
Trump Ancam Perang Dagang, AS Bisa Jadi Tak Lagi Iba ke RI
Arys Aditya, CNBC Indonesia
06 July 2018 16:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Amerika Serikat pimpinan Presiden Donald Trump tengah mengevaluasi 124 produk asal Indonesia. Hasil evaluasi akan menentukan apakah produk-produk itu masih akan diberi fasilitas semacam bea masuk atau tidak.
Fasilitas semacam bea masuk itu sendiri disebut dengan GSP (generalized system of preference).
Ekonom Indef Dradjad H. Wibowo mengatakan meski Indonesia mendapatkan GSP, namun RI adalah pembayar tarif bea masuk terbesar kelima di AS sebesar US$ 1,3 miliar.
"Indonesia terkena tarif efektif sebesar 6,4%, dua kali lipat China yang tanpa GSP tapi hanya kena 3%. Jadi untuk apa AS perang dengan Indonesia? Wong diplomat Indonesia selama ini sudah lemah dalam negosiasi tarif bagi negaranya," kata dia, Jumat (6/7/2018).
Dia menjabarkan, sejak 1974 Amerika Serikat (AS) sangat banyak memberikan GSP. Saat ini setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapat GSP dari AS untuk sekitar 5000-an item.
Selain untuk membantu pembangunan negara miskin, Dradjad menyebut GSP juga bertujuan mempromosikan nilai-nilai Amerika, termasuk demokrasi dan supremasi hukum. Jadi, lanjutnya, GSP adalah salah satu alat politik luar negeri AS untuk menjaga pengaruh dan dominansi globalnya.
"Negara hebat seperti China, negara G7, Uni Eropa, Rusia, Australia, dan Selandia Baru tidak meminta dan tidak menerima GSP. Dari ASEAN, ada Singapura dan Malaysia. Indonesia sendiri justru menjadi salah satu penerima GSP, bersama negara ASEAN lain yaitu Thailand, Filipina, Kamboja dan Myanmar."
Dalam siaran pers tertanggal 12 April 2018, Deputy United States Trade Representative (USTR) Jeffrey Gerish menyatakan Presiden Donald Trump berkomitmen menjamin bahwa seluruh negara penerima manfaat GSP menjunjung tinggi prinsip tawar-menawar mereka dengan terus memenuhi kriteria kelayakan yang diatur oleh kongres.
"Indonesia telah menerapkan beragam hambatan perdagangan dan investasi yang mengakibatkan dampak negatif yang serius atas perdagangan AS," bunyi kalimat dalam siaran pers tersebut.
Drajad mengatakan setiap tahun (USTR) mengevaluasi negara penerima GSP, dan jauh sebelum Trump berkuasa, Indonesia sudah masuk review kelayakan dan priority watch list dalam kriteria hak kekayaan intelektual.
"Jadi USTR melakukan review apakah Indonesia masih layak mendapat GSP. Dulu hanya HAKI, sekarang ditambah 2 kriteria: akses pasar serta jasa dan investasi," katanya.
"Apakah memberatkan kita? Tentu saja! Tapi ini bukan perang dagang. AS berbelas-kasihan ke kita. Dan sekarang mau ngecek apakah Indonesia masih pantas dibelas-kasihani.
Dari sisi skala impor, tuturnya, Indonesia bukan negara selevel yang akan diajak perang dagang AS.
Ia mencatat impor AS dari Indonesia relatif sangat kecil, hanya US$ 19,6 miliar pada 2015 sesuai data US International Trade Commission, hanya sekitar 1/25 atau 4,1% dibandingkan impor dari China, 1/15 Kanada atau Meksiko, lebih dari 1/7 Jepang dan hampir 1/6 Jerman.
"Kesimpulannya, tidak ada ancaman perang dagang dari AS. Daripada gagah-gagahan di dalam negeri, lebih baik pemerintah kerja, kerja dan kerja untuk menurunkan tarif efektif di atas."
(ray/ray) Next Article Trump Ancam 'Hukum' Perikanan RI, KKP: Semoga Tak Terjadi
Fasilitas semacam bea masuk itu sendiri disebut dengan GSP (generalized system of preference).
Ekonom Indef Dradjad H. Wibowo mengatakan meski Indonesia mendapatkan GSP, namun RI adalah pembayar tarif bea masuk terbesar kelima di AS sebesar US$ 1,3 miliar.
Dia menjabarkan, sejak 1974 Amerika Serikat (AS) sangat banyak memberikan GSP. Saat ini setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapat GSP dari AS untuk sekitar 5000-an item.
Selain untuk membantu pembangunan negara miskin, Dradjad menyebut GSP juga bertujuan mempromosikan nilai-nilai Amerika, termasuk demokrasi dan supremasi hukum. Jadi, lanjutnya, GSP adalah salah satu alat politik luar negeri AS untuk menjaga pengaruh dan dominansi globalnya.
"Negara hebat seperti China, negara G7, Uni Eropa, Rusia, Australia, dan Selandia Baru tidak meminta dan tidak menerima GSP. Dari ASEAN, ada Singapura dan Malaysia. Indonesia sendiri justru menjadi salah satu penerima GSP, bersama negara ASEAN lain yaitu Thailand, Filipina, Kamboja dan Myanmar."
Dalam siaran pers tertanggal 12 April 2018, Deputy United States Trade Representative (USTR) Jeffrey Gerish menyatakan Presiden Donald Trump berkomitmen menjamin bahwa seluruh negara penerima manfaat GSP menjunjung tinggi prinsip tawar-menawar mereka dengan terus memenuhi kriteria kelayakan yang diatur oleh kongres.
"Indonesia telah menerapkan beragam hambatan perdagangan dan investasi yang mengakibatkan dampak negatif yang serius atas perdagangan AS," bunyi kalimat dalam siaran pers tersebut.
Drajad mengatakan setiap tahun (USTR) mengevaluasi negara penerima GSP, dan jauh sebelum Trump berkuasa, Indonesia sudah masuk review kelayakan dan priority watch list dalam kriteria hak kekayaan intelektual.
"Jadi USTR melakukan review apakah Indonesia masih layak mendapat GSP. Dulu hanya HAKI, sekarang ditambah 2 kriteria: akses pasar serta jasa dan investasi," katanya.
"Apakah memberatkan kita? Tentu saja! Tapi ini bukan perang dagang. AS berbelas-kasihan ke kita. Dan sekarang mau ngecek apakah Indonesia masih pantas dibelas-kasihani.
Dari sisi skala impor, tuturnya, Indonesia bukan negara selevel yang akan diajak perang dagang AS.
Ia mencatat impor AS dari Indonesia relatif sangat kecil, hanya US$ 19,6 miliar pada 2015 sesuai data US International Trade Commission, hanya sekitar 1/25 atau 4,1% dibandingkan impor dari China, 1/15 Kanada atau Meksiko, lebih dari 1/7 Jepang dan hampir 1/6 Jerman.
"Kesimpulannya, tidak ada ancaman perang dagang dari AS. Daripada gagah-gagahan di dalam negeri, lebih baik pemerintah kerja, kerja dan kerja untuk menurunkan tarif efektif di atas."
(ray/ray) Next Article Trump Ancam 'Hukum' Perikanan RI, KKP: Semoga Tak Terjadi
Most Popular