 miliar.
Faktor lonjakan defisit masih didominasi oleh sektor migas. Tercatat defisit neraca perdagagan migas kuartal II-2018 mencapai US$ 2,7 miliar atau tertinggi sejak tahun 2015. Lebih rinci, impor migas kuartal II-2018 US$ 7,2 miliar, sedangkan ekspor migas mencapai US$ 4,4 miliar.
"Peningkatan defisit neraca perdagangan migas dipengaruhi naiknya impor migas seiring kenaikan harga minyak global dan permintaan yang lebih tinggi saat lebaran dan libur sekolah," demikian tertulis dalam Laporan NPI BI Kuartal II-2018.
Soal defisit migas ini, bukan masalah baru yang dihadapi oleh RI. Dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui, bahwa Indonesia mengalami defisit migas besar-besaran sejak 2012 lalu.
"Defisit banyak dipengaruhi oleh sektor migas, selalu, kalau kita bicara soal migas itu selalu negatif terus sejak beberapa tahun terakhir ini," ujar Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono, kepada CNBC Indonesia, Juli lalu.
Di 2012, ketika harga minyak dunia menyentuh US$ 100-US$ 120 per barel, defisit migas Indonesia mencapai US$ 5,58 miliar. Defisit semakin lebar memasuki 2013, di penghujung tahun defisit migas menyentuh US$ 12,6 miliar. Ini berimbas ke neraca perdagangan Indonesia yang defisit sampai US$ 4,07 miliar.
Masuk 2014, defisit tak kunjung pulih bahkan melonjak ke US$ 13,4 miliar, untungnya saat itu transaksi non migas Indonesia sedang bagus sehingga defisit neraca perdagangan bisa ditekan ke angka US$ 2,18 miliar.
Turunnya harga minyak dunia, lebih dari separuh harga menjadi di kisaran US$ 40-US$ 50 per barel, mampu membuat defisit migas menyempit dari US$ 12,6 miliar jadi US$ 6 miliar. Transaksi di sektor non migas yang juga moncer akhirnya membuat neraca perdagangan Indonesia selamat dari defisit dan surplus US$ 7,6 miliar.
Buah surplusnya neraca perdagangan setidaknya masih bisa dicicipi oleh pemerintah hingga akhir tahun lalu. Meski tanpa disadari di kolom transaksi migas angka defisit kembali melebar, dari US$ 6 miliar perlahan merangkak ke US$ 8,7 miliar. Pemicunya jelas, harga minyak yang mulai memanjat ke kisaran US$ 60 per barel.
Kini harga minyak terus merangkak, data ESDM terakhir ICP (Indonesia Crude Price) di Agustus 2018 telah menyentuh level US$ 70,68 per barel.
Dengan terus naiknya harga minyak dan konsumsi, bisa dipastikan ancaman defisit migas masih menghantui RI dalam beberapa waktu ke depan.
Faktor lonjakan defisit masih didominasi oleh sektor migas. Tercatat defisit neraca perdagagan migas kuartal II-2018 mencapai US$ 2,7 miliar atau tertinggi sejak tahun 2015. Lebih rinci, impor migas kuartal II-2018 US$ 7,2 miliar, sedangkan ekspor migas mencapai US$ 4,4 miliar.
Soal defisit migas ini, bukan masalah baru yang dihadapi oleh RI. Dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui, bahwa Indonesia mengalami defisit migas besar-besaran sejak 2012 lalu.
"Defisit banyak dipengaruhi oleh sektor migas, selalu, kalau kita bicara soal migas itu selalu negatif terus sejak beberapa tahun terakhir ini," ujar Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono, kepada CNBC Indonesia, Juli lalu.
Di 2012, ketika harga minyak dunia menyentuh US$ 100-US$ 120 per barel, defisit migas Indonesia mencapai US$ 5,58 miliar. Defisit semakin lebar memasuki 2013, di penghujung tahun defisit migas menyentuh US$ 12,6 miliar. Ini berimbas ke neraca perdagangan Indonesia yang defisit sampai US$ 4,07 miliar.
Masuk 2014, defisit tak kunjung pulih bahkan melonjak ke US$ 13,4 miliar, untungnya saat itu transaksi non migas Indonesia sedang bagus sehingga defisit neraca perdagangan bisa ditekan ke angka US$ 2,18 miliar.
Turunnya harga minyak dunia, lebih dari separuh harga menjadi di kisaran US$ 40-US$ 50 per barel, mampu membuat defisit migas menyempit dari US$ 12,6 miliar jadi US$ 6 miliar. Transaksi di sektor non migas yang juga moncer akhirnya membuat neraca perdagangan Indonesia selamat dari defisit dan surplus US$ 7,6 miliar.
Buah surplusnya neraca perdagangan setidaknya masih bisa dicicipi oleh pemerintah hingga akhir tahun lalu. Meski tanpa disadari di kolom transaksi migas angka defisit kembali melebar, dari US$ 6 miliar perlahan merangkak ke US$ 8,7 miliar. Pemicunya jelas, harga minyak yang mulai memanjat ke kisaran US$ 60 per barel.
Kini harga minyak terus merangkak, data ESDM terakhir ICP (Indonesia Crude Price) di Agustus 2018 telah menyentuh level US$ 70,68 per barel.
Dengan terus naiknya harga minyak dan konsumsi, bisa dipastikan ancaman defisit migas masih menghantui RI dalam beberapa waktu ke depan.
Next Page
Impor dari Segala Penjuru
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular