
Riwayat TPPI, Kilang 'Mati Suri' yang Penuh Potensi
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
31 July 2018 10:14

Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah berencana untuk menghidupkan kembali dan mengoptimalkan kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), yang bisa disebut 'mati suri' sejak dua tahun terakhir.
"Pada dasarnya kami ingin aset ini bisa produktif, selama ini kan sangat.. ada yang disebut warisan masa lalu. Ada utang dari pihak lain, yang kemudian dikonversi menjadi multi-year bond itu," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, ketika dijumpai usai melakukan rapat koordinasi terkait kilang TPPI, di Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (30/7/2018).
Ia menjelaskan, pemerintah pertama-tama ingin menyehatkan kondisi keuangan kilang terlebih dulu yang terbelit utang-piutang. Setelah itu, kilang baru dioptimalkan kinerjanya dengan melakukan beberapa keputusan untuk membereskannya.
Sebagai informasi, kilang yang dibangun dengan modal Rp 4,4 triliun ini sempat mati suri bertahun-tahun akibat utang yang bertumpuk. Pemerintah bahkan sampai campur tangan untuk restrukturisasi utang TPPI yang diakibatkan dari aksi korporasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemegang sahamnya saat itu, Tirtamas Group yang dimiliki oleh Honggo Wendratno, yang kini menjadi buron.
TPPI bisa dibilang bikin repot banyak institusi pemerintah, salah satunya adalah PT Pertamina (Persero) yang diketahui memiliki piutang senilai US$ 500 juta di TPPI, dan dua kali TPPI dinyatakan gagal bayar utang (default) tersebut ke Pertamina.
Ketika Pertamina menjatuhkan default kepada TPPI, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) bisa menjatuhkan cross default kepada Tuban Petro. Dengan cross default itu, TPPI menjadi milik PPA (Menteri Keuangan) dan Pertamina. Selanjutnya tinggal diatur siapa pemiliknya, karena Pertamina dan PPA sama-sama milik negara.
Rumitnya Utang Piutang TPPI
Begini, PPA adalah Perusahaan Pengelola Aset, sebuah BUMN yang menjadi penerus tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Selama ini, PPA mengurusi utang Tirtamas Group yang awalnya dimiliki tiga sekawan: Honggo Wendratno, Hashim Djojohadikusumo, dan Al Njoo. Sebagai jaminan utang, Honggo cs menyerahkan tiga perusahaan, yakni TPPI, Petro Oxo Nusantara (PON), dan Polytama Propindo. Di TPPI, Honggo menjadi presiden direktur.
Tiga perusahaan jaminan itu diikat dalam sebuah holding company bernama Tuban Petrochemicals Industries (Tuban Petro). Di Tuban Petro, Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah memiliki 70% saham. Sedangkan Honggo cs memiliki 30% saham lewat Sila Kencana Lestari.
Tuban Petro kemudian menerbitkan multi-years bond (MYB) atau surat utang jangka panjang yang harus ditebus Honggo cs paling telat pada 2014. Selama utang belum dilunasi, pemerintah mendapat dividen dari hasil produksi TPPI, PON, dan Polytama. Besarnya dividen yang didapat pemerintah sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki.
Sehingga, manakala Honggo cs tak bisa menebus MYB pada saat jatuh tempo, pemerintah akan menyita TPPI, PON, dan Polytama yang jadi jaminan utang.
Jika skenario tersebut berjalan lancar, pemerintah semestinya juga menerima bunga kupon obligasi sebesar 1%. Bila Honggo melunasi utang pada 2014, pemerintah mendapat bonus 25% saham Tuban Petro. Bila Honggo melunasi utang sebelum 2014, pemerintah mendapat bonus 20% saham Tuban Petro.
Tetapi, nyatanya skenario itu tidak berjalan seperti yang diharapkan, dan saat ini, nasib kilang masih menggantung.
Kendati demikian, potensi kilang TPPI memang tidak bisa diremehkan.
Berdasarkan data dari Pertamina di 2015, dalam pemaparan manajemen PT Pertamina (Persero) kepada Presiden RI Joko Widodo dalam kunjungan kerjanya di TPPI Tuban, 11 November 2015 disebutkan, TPPI dapat menghasilkan sekitar 61.000 barel per hari Premium, 10.000 barel per hari HOMC, dan 11.500 barel per hari Solar.
TPPI juga memproduksi LPG hingga 480 metrik ton per hari. TPPI dapat mengolah sekitar 100 ribu barel per hari kondensat dan atau naphta.
Dari pengolahan bahan baku dengan mode mogas, akan diperoleh beberapa produk minyak, seperti LPG, Solar, Fuel Oil, Premium, dan HOMC. Apabila dioperasikan dengan aromatic mode, TPPI dapat memproduksi petrochemical, seperti paraxylene, Orthoxylene, Benzene, dan Toluene yang dibutuhkan oleh industri nasional.
Sehingga, jika kilang TPPI dioperasikan, maka akan menghemat devisa sebesar US$ 2,2 miliar setahun dari pengurangan impor BBM dan LPG. Pertamina juga menilai, pengoperasian kembali TPPI juga memonetisasi investasi sebesar US$ 2,15 miliar yang ditanamkan sebelumnya.
(gus/gus) Next Article Pemerintah Target Kilang TPPI Bisa Jalan Tahun Ini
"Pada dasarnya kami ingin aset ini bisa produktif, selama ini kan sangat.. ada yang disebut warisan masa lalu. Ada utang dari pihak lain, yang kemudian dikonversi menjadi multi-year bond itu," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, ketika dijumpai usai melakukan rapat koordinasi terkait kilang TPPI, di Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (30/7/2018).
Sebagai informasi, kilang yang dibangun dengan modal Rp 4,4 triliun ini sempat mati suri bertahun-tahun akibat utang yang bertumpuk. Pemerintah bahkan sampai campur tangan untuk restrukturisasi utang TPPI yang diakibatkan dari aksi korporasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemegang sahamnya saat itu, Tirtamas Group yang dimiliki oleh Honggo Wendratno, yang kini menjadi buron.
TPPI bisa dibilang bikin repot banyak institusi pemerintah, salah satunya adalah PT Pertamina (Persero) yang diketahui memiliki piutang senilai US$ 500 juta di TPPI, dan dua kali TPPI dinyatakan gagal bayar utang (default) tersebut ke Pertamina.
Ketika Pertamina menjatuhkan default kepada TPPI, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) bisa menjatuhkan cross default kepada Tuban Petro. Dengan cross default itu, TPPI menjadi milik PPA (Menteri Keuangan) dan Pertamina. Selanjutnya tinggal diatur siapa pemiliknya, karena Pertamina dan PPA sama-sama milik negara.
Rumitnya Utang Piutang TPPI
Begini, PPA adalah Perusahaan Pengelola Aset, sebuah BUMN yang menjadi penerus tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Selama ini, PPA mengurusi utang Tirtamas Group yang awalnya dimiliki tiga sekawan: Honggo Wendratno, Hashim Djojohadikusumo, dan Al Njoo. Sebagai jaminan utang, Honggo cs menyerahkan tiga perusahaan, yakni TPPI, Petro Oxo Nusantara (PON), dan Polytama Propindo. Di TPPI, Honggo menjadi presiden direktur.
Tiga perusahaan jaminan itu diikat dalam sebuah holding company bernama Tuban Petrochemicals Industries (Tuban Petro). Di Tuban Petro, Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah memiliki 70% saham. Sedangkan Honggo cs memiliki 30% saham lewat Sila Kencana Lestari.
Tuban Petro kemudian menerbitkan multi-years bond (MYB) atau surat utang jangka panjang yang harus ditebus Honggo cs paling telat pada 2014. Selama utang belum dilunasi, pemerintah mendapat dividen dari hasil produksi TPPI, PON, dan Polytama. Besarnya dividen yang didapat pemerintah sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki.
Sehingga, manakala Honggo cs tak bisa menebus MYB pada saat jatuh tempo, pemerintah akan menyita TPPI, PON, dan Polytama yang jadi jaminan utang.
Jika skenario tersebut berjalan lancar, pemerintah semestinya juga menerima bunga kupon obligasi sebesar 1%. Bila Honggo melunasi utang pada 2014, pemerintah mendapat bonus 25% saham Tuban Petro. Bila Honggo melunasi utang sebelum 2014, pemerintah mendapat bonus 20% saham Tuban Petro.
Tetapi, nyatanya skenario itu tidak berjalan seperti yang diharapkan, dan saat ini, nasib kilang masih menggantung.
Kendati demikian, potensi kilang TPPI memang tidak bisa diremehkan.
Berdasarkan data dari Pertamina di 2015, dalam pemaparan manajemen PT Pertamina (Persero) kepada Presiden RI Joko Widodo dalam kunjungan kerjanya di TPPI Tuban, 11 November 2015 disebutkan, TPPI dapat menghasilkan sekitar 61.000 barel per hari Premium, 10.000 barel per hari HOMC, dan 11.500 barel per hari Solar.
TPPI juga memproduksi LPG hingga 480 metrik ton per hari. TPPI dapat mengolah sekitar 100 ribu barel per hari kondensat dan atau naphta.
Dari pengolahan bahan baku dengan mode mogas, akan diperoleh beberapa produk minyak, seperti LPG, Solar, Fuel Oil, Premium, dan HOMC. Apabila dioperasikan dengan aromatic mode, TPPI dapat memproduksi petrochemical, seperti paraxylene, Orthoxylene, Benzene, dan Toluene yang dibutuhkan oleh industri nasional.
Sehingga, jika kilang TPPI dioperasikan, maka akan menghemat devisa sebesar US$ 2,2 miliar setahun dari pengurangan impor BBM dan LPG. Pertamina juga menilai, pengoperasian kembali TPPI juga memonetisasi investasi sebesar US$ 2,15 miliar yang ditanamkan sebelumnya.
(gus/gus) Next Article Pemerintah Target Kilang TPPI Bisa Jalan Tahun Ini
Most Popular