
AS dan China Perang Dagang, Indonesia di Pihak Mana?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 July 2018 20:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) akhirnya meluncurkan apa yang disebut China sebagai 'perang dagang terbesar dalam sejarah ekonomi'. Pada Jumat (6/7/2018), AS mengumumkan tarif atas barang-barang dari China bernilai sekitar US$34 miliar (Rp 490 triliun).
Hal ini langsung memicu balasan dari Negeri Panda, dengan mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap sejumlah produk dari AS dengan nilai yang sama, US$34 miliar.
Akibat sikap China yang enggan mengendur tersebut, Presiden AS Donald Trump menegaskan bakal menambah daftar produk China yang kena bea masuk menjadi senilai lebih dari US$500 miliar.
Sebagai salah satu langkah untuk menghadapai ancaman AS tersebut, sebenarnya China sudah pernah mencoba berkoalisi dengan Uni Eropa.
Dalam kunjungan ke Brussel dan Berlin, delegasi China yang termasuk Wakil Perdana Menteri Liu He dan Penasihat Negara Wang Yi menawarkan aliansi antara China dengan Uni Eropa dalam melawan kebijakan proteksionis yang diterapkan AS. Sebagai imbalannya, China akan membuka pasarnya lebih luas bagi Uni Eropa.
Sayangnya, para pejabat Uni Eropa menolak ide tersebut. Dalam pertemuan China-Eropa pada 16-17 Juli mendatang, Brussel masih berharap akan ada komunikasi yang sifatnya lebih lunak dan tidak terlampau menyerang pihak lain.
Sekarang, Indonesia pun ikut terseret arus perang dagang. Saat ini, AS tengah mengevaluasi 124 produk asal Indonesia, apakah masih pantas menerima manfaat dari fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Jika nantinya tidak lagi mendapatkan manfaat GSP, maka sejumlah produk ekspor RI tersebut akan dikenai bea impor.
Dalam menghadapi ancaman dari AS ini, bisakah ide untuk membentuk koalisi diterapkan di Indonesia? Lalu, jika memang perlu beraliansi, ke mana Indonesia harus menetapkan hatinya? AS atau China? Semua itu perlu dijawab dengan menggunakan data perdagangan Indonesia dengan dua raksasa ekonomi tersebut.
Hal ini langsung memicu balasan dari Negeri Panda, dengan mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap sejumlah produk dari AS dengan nilai yang sama, US$34 miliar.
Akibat sikap China yang enggan mengendur tersebut, Presiden AS Donald Trump menegaskan bakal menambah daftar produk China yang kena bea masuk menjadi senilai lebih dari US$500 miliar.
Dalam kunjungan ke Brussel dan Berlin, delegasi China yang termasuk Wakil Perdana Menteri Liu He dan Penasihat Negara Wang Yi menawarkan aliansi antara China dengan Uni Eropa dalam melawan kebijakan proteksionis yang diterapkan AS. Sebagai imbalannya, China akan membuka pasarnya lebih luas bagi Uni Eropa.
Sayangnya, para pejabat Uni Eropa menolak ide tersebut. Dalam pertemuan China-Eropa pada 16-17 Juli mendatang, Brussel masih berharap akan ada komunikasi yang sifatnya lebih lunak dan tidak terlampau menyerang pihak lain.
Sekarang, Indonesia pun ikut terseret arus perang dagang. Saat ini, AS tengah mengevaluasi 124 produk asal Indonesia, apakah masih pantas menerima manfaat dari fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Jika nantinya tidak lagi mendapatkan manfaat GSP, maka sejumlah produk ekspor RI tersebut akan dikenai bea impor.
Dalam menghadapi ancaman dari AS ini, bisakah ide untuk membentuk koalisi diterapkan di Indonesia? Lalu, jika memang perlu beraliansi, ke mana Indonesia harus menetapkan hatinya? AS atau China? Semua itu perlu dijawab dengan menggunakan data perdagangan Indonesia dengan dua raksasa ekonomi tersebut.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular