Selamat Buat Timnas U-16, Sekarang Biarkan Mereka Sendiri!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2018 10:35
Selamat Buat Timnas U-16, Sekarang Biarkan Mereka Sendiri!
Foto: PSSI
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepakbola Indonesia yang cenderung seret prestasi adalah hal biasa. Negara ini sering mengklaim sebagai negara sepakbola, pemilik penggemar sepakbola terbesar di dunia dalam diri Bobotoh dan Viking (Persib Bandung), bekas macan Asia, dan sebagainya. Namun urusan prestasi, ya begitulah.

Oleh karena itu, emosi bangsa Indonesia meledak kala tim nasional sepakbola U-16 menjadi juara Piala AFF. Bukan level senior, memang, tetapi ini sudah cukup mengobati Indonesia yang haus gelar.

Turnamen Piala AFF U-16 digelar di Indonesia, tepatnya di Gresik dan Sidoarjo. Bagus Kahfi dan kawan-kawan berhasil unjuk taring di rumah sendiri.

Di fase grup, Indonesia berhasil menjadi pemuncak grup dengan nilai sempurna, 15 poin dari 5 pertandingan. Indonesia lolos ke semifinal untuk menghadapi tetangga yang benci tapi rindu, Malaysia. Tim Harimau Malaya muda dikalahkan dengan skor tipis 1-0 melalui gol yang dibikin Bagus Kahfi melalui sepakan 12 pas.

Lawan Indonesia di final adalah Raja Asia Tenggara, Thailand. Kedua tim bermain imbang 1-1 sepanjang waktu normal plus perpanjangan waktu. Memasuki babak adu penalti, Indonesia berhasil menang dengan skor 4-3.

Indonesia tidak hanya berhasil menjadi yang terbaik. Bagus Kahfi juga menjadi pencetak gol terbaik selama kampanye dengan torehan 12 gol.

Berbagai ucapan selamat mengalir dari penjuru negeri. Tidak terkecuali dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).



Demikian tulis Jokowi melalui cuitan di Twitter. Anak-anak muda ini berhasil memberikan hadiah manis bagi bangsa Indonesia yang tidak lama lagi memperingati jadi ke-73.

Banyak pihak optimistis bahwa tim nasional U-16 merupakan cetak biru dari tim senior pada masa mendatang. Dengan tim yang kompak, solid, dan berbakat sejak usia, transformasi mereka menuju kedewasaan diharapkan konsisten sehingga melahirkan tim nasional senior yang tangguh di level Asia Tenggara. Bahkan mungkin saja Asia (kalau level dunia, nanti dulu lah).

Namun, segala sorotan dan puja-puji ini bisa menjadi bumerang bagi Tim Garuda Muda. Ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi bisa membuat mereka terbeban dan tidak bisa bermain lepas.

Jangan sampai pundak muda mereka keropos karena beban yang terlalu berat. Jangan sampai mereka layu sebelum berkembang.

Dalam sepakbola dunia, ada beberapa contoh pemain yang saat muda mendapat label the next big thing. Bahkan beberapa di antaranya mendapat gelar Pele Baru alias The Next Pele. Namun pemain-pemain ini justru berakhir tragis, karier mereka tidak menanjak dan berakhir agak menyedihkan.

Siapa saja mereka? Mari kita lihat contohnya.

Pertama adalah Nii Lamptey. Sekarang Lamptey sudah pensiun, karena umurnya sudah 43 tahun. Namun pada awal dekade 1990-an, nama Lamptey sudah beredar ke penjuru jagat.

Kali pertama Lamptey mencuri perhatian adalah pada turnamen Piala Dunia U-16 1989 di Skotlandia. Saat itu usianya masih belum genap 15 tahun. “Lamptey adalah penerus alami saya,” tegas Pele kala itu, dikutip dari Goal.

Well, Pele adalah pesepakbola terbaik sepanjang masa. Jadi perkataannya dianggap sebagai sabda yang ampuh.

Lamptey punya masa lalu yang kelam. Dia adalah korban keluarga yang berantakan, ayahnya yang pemabuk sering memukulinya.

Tidak jarang Lamptey tidak pulang ke rumah demi menghindari murka sang ayah yang seringkali tanpa sebab. Namanya juga pemabuk. Saat tidak pulang ini, Lamptey tidur di kolong mobil.

Sepakbola jadi pelarian Lamptey. Pendidikannya pun kacau-balau, bahkan Lamptey tidak bisa baca tulis alias buta huruf. Hal yang kemudian sangat disesalinya.

Setelah membawa The Black Star juara dunia U-17, Lamptey mendapat berbagai tawaran untuk bermain di Eropa. Namun Asosiasi Sepakbola Ghana tidak memberi lampu hijau. Mereka ingin Lamptey tetap bermain di Ghana dan membangun tim nasional dengan dia sebagai pusatnya. Asosiasi menahan paspor Lamptey.

Namun Lamptey tidak kurang akal. Dengan menyusup ke bagasi mobil, Lamptey melalanglang hingga sampai di Nigeria. Di sana, dia bertemu dengan agen Stephen Keshi, kapten tim nasional Nigeria.

Sang agen mempertemukannya dengan Keshi. Lalu Keshi memboyong Lamptey ke Belgia untuk menjalani latihan bersama klubnya, Anderlecht. Lamptey berhasil pergi karena Keshi menyebutkan dia adalah anaknya.

Di Anderlecht, Lamptey menunjukkan kualitas mumpuni. Anderlecht pun terpikat. Berkat Lamptey, terjadi perubahan di Belgia di mana batas usia pemain untuk menandatangi kontrak profesional diturunkan menjadi 16 tahun.

Pada musim pertamanya di Anderlecht, Lamptey lumayan sukses. Anak muda ini mampu mencetak 7 gol dalam 14 pertandingan.

Di sinilah masalah Lamptey dimulai. Terbuai dengan kesuksesan, dia memilih agen yang salah yaitu Antonio Caliendo yang juga mewakili pemain-pemain besar seperti Roberto Baggio dan Dunga. Namun terhadap Lamptey, Caliendo benar-benar memerasnya hingga titik darah penghabisan. Lamptey yang buta huruf tidak bisa memahami isi kontrak sehingga iya-iya saja.

Pada 1993, Caliendo membawa Lamptey ke Belanda untuk bermain bersama PSV Eindhoven. Di Negeri Kincir Angin, Lamptey semakin bertaji dan berhasil mencetak 10 gol dalam 22 laga.

Walau Lamptey bahagia, Caliendo memboyongnya ke Inggris. Kali ini, Lamptey harus bermain di Aston Villa. Ini dilakukan Caliendo demi mendapat cuan, karena dia akan memperoleh 25% dari biaya transfer Lamptey.

Di Inggris, Lamptey tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya 10 kali bermain bagi Aston Villa tanpa mencetak gol. Setelah itu, Lamptey menjadi journeyman, berkeliling ke berbagai klub dari Italia, Turki, Argentina, China, Uni Emirat Arab, sampai Afrika Selatan.

Di klub-klub itu, kemampuan Lamptey tidak pernah keluar karena memang tidak pernah bertahan lama. Semua karena nafsu Caliendo yang ingin mendapatkan uang dari biaya transfernya.

Karier Lamptey meredup pada usia yang masih sangat belia. Sejak 1996, kala masih berusia 22 tahun, Lamptey sudah tidak pernah dipanggil ke tim nasional Ghana.

Selepas pensiun, Lamptey membangun sekolah di Ghana untuk menolong anak-anak muda di sana agar tidak bernasib seperti dirinya. Lamptey pun tidak ingin anak-anak yang masih terlalu muda mendapat beban yang terlalu berat, apalagi sampai bermain ke luar negeri.

“Anak-anak seharusnya tidak meninggalkan Afrika pada usia seperti saya. Mereka sepatutnya bertahan di sini, menyelesaikan sekolah, dan menunggu sampai usia 18 atau 19 tahun sebelum menentukan masa depannya,” tegas Lamptey, mengutip Goal.

Sang suksesor Pele ini gagal memenuhi ekspektasi. Mungkin tidak sepenuhnya merupakan kesalahannya, mungkin karena dia harus menanggung beban yang berat pada usia yang masih sangat muda.


Contoh kedua adalah Anthony Vanden Borre. Bagi penikmati (atau pencandu) permainan Football Manager pada medio dekade 2000-an, pemain Belgia ini masuk kategori must buy. Wonderkid yang bisa bermain di berbagai posisi.

Vanden Borre seangkatan dengan Vincent Kompany. Namun dalam hal karier, keduanya jauh berbeda.

Memulai karier di Anderlecht bersama Kompany, Vanden Borre menjalani debut di tim senior pada usia 16 tahun. Bahkan awalnya Vanden Borre mendapat lebih banyak sorotan ketimbang Kompany.

“Vanden Borre adalah bakat terbaik yang pernah saya lihat,” ujar legenda Anderlecht Paul van Himst, dikutip dari situs UEFA.

Setelah empat musim di Anderlecht, Vanden Borre hijrah ke Italia untuk membela Fiorentina. Namun dia tidak bisa membuktikan kemampuannya. Dua tahun di Firenze, Vanden Borre cuma main dua kali.

Seperti Lamptey, Vanden Borre pun berubah menjadi journeyman. Kariernya di Eropa mentok di Montpellier (Prancis) dan sejak 2017 dia bermain di Kongo bersama TP Mazembe. Bahkan sebelum memutuskan berangkat ke Kongo, Vanden Borre sempat mengumumkan pensiun dari sepakbola.

Apa yang membuat karier Vanden Borre meredup? Banyak pihak menyebut sorotan pada usia muda membuat Vanden Borre besar kepala.

Dia sering cekcok dengan staf kepelatihan dan tidak fokus di lapangan. Vanden Borren muda lebih memperhatikan hal-hal di luar lapangan seperti koleksi mobil atau gaya rambut. Sindrom kebintangan (star sydrome) telah menjangkitinya.

“Uang menjadi hal terpenting dalam hidup saya, dan itu memalukan,” aku Vanden Borre, mengutip Reuters.

Vanden Borre menjadi contoh bagaimana ketenaran pada usia muda mengalihkan perhatian pesepakbola. Dia sendiri mengakui hal itu, dan sebaiknya memang tidak dicontoh para pemain muda.   Contoh ketiga adalah yang paling fenomenal. Contoh paling klasik, paling umum, kalau mau menggambarkan bagaimana sorotan pemain pada usia muda bisa berujung petaka.

Pemain itu bernama Freddy Adu. Sejak era Championship Manager pada awal dekade 2000-an, nama Adu adalah jaminan mutu. Pemain muda ini bisa diangkut dengan biaya ekonomis, dan dijamin menjadi key player yang membawa kita ke gelar demi gelar.

Adu memegang rekor termuda sebagai pemain yang menandatangani kontrak profesional di Liga Sepakbola Amerika Serikat (MLS) yaitu 14 tahun. Sama seperti Lampte, Adu juga memperoleh status The Next Pele.

Tidak hanya kontrak profesional bersama DC United, Adu pun banjir ikatan dengan berbagai produk. Salah satunya adalah Nike. Pada 2003, Adu menandatangani kontrak bersama Nike dengan nilai US$ 1 juta (Rp 14,48 miliar dengan kurs sekarang).

“Kami sangat yakin bahwa Freddy akan membawa gairah di sepakbola. Kami optimistis dengan masa depannya,” tegas Juru Bicara Nike Dave Mingey kala itu, mengutip Bleacher Report.

“Adu akan membawa hal yang sama kepada sepakbola AS seperti halnya Mia Hamm,” tegas Ivan Gadizis, Wakil Komisioner MLS, kala itu. Hamm adalah pesepakbola perempuan yang berhasil membawa tim Negeri Paman Sam juara dunia.

Namun sorotan pada usia belia lagi-lagi membuat Adu tidak bisa bermain lepas. Adu memang masih bisa berkontribusi lumayan saat membela DC United pada 2004-2006, dengan sumbangan 11 gol dari 87 pertandingan.

Namun selepas itu, Adu juga menjadi journeyman. Kariernya di Portugal, Prancis, Yunani, Serbia, Finlandia, sampai Brasil tidak ada yang eksepsional. Saat ini pada usianya yang masih 29 tahun, Adu bermain untuk Las Vegas Lights FC di Unted Soccer League (kompetisi kasta kedua di bawah MLS).

Kariernya yang semenjana ditengarai karena Adu tidak bisa fokus di lapangan. Adu lebih sering menghiasi halaman gosip ketimbang halam sepakbola. Seperti saat dia berpacaran dengan penyanyi JoJo.

Adu masih berusia 29 tahun, yang seharusnya menjadi periode emas seorang pesepakbola. Namun kesuksesan Adu terasa begitu jauh di belakang, yaitu pada usia 14 tahun.

Berbagai beban dan sorotan kamera membuatnya gamang. Status The Next Pele pun menguap.


Oleh karena itu, ada baiknya kita membiarkan pemuda-pemuda di tim nasional U-16 sendirian. Biarkan mereka fokus dengan pendidikan dan sepakbola tanpa dilabeli macam-macam. Sebab, beban yang terlalu berat belum bisa diemban tulang-tulang muda ini.

Jangan memberi ekspektasi berlebihan kepada mereka. Biarkan mereka tumbuh secara alami, karena memang kariernya masih panjang.

Indonesia pernah punya pengalaman dengan euforia tim nasional U-19 yang pada 2013 juga memenangi kejuaraan yang sama yaitu Piala AFF. Memang ada pemain-pemain yang masih bertahan dan bertaji hingga sekarang seperti Hansamu Yama Pranata, Ilham Udin Armaiyn, atau Evan Dimas Darmono. Namun ada pula yang memudar seperti Maldini Pali atau Hendra Sandi Gunawan. Beberapa di antaranya tidak bisa mentas menjadi pilar tim nasional senior.

Masa depan tim nasional U-16 masih panjang. Mereka masih sangat bisa berkembang dari sisi teknik, fisik, maupun mental. Jangan sampai perkembangan itu terhambat karena berbagai faktor non-teknis. Jangan sampai perhatian mereka teralihkan karena sorotan kamera.

Sekarang, biarkan mereka sendiri untuk menikmati sepakbola...

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular