'Power Rangers' dan Perjuangan Demi Papua Terang

Tito Bosnia, CNBC Indonesia
06 August 2018 13:24
'Power Rangers' dan Perjuangan Demi Papua Terang
Foto: aristya rahadian krisabella
Nabire, CNBC Indonesia- Butuh 5 pemuda untuk mengalahkan satu monster raksasa, tapi untuk melistriki desa-desa di Papua butuh ratusan pemuda yang tak cuma bermodal keberanian, tapi juga keahlian, pengorbanan, dan semangat tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 3518 desa di Provinsi Papua yang belum terlistriki dan 1.500 desa di Papua Barat. "Tapi kalau data dari Kementerian Dalam Negeri itu jumlahnya mencapai 7000 desa," ujar Kepala Divisi Pengembangan Regional Maluku dan Papua PT PLN (Persero) Eman Prijono Wasito, di kantor Rayon PLN Nabire, Kamis (2/8/2018).



PT PLN (Persero) sendiri menargetkan untuk melistriki 1200 desa hingga akhir tahun 2018, dengan begitu rasio elektrifikasi atau tingkat akses listrik yang dialirkan di Papua mencapai 99%. Dari 1200 desa ini, pelanggan yang disasar mencapai 110 ribu rumah tangga.

Tapi, melistriki 1200 desa bukan perkara mudah dan tak bisa digarap PLN sendiri. Butuh survei yang mendalam ke para penduduk, juga tenaga-tenaga prima yang bisa menghadapi alam Papua yang penuh tantangan.

Untuk itu, PLN memboyong 165 mahasiswa dari lima perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Universitas Cenderawasih (Uncen) melakukan ekspedisi dan survei ke sekitar 416 desa di wilayah Papua.

Survei yang merupakan bagian dari Pogram Papua Terang tersebut akan dilakukan selama dua bulan kedepan (Agustus-September) yang akan disebar ke 5 posko utama yaitu Posko Jayapura, Posko Wamena, Posko Nabire, Posko Timika dan Posko Merauke.

Tim ekspedisi Papua Terang tjuga dibantu oleh pihak personil TNI ntuk memberikan edukasi kepada masyarakat Papua dan menjalankan survei yang mencakup survei data desa, survei potensi energi baru dan terbarukan hingga survei pembangunan sistem kelistrikan desa.

Tim akan menyesuaikan pembangkit listrik yang tepat untuk digunakan bagi desa tersebut mulai dari tenaga diesel (PLTD), tenaga surya (PLTS) hingga tenaga pico hidro (PLTPH).

Para mahasiswa dan relawan pun buka suara soal ketersediaan mereka terjun ke Papua dalam hitungan bulan. Salah satu alasannya adalah rasa kepedulian terhadap sesama saudara yang ada di Papua hingga kecintaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi alasan utama para relawan tersebut untuk ikut dalam program menerangi Papua.

"Sebagai mahasiswa ini mungkin menjadi salah satu bakti saya untuk negeri, saya juga udah dapat restu dari orang tua serta dosen-dosen untuk bisa ikut dalam program ini," ujar Siti salah satu mahasiswi dari ITB.

Selain itu, para mahasiswa juga ikut andil dalam program Papua Terang sebagai bagian dari pengalaman barunya untuk dapat berinteraksi langsung dengan warga lokal di pedalaman serta melihat secara langsung kondisi warga Papua di pedalaman.

"Saya ingin ikut serta dalam pembangunan yang ada di Papua ini gitu," tambah Abad, relawan lainnya yang ada di ITB. Untuk tambahan informasi, rasio elektrifikasi di kawasan Papua saat ini yaitu sekitar 86,28% untuk Papua Barat dan 44,5% untuk Provinsi Papua.

Untuk tahun ini, menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN nilai investasi yang direncanakan untuk menerangi desa-desa di Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai Rp 1,5 triliun, dengan target elektrifikasi dilakukan ke 1.200 desa. Dalam ekspedisi yang masuk dalam program Papua Terang tersebut, PLN setidaknya mengeluarkan biaya investasi sebesar Rp 1,7 miliar untuk tiap-tiap titik ekspedisi.
Rombongan ekspedisi Papua Terang berangkat dari Jakarta ke lima posko wilayah masing-masing, dalam kesempatan tersebut CNBC Indonesia berkesempatan untuk mendatangi sejumlah desa di posko Nabire Papua Barat.

Desa pertama yang didatangi dan belum teraliri oleh listrik ialah desa (distrik) Mury/Uray di Kabupatan Kaimana Papua Barat. Untuk menuju desa tersebut, para ranger dengan misi kelistrikan ini  harus menempuh perjalanan darat hingga 10 jam dari Kota Nabire.

Perjalanan ke desa tersebut harus melalui pos distrik terdekat yaitu Distrik Yamor dengan menempuh perjalanan selama 6 jam dengan kondisi jalan yang ekstrim, lalu dilanjutkan ke Desa Mury dengan jarak perjalanan darat selama 4 jam. Di tengah perjalanan, rombongan sering terhenti dengan berbagai permasalahan jalur yang sulit dilewati karena berlumpur hingga menunggu truk-truk yang tersendat akibat media jalan yang hanya terdiri dari satu jalur serta kondisi jalan yang licin dan basah.

Sesampainya di Desa Mury, tim ekspedisi cukup dikagetkan dengan wilayah desa yang sangat rapi, teratur hingga makmurnya warga desa dengan kendaraan bermotor yang dimiliki oleh warga desa. Namun, satu yang tidak dimiliki warga desa tersebut ialah aliran listrik ke rumah-rumah mereka. Listrik hanya terdapat pada rumah Kepala Desa yang memiliki mesin diesel (genset diesel) dan hanya digunakan untuk menerangi rumah pemimpin tertinggi di desa terebut.



"Desa ini termasuk yang paling makmur bahkan dibandingkan dengan distrik Yamor yang telah diterangi listrik, hal tersebut didukung dengan aktivitas logging (perusahaan kayu) sehingga warga ikut kecipratan (makmur)", ujar salah satu pemandu tim ekspedisi.

Sesampainya di desa yang terdiri dari 30 kepala keluarga (KK) tersebut, pihak PLN dan para mahasiswa selanjutnya melakukan survei dan memutuskan bahwa desa tersebut nantinya akan dialiri oleh listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berlokasi di salah satu lahan desa.

Warga desa melalui musyawarah kampung juga setuju dan sangat terbuka dengan rencana pemerintah tersebut dan diakhiri dengan penunjukkan salah satu lokasi lahan yang disediakan untuk pembangunan PLTD. Perjalanan berlanjut, ke distrik Topo, Gameijaya dan Uwapa yang berlokasi di Kabupaten Nabire Papua Barat.

Ketiga distrik tersebut berjarak hanya sekitar 1,5 jam dari Kota Nabire namun akses listrik masih belum dirasakan oleh warga setempat yang terdiri dari ratusan rumah dan kepala keluarga (KK).
Akses jalan menuju lokasi tersebut tidak sesulit desa sebeumnya (Mury/Uray), namun tim juga harus melewati jalan yang masih belum beraspal dan struktur tanah yang bergelombang untuk mencapai ketiga desa tersebut.

Distrik-distrik tersebut memiliki kondisi sosial yang cukup terbuka, mengingat banyaknya warga transmigran yang bermukim. Dalam perjalanan yang didampingi oleh Kepala Divisi Pengembangan Regional Maluku dan Papua PLN Eman Prijono Wasito tersebut disertai dengan peninjauan pembangkit listrik yang nantinya akan dibuat hingga musyawarah desa dalam penetapan lokasi pembangkit listrik. "Untuk lokasi di desa ini mungkin PLN akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) karena wilayah yang luas dan langsung disinari matahari," ujar Eman.

Sedangkan, untuk pengadaan lahan para warga secara cuma-cuma akan memberikan lahannya kepada pihak PLN untuk keperluan penempatan pembangkit listrik. Hal tersebut didorong dengan keinginan warga yang sangat tinggi dengan penyediaan akses listrik. “Kami tidak masalah dengan itu, yang penting listrik ada sudah lama kami tidak ada listrik,” ujar salah satu kepala desa disetujui oleh masyarakat sekitar.
 
Tantangan terberat penyaluran listrik di Papua ialah akses dan medan yang sulit. Wilayah desa atau di Papua (distrik) yang belum teraliri listrik tidak bisa ditempuh langsung, yang paling ringan dilakukan dengan perjalanan darat melewati jalur yang ekstrim, menggunakan helikopter hingga melakukan perjalanan dengan berjalan kaki.

Sementara itu, Manajer UPPK PLN Papua Barat Yohanis Soedarmono manambahkan setelah proses survei yang sulit, pemenuhan produk-produk kelistrikan mulai dari tiang hingga penyambungan kabel elektrifikasi menjadi tantangan berikutnya. Biasanya, tiang-tiang listrik akan dipotong dan dibawa menggunakan transportasi udara untuk selanjutnya di sambung kembali saat tiba di lokasi.

Proses tersebut menjadi salah satu tingginya biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk penyaluran listrik di Papua yang lebih tinggi tiga kali lipat dari wilayah lainnya di luar Papua.
“Nanti orang pabrik itu melakukan pemotongan tiang, habis itu nanti orang-orang pabrik datang lagi ke medan tersebut untuk menyambung,” ungkap Yohanis.

Sementara itu, Kepala Divisi Pengembangan Regional Maluku dan Papua PLN Eman Prijono Wasito mengatakan bahwa biaya investasi penerangan dengan jaringan tegangan rendah (JTR) sejauh 2 kilometer di desa terpencil di Papua mencapai Rp 3,5 miliar hanya untuk beberapa rumah.

Sedangkan bila di Pulau Jawa, PLN hanya membutuhkan investasi sekitar Rp 1 juta per rumah dengan akumulasi puluhan rumah yang terlistriki dengan JTR yang sama, "Di Jawa 11 meter saja sudah berapa rumah yang bisa tersambung listrik, karena di Pulau Jawa mereka sudah ada sambungan listrik. Kalau di Papua sistem kelistrikan itu tidak tersambung," ujar Eman.

Setelah mengeluarkan biaya yang besar saat melakukan elektrifikasi, PLN juga harus mengeluarkan biaya investasi yang tinggi untuk biaya operasional penerangan. Rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan untuk mengaliri listrik di Papua mencapai Rp 1.820 per kwh (kilowatt-hour) untuk Papua Barat dan bervariasi antara Rp 2.500 - Rp 3.000 per kwh untuk provinsi di Papua. Sedangkan harga jual hanya senilai Rp 1.266 per kwh bagi tiap pelanggan di lokasi tersebut.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular