Cabut Kebijakan DMO, Jalan Singkat Selamatkan Rupiah
28 July 2018 09:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat terhadap rupiah dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bikin pusing pemerintahan Joko Widodo. Pasalnya, bila masalah ini tidak diselesaikan bisa mengakibatkan masalah yang lebih besar pada perekonomian.
Sejumlah obat kuat mulai diusahakan pemerintah. Salah satunya dengan menggenjot ekspor dan menambah devisa. Cara yang dipilih pemerintah untuk hal ini dengan mencabut aturan Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memasok batu bara dalam kuota tertentu .
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dengan pencabutan DMO skema pasokan batu bara ke depan akan diberlakukan seperti skema kelapa sawit, yakni ada serap dana untuk cadangan energi yang nantinya akan dimanfaatkan untuk subsidi PLN, sebagai pengguna batu bara.
"Jadi kalau kita jual nanti bisa dapat lebih bagus US$ 5 miliar. Produksi segitu saja kita sudah dapat segitu, iyalah dalam setahun, jadi itu berdampak baik terhadap current account defisit kita, jadi nanti kalau diperbaiki biodiesel juga digunakan PSO dan non PSO kita juga akan dapat US$ 15 miliar, jadi CAD tidak defisit dan rupiah stabil," papar Luhut, Jumat (27/7/2018).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pencabutan DMO ini merupakan langkah serius pemerintah untuk menambah devisa negara. Dengan devisa negara masuk, mampu mengurangi defisit transaksi berjalan.
Luhut menambahkan rencana pencabutan DMO dilanjut dengan rapat terbatas pada Selasa depan. "Intinya kami mau cabut DMO itu seluruhnya, jadi nanti akan diberikan US$ 2-3 per ton untuk...(pungutan ekspor) seperti sawit," kata Luhut, Jumat (27/7/2018).
Soal alasan mengapa pemerintah memutuskan untuk mencabut DMO batu bara, Luhut pun mengatakan, kebijakan ini dipertimbangkan setelah pemerintah melihat perkembangan dan masukan dari pasar. "Kami evaluasi dan kami lihat ini yang terbaik," katanya.
Menurutnya skema DMO dan pembatasan harga selama ini juga tidak begitu efektif, karena rata-rata produksi batu bara masuk dalam kategori kalori tinggi yakni sekitar 5000 kalori. Sementara yang dibutuhkan oleh PLN adalah kalori rendah.
"Akhirnya ada beli beli kuota (transfer kuota). Nantinya tidak akan bagus, pasti ada trading-trading tidak jelas," kata dia.
Untuk itu akan diberlakukan skema tarif sekitar US$ 2 - 3 per ton. Hasil dari tarif ini nanti akan dikelola oleh suatu institutusi di bawah Kementerian Keuangan dan dimanfaatkan untuk PLN.
Dengan diberikannya kelonggaran ini, otomatis pemerintah memberikan lampu hijau bagi para produsen untuk menambah produksinya. Tahun ini, kuota produksi batu bara direncanakan sebesar 485 juta ton. "Kami naikkan sedikit ya 100 juta ton, ya kira-kira segitu," kata Luhut.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, pihaknya menyambut baik usulan tersebut. Pasalnya, usulan tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pengusaha batubara.
"Ini positif, kami mengapresiasi, sebab penetapan harga US$ 70 per ton itu kan memang terbukti banyak merugikan, baik dari segi perusahaan, negara, bahkan PLN sendiri, karena sering terkendala," ujar Hendra.
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan adanya skema pungutan pun akan lebih adil. Sebab, tidak semua pengusaha batubara bisa memenuhi kewajiban tersebut, dan ada juga pengusaha yang 'nakal' tidak memasok sesuai ketetapan karena harga batu bara sedang tinggi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan, Benny Soetrisno, mengatakan langkah pemerintah ini sudah bisa diprediksi, karena memang batu bara bisa jadi jalan singkat untuk selamatkan rupiah.
Benny mengakui dengan kebijakan ini nantinya pemerintah akan dapat tambahan masukan miliaran dolar dalam waktu singkat. Misal harga batu bara US$ 100 per ton, jika kuota ekspor ditambah 100 juta, maka tambahan yang bisa dikantongi pemerintah adalah US$ 10 miliar.
Tetapi, kebijakan ini bukan berarti tidak ada kompensasi dan risikonya. "Kehancuran lingkungan bekas tambang batu bara juga bertambah," kata Benny.

(roy/roy)
Sejumlah obat kuat mulai diusahakan pemerintah. Salah satunya dengan menggenjot ekspor dan menambah devisa. Cara yang dipilih pemerintah untuk hal ini dengan mencabut aturan Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memasok batu bara dalam kuota tertentu .
"Jadi kalau kita jual nanti bisa dapat lebih bagus US$ 5 miliar. Produksi segitu saja kita sudah dapat segitu, iyalah dalam setahun, jadi itu berdampak baik terhadap current account defisit kita, jadi nanti kalau diperbaiki biodiesel juga digunakan PSO dan non PSO kita juga akan dapat US$ 15 miliar, jadi CAD tidak defisit dan rupiah stabil," papar Luhut, Jumat (27/7/2018).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pencabutan DMO ini merupakan langkah serius pemerintah untuk menambah devisa negara. Dengan devisa negara masuk, mampu mengurangi defisit transaksi berjalan.
Luhut menambahkan rencana pencabutan DMO dilanjut dengan rapat terbatas pada Selasa depan. "Intinya kami mau cabut DMO itu seluruhnya, jadi nanti akan diberikan US$ 2-3 per ton untuk...(pungutan ekspor) seperti sawit," kata Luhut, Jumat (27/7/2018).
Soal alasan mengapa pemerintah memutuskan untuk mencabut DMO batu bara, Luhut pun mengatakan, kebijakan ini dipertimbangkan setelah pemerintah melihat perkembangan dan masukan dari pasar. "Kami evaluasi dan kami lihat ini yang terbaik," katanya.
Menurutnya skema DMO dan pembatasan harga selama ini juga tidak begitu efektif, karena rata-rata produksi batu bara masuk dalam kategori kalori tinggi yakni sekitar 5000 kalori. Sementara yang dibutuhkan oleh PLN adalah kalori rendah.
"Akhirnya ada beli beli kuota (transfer kuota). Nantinya tidak akan bagus, pasti ada trading-trading tidak jelas," kata dia.
Untuk itu akan diberlakukan skema tarif sekitar US$ 2 - 3 per ton. Hasil dari tarif ini nanti akan dikelola oleh suatu institutusi di bawah Kementerian Keuangan dan dimanfaatkan untuk PLN.
Dengan diberikannya kelonggaran ini, otomatis pemerintah memberikan lampu hijau bagi para produsen untuk menambah produksinya. Tahun ini, kuota produksi batu bara direncanakan sebesar 485 juta ton. "Kami naikkan sedikit ya 100 juta ton, ya kira-kira segitu," kata Luhut.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, pihaknya menyambut baik usulan tersebut. Pasalnya, usulan tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pengusaha batubara.
"Ini positif, kami mengapresiasi, sebab penetapan harga US$ 70 per ton itu kan memang terbukti banyak merugikan, baik dari segi perusahaan, negara, bahkan PLN sendiri, karena sering terkendala," ujar Hendra.
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan adanya skema pungutan pun akan lebih adil. Sebab, tidak semua pengusaha batubara bisa memenuhi kewajiban tersebut, dan ada juga pengusaha yang 'nakal' tidak memasok sesuai ketetapan karena harga batu bara sedang tinggi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan, Benny Soetrisno, mengatakan langkah pemerintah ini sudah bisa diprediksi, karena memang batu bara bisa jadi jalan singkat untuk selamatkan rupiah.
Benny mengakui dengan kebijakan ini nantinya pemerintah akan dapat tambahan masukan miliaran dolar dalam waktu singkat. Misal harga batu bara US$ 100 per ton, jika kuota ekspor ditambah 100 juta, maka tambahan yang bisa dikantongi pemerintah adalah US$ 10 miliar.
Tetapi, kebijakan ini bukan berarti tidak ada kompensasi dan risikonya. "Kehancuran lingkungan bekas tambang batu bara juga bertambah," kata Benny.

Artikel Selanjutnya
DMO Dicabut, Galian Batu Bara Bakal Makin Masif
(roy/roy)