CAD Membengkak, Kartu Kuning untuk BI dan Pemerintah?

Herdaru Purnomo & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
10 August 2018 18:12
CAD pada kuartal II-2018 melebar jadi 3% terhadap Produk Domestik Bruto. Hal ini menjadi tamparan bagi industri pengolahan indonesia.
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC IndonesiaBank Indonesia (BI) merilis defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal II-2018. CAD pada periode tersebut melebar jadi 3% terhadap Produk Domestik Bruto.

"Defisit transaksi berjalan tercatat US$ 8 miliar atau 3% dari PDB pada kuartal II-2018," kata Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Yati Kurniati di Gedung BI, Jumat (10/8/2018).

Sementara itu, CAD kuartal I-2018 direvisi bertambah menjadi US$5,7 miliar, atau 2,2% PDB. Pada pembacaan sebelumnya, CAD peridoe tersebut adalah sebesar US$5,5 miliar (2,15% PDB). Apabila ditarik secara historis, CAD kuartal II-2018 merupakan yang terparah dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014 sebesar 4,3% PDB.



CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih stabil dibandingkan investasi portofolio alias hot money, sehingga lebih bisa menopang fundamental perekonomian. 

Sayangnya, neraca perdagangan barang RI di kuartal lalu tidak mampu menopang kinerja CAD. Berdasarkan data BI, neraca perdagangan barang memang mampu mencatatkan surplus sebesar US$0,3 miliar, namun jumlah itu menurun 93,75% dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Loyonya neraca perdagangan barang di kuartal II-2018 disebabkan oleh turunnya surplus neraca perdagangan non-migas, di tengah naiknya defisit neraca perdagangan migas. Neraca non-migas kuartal lalu mencatat surplus US$3 miliar, anjlok 53,2% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, neraca migas mencatat defisit sebesar US$2,7 miliar, meningkat nyari dua kali lipat dari capaian kuartal II-2017 sebesar US$1,5 miliar.



Dilihat dari rinciannya, pembengkakan impor non migas terjadi pada melesatnya impor komoditas bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam pembangunan inftastruktur dalam industri. Sebagai contohnya, pada kuartal II-2018, impor mesin-mesin/pesawat mekanik naik 37,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih cepat dari perlambatan sebesar -12,4% YoY pada kuartal II-2017.

Tidak hanya itu, impor alat listrik, bahan kimia, impor kendaraan dan bagiannya, dan impor tekstil juga mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih cepat apabila dibandingkan periode April-Juni 2017. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca migas didorong oleh net ekspor minyak yang mencatat defisit US$4,4 miliar di kuartal II-2018, naik 51,72% YoY.

Melambungnya impor bahan baku dan barang modal di kuartal lalu lagi-lagi menjadi indikasi masih lemahnya proses industrialisasi Tanah Air, di mana barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.

Deindustrialisasi saat ini memang sedang melanda Indonesia. Sebagai catatan, masalah ini seakan merupakan penyakit menahun negeri tercinta ini. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.

Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan masih mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.



Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%.

Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.

Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 4% lebih di sepanjang kuartal II-2018. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia. Setali tiga uang dengan harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 4% di periode yang sama. Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia di kuartal lalu pun cenderung terbatas. Neraca perdagangan barang pun tak tertolong.

Oleh karena itu, membengkaknya CAD ini menjadi tamparan keras bagi sektor industri pengolahan RI. Jika deindustrialisasi dibiarkan saja tanpa solusi, Indonesia harus rela CAD membengkak di setiap ekonomi ingin tumbuh.

TIM RISET CNBC INDONESIA






(RHG) Next Article Selamat, Pak Jokowi! Impor Minyak Sudah Turun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular