
Pertumbuhan Ekonomi RI Melesat, Tapi Ada Ancaman Stagnasi
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
09 August 2018 10:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia kuartal II-2018 tumbuh sebesar 5,27% secara tahunan (YoY), terjadi peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya mencatatkan pertumbuhan 5,06%. Namun, capaian ini masih lebih rendah dari target APBN 2018 sebesar 5,4%.
Raihan kinerja perekonomian yang cukup mengejutkan ini terjadi di tengah kelesuan sektor riil.
Momentum musiman bulan puasa dan lebaran, pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 daerah, dan percepatan realisasi belanja pemerintah menjadi kontributor utama terjadinya peningkatan pertumbuhan.
Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) menilai dari capaian ini terdapat sejumlah paradoks atas kinerja variabel makro ekonomi yang menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Lembaga ini mempertanyakan akankah momentum kenaikan ini berlanjut di dua triwulan berikutnya, atau ini adalah titik tertinggi yang bisa dicapai pada 2018.
Berikut evaluasi dan catatan INDEF atas capaian pertumbuhan ekonomi triwulan II 2018.
1. Kegagalan Stimulus Fiskal
Ekonom Indef Enny Sri Hartati menilai stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah untuk menggenjot perekonomian dianggap gagal karena beberapa sektor pada kuartal II mengalami penurunan.
Realisasi belanja APBN Triwulan II 2018 mencapai Rp 523,70 triliun (23,58%). Bahkan realisasi Bansos triwulan II-2018 27,19 triliun, naik 67,57% dibandingkan dengan triwulan Il-2017. Juga ditambah Tunjangan Hari Raya (THR) pegawai negeri sipil.
Pada triwulan II 2018 belanja pemerintah tumbuh 5,26%, sehingga kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi naik dari 6,31% pada triwulan I menjadi 8,5% pada triwulan ll 2018.
"Sayangnya akselerasi belanja Pemerintah tersebut hanya berdampak pada peningkatan sektor konsumtif (konsumsi rumah tangga). Sementara sektor produktif (investasi) justru mengalami penurunan, baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya," kata Enny.
PMTB pada triwulan I 2018 tumbuh 7,95%, dengan kontribusi 32,12%. Namun pada Triwulan II 2018, hanya tumbuh 5,87% dan kontribusinya turun menjadi 31,15%.
Sektor produktif dalam negeri, terutama sektor industri manufaktur non migas justru melorot, dari 5,07% ke 4,41%. Secara keseluruhan pertumbuhan sektor industri anjlok hanya 3,9% pada triwulan II.
"Artinya, dampak dari peningkatan belanja Pemerintah hanya berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga dari 4,95% pada triwulan I 2018, menjadi 5,14% pada triwulan II 2018. Termasuk ditopang oleh momentum lebaran dengan adanya THR dan Pilkada," kata dia.
2. Industri Prioritas Tumbuh Terbatas
Pertumbuhan lima sektor industri prioritas pemerintah seperti industri makanan dan minuman, industri otomotif serta tekstil dan pakaian jadi turun jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Sementara industri elektronik dan farmasi mencatatkan perlambatan jika dibandingkan dengan triwulan II tahun lalu. Ini dinilai disebabkan oleh dua hal.
Pertama, libur panjang menghentikan proses produksi domestik. Cuti bersama yang terlalu panjang menghentikan kegiatan produksi sementara. Industri makanan dan minuman, otomotif serta tekstil dan pakaian jadi, menggunakan tenaga kerja lebih banyak dari industri sehingga libur lebaran turut andil dalam menghentikan sementara proses produksi.
Kedua, depresiasi rupiah menekan produksi. Industri elektronik dan farmasi menggunakan bahan impor besar sehingga ketika rupiah tertekan akan membuat mahalnya biaya produksi di sektor tersebut.
Tingginya impor dan lemahnya ekspor menyebabkan neraca perdagangan pada triwulan II 2018 defisit US$ 1,02 miliar. Untuk pertama kalinya sejak 2014, peranan neraca perdagangan menjadi faktor yang mereduksi pertumbuhan ekonomi di periode ini, dimana pangsanya 0,52%. Padahal pada triwulan I 2018, neraca perdagangan masih berperan positif bagi pertumbuhan ekonomi (0,33%).
4. Ancaman Stagnasi pada Semester II 2018
Indef menilai pada semester II akan hilang "kemewahan" mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Puasa dan Lebaran sesungguhnya momentum musiman yang cukup ampuh untuk menggenjot kinerja dunia usaha. Namun seiring stimulus fiskal yang minim menyentuh sisi produksi dan lebih berdampak pada sisi konsumsi (THR, Bansos) membuat efek pengganda yang dihasilkan tidak optimal.
"Pertumbuhan ekonomi meningkat, namun sektor riil sebagai penopang utama penyerapan tenaga kerja tidak menggeliat," jelas Enny.
Besarnya akumulasi inventori yang tersimpan di Gudang pada triwulan ll 2018, sekaligus memberikan sinyal ekspektasi dunia usaha kedepan. Terlihat dari Indeks Tendensi Bisnis (ITB) triwulan III 2018 mengalami penurunan cukup drastis, dari sebesar 112,82 menjadi 106,05
Demikian juga Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Triwulan III 2018 juga turun drastis dari Ekspektasi Prompt Manufacturing Index (PMI) turun menjadi 51,81% dengan SBT juga turun menjadi 3,43% dari 3,96%.
Padahal ia menilai sektor industri pengolahan merupakan penopang utama atau prime mover perekonomian. Ketika sektor industri hanya tumbuh 3,97% dan industri non-migas hanya 4,41% maka akan sulit diharapkan terjadinya akselerasi pertumbuhan ekonomi.
(prm) Next Article Ekonom : Perang Dagang Perburuk Makro Ekonomi Global
Raihan kinerja perekonomian yang cukup mengejutkan ini terjadi di tengah kelesuan sektor riil.
Momentum musiman bulan puasa dan lebaran, pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 daerah, dan percepatan realisasi belanja pemerintah menjadi kontributor utama terjadinya peningkatan pertumbuhan.
Berikut evaluasi dan catatan INDEF atas capaian pertumbuhan ekonomi triwulan II 2018.
1. Kegagalan Stimulus Fiskal
Ekonom Indef Enny Sri Hartati menilai stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah untuk menggenjot perekonomian dianggap gagal karena beberapa sektor pada kuartal II mengalami penurunan.
Realisasi belanja APBN Triwulan II 2018 mencapai Rp 523,70 triliun (23,58%). Bahkan realisasi Bansos triwulan II-2018 27,19 triliun, naik 67,57% dibandingkan dengan triwulan Il-2017. Juga ditambah Tunjangan Hari Raya (THR) pegawai negeri sipil.
Pada triwulan II 2018 belanja pemerintah tumbuh 5,26%, sehingga kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi naik dari 6,31% pada triwulan I menjadi 8,5% pada triwulan ll 2018.
"Sayangnya akselerasi belanja Pemerintah tersebut hanya berdampak pada peningkatan sektor konsumtif (konsumsi rumah tangga). Sementara sektor produktif (investasi) justru mengalami penurunan, baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya," kata Enny.
PMTB pada triwulan I 2018 tumbuh 7,95%, dengan kontribusi 32,12%. Namun pada Triwulan II 2018, hanya tumbuh 5,87% dan kontribusinya turun menjadi 31,15%.
Sektor produktif dalam negeri, terutama sektor industri manufaktur non migas justru melorot, dari 5,07% ke 4,41%. Secara keseluruhan pertumbuhan sektor industri anjlok hanya 3,9% pada triwulan II.
"Artinya, dampak dari peningkatan belanja Pemerintah hanya berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga dari 4,95% pada triwulan I 2018, menjadi 5,14% pada triwulan II 2018. Termasuk ditopang oleh momentum lebaran dengan adanya THR dan Pilkada," kata dia.
2. Industri Prioritas Tumbuh Terbatas
Pertumbuhan lima sektor industri prioritas pemerintah seperti industri makanan dan minuman, industri otomotif serta tekstil dan pakaian jadi turun jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Sementara industri elektronik dan farmasi mencatatkan perlambatan jika dibandingkan dengan triwulan II tahun lalu. Ini dinilai disebabkan oleh dua hal.
Pertama, libur panjang menghentikan proses produksi domestik. Cuti bersama yang terlalu panjang menghentikan kegiatan produksi sementara. Industri makanan dan minuman, otomotif serta tekstil dan pakaian jadi, menggunakan tenaga kerja lebih banyak dari industri sehingga libur lebaran turut andil dalam menghentikan sementara proses produksi.
Kedua, depresiasi rupiah menekan produksi. Industri elektronik dan farmasi menggunakan bahan impor besar sehingga ketika rupiah tertekan akan membuat mahalnya biaya produksi di sektor tersebut.
3. Kontribusi Neraca Perdagangan Semakin Pudar
Tingginya impor dan lemahnya ekspor menyebabkan neraca perdagangan pada triwulan II 2018 defisit US$ 1,02 miliar. Untuk pertama kalinya sejak 2014, peranan neraca perdagangan menjadi faktor yang mereduksi pertumbuhan ekonomi di periode ini, dimana pangsanya 0,52%. Padahal pada triwulan I 2018, neraca perdagangan masih berperan positif bagi pertumbuhan ekonomi (0,33%).
4. Ancaman Stagnasi pada Semester II 2018
Indef menilai pada semester II akan hilang "kemewahan" mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Puasa dan Lebaran sesungguhnya momentum musiman yang cukup ampuh untuk menggenjot kinerja dunia usaha. Namun seiring stimulus fiskal yang minim menyentuh sisi produksi dan lebih berdampak pada sisi konsumsi (THR, Bansos) membuat efek pengganda yang dihasilkan tidak optimal.
"Pertumbuhan ekonomi meningkat, namun sektor riil sebagai penopang utama penyerapan tenaga kerja tidak menggeliat," jelas Enny.
Besarnya akumulasi inventori yang tersimpan di Gudang pada triwulan ll 2018, sekaligus memberikan sinyal ekspektasi dunia usaha kedepan. Terlihat dari Indeks Tendensi Bisnis (ITB) triwulan III 2018 mengalami penurunan cukup drastis, dari sebesar 112,82 menjadi 106,05
Demikian juga Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Triwulan III 2018 juga turun drastis dari Ekspektasi Prompt Manufacturing Index (PMI) turun menjadi 51,81% dengan SBT juga turun menjadi 3,43% dari 3,96%.
Padahal ia menilai sektor industri pengolahan merupakan penopang utama atau prime mover perekonomian. Ketika sektor industri hanya tumbuh 3,97% dan industri non-migas hanya 4,41% maka akan sulit diharapkan terjadinya akselerasi pertumbuhan ekonomi.
(prm) Next Article Ekonom : Perang Dagang Perburuk Makro Ekonomi Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular