Hadapi Ancaman Perang Dagang Trump, Ini Opsi RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 July 2018 16:07

Sebenarnya, hanya ada dua cara untuk menghindari konsekuensi tersebut. Pertama, meningkatkan produksi dalam negeri. Kedua, mencari dan bermitra dengan negara lain yang mampu memasok bahan baku penting itu ke Indonesia.
Untuk opsi pertama, misalnya dengan menggenjot produksi minyak mentah tanah air. Sebuah PR yang besar tentunya bagi PT Pertamina (Persero). Tapi apabila memang berhasil merebut Blok Rokan (blok dengan produksi terbesar di RI) dari genggaman Chevron yang asal AS itu, bukan tidak mungkin Pertamina akhirnya menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri dan akhirnya mampu menyuplai kebutuhan minyak dalam negeri.
Kemudian, investasi di sektor hulu migas pun harus bisa ditingkatkan, untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan penemuan cadangan minyak baru.
Untuk opsi kedua, khususnya diterapkan bagi produk-produk asal AS yang memiliki keunggulan komparatif terhadap Indonesia, atau tidak bisa/sulit diproduksi di tanah air. Produk ini misalnya kedelai. Memang Indonesia masih sanggup memproduksi kedelai di dalam negeri, namun jumlahnya bahkan tidak sampai 1 juta ton pada 2015, menurut data BPS.
Bandingkan dengan Negeri Paman Sam, yang mampu memproduksi kedelai hingga nyaris 120 juta metrik ton pada 2017. Posisi Indonesia sangatlah inferior dibandingkan AS, untuk urusan kedelai. Oleh karena itu, mau tidak mau kita harus mencari pemasok lain. Produsen kedelai utama lainnya di dunia adalah 2 negara asal Amerika Selatan, yakni Brasil dan Argentina. Volume produksi Brasil yang sebesar 119 juta metrik ton bahkan hanya kalah tipis dari AS.
Sayangnya, impor kedelai Indonesia di Brazil dan Argentina masih amatlah kecil di tahun 2017, masing-masing senilai US$0,20 juta (Rp2,8 miliar) dan US$2,1 juta (Rp29,4 miliar). Beda bumi dan langit dengan impor kedelai dari AS yang mencapai Rp17,64 triliun di periode yang sama.
Oleh karena itu, sebelum Indonesia mendeklarasikan perang dagang dengan AS, pemerintah wajib menjalin hubungan dagang yang lebih erat dengan Brasil dan Argentina, khususnya untuk komoditas kedelai. Akhirnya, suplai kedelai untuk bahan baku industri dalam negeri pun tercukupi.
Pendekatan yang sama juga berlaku untuk komoditas ekspor unggulan Indonesia. Terlebih untuk produk Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif, seperti karet dan perikanan. Karena memang punya keunggulan komparatif, Indonesia sebenarnya akan lebih mudah untuk mencari alternatif pasar lainnya.
Misalnya, untuk produk ikan dan udang-udangan, Indonesia bisa menyasar sejumlah negara importir besar lainnya, selain AS, misalnya Jepang, Spanyol, Italia, Jerman, dan Korea Selatan. Sebagai informasi, ekspor produk perikanan Indonesia ke lima negara itu masih amat terbatas, kecuali mungkin ke Jepang yang mencapai US$517,7 juta (Rp7,25 triliun). Namun, apabila nilai impor kelima negara itu saja dijumlahkan, totalnya bahkan belum sampai setengah dari nilai impor produk perikanan RI ke AS yang mencapai US$1,41 miliar (Rp19,74 triliun)
Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya Indonesia menjajaki pasar di Uni Eropa atau Korea Selatan, untuk mengalihkan ekspor produk perikanan tanah air. Jika kemarin saja sukses melobi Uni Eropa untuk menunda keputusan pembatasan penggunaan CPO di Benua Biru, seharusnya pemerintah bisa menggolkan tujuan ini. Terlebih, negara-negara Eropa merupakan konsumen produk perikanan terbesar di dunia.
Di sisi lain, untuk produk tekstil Indonesia yang tidak punya keunggulan komparatif, karena banyaknya saingan eksportir lainnya, seperti China bahkan Vietnam, mau tidak mau Indonesia harus bisa meningkatkan keunggulan kompetitif untuk sektor ini. Kualitas industri tekstil perlu dimaksimalkan lagi. Jika memang ekspor dari AS ingin dialihkan ke negara lain, produk tekstil kita harus punya daya saing yang mumpuni.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy/roy)
Untuk opsi pertama, misalnya dengan menggenjot produksi minyak mentah tanah air. Sebuah PR yang besar tentunya bagi PT Pertamina (Persero). Tapi apabila memang berhasil merebut Blok Rokan (blok dengan produksi terbesar di RI) dari genggaman Chevron yang asal AS itu, bukan tidak mungkin Pertamina akhirnya menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri dan akhirnya mampu menyuplai kebutuhan minyak dalam negeri.
Kemudian, investasi di sektor hulu migas pun harus bisa ditingkatkan, untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan penemuan cadangan minyak baru.
Bandingkan dengan Negeri Paman Sam, yang mampu memproduksi kedelai hingga nyaris 120 juta metrik ton pada 2017. Posisi Indonesia sangatlah inferior dibandingkan AS, untuk urusan kedelai. Oleh karena itu, mau tidak mau kita harus mencari pemasok lain. Produsen kedelai utama lainnya di dunia adalah 2 negara asal Amerika Selatan, yakni Brasil dan Argentina. Volume produksi Brasil yang sebesar 119 juta metrik ton bahkan hanya kalah tipis dari AS.
![]() |
Sayangnya, impor kedelai Indonesia di Brazil dan Argentina masih amatlah kecil di tahun 2017, masing-masing senilai US$0,20 juta (Rp2,8 miliar) dan US$2,1 juta (Rp29,4 miliar). Beda bumi dan langit dengan impor kedelai dari AS yang mencapai Rp17,64 triliun di periode yang sama.
Oleh karena itu, sebelum Indonesia mendeklarasikan perang dagang dengan AS, pemerintah wajib menjalin hubungan dagang yang lebih erat dengan Brasil dan Argentina, khususnya untuk komoditas kedelai. Akhirnya, suplai kedelai untuk bahan baku industri dalam negeri pun tercukupi.
Pendekatan yang sama juga berlaku untuk komoditas ekspor unggulan Indonesia. Terlebih untuk produk Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif, seperti karet dan perikanan. Karena memang punya keunggulan komparatif, Indonesia sebenarnya akan lebih mudah untuk mencari alternatif pasar lainnya.
Misalnya, untuk produk ikan dan udang-udangan, Indonesia bisa menyasar sejumlah negara importir besar lainnya, selain AS, misalnya Jepang, Spanyol, Italia, Jerman, dan Korea Selatan. Sebagai informasi, ekspor produk perikanan Indonesia ke lima negara itu masih amat terbatas, kecuali mungkin ke Jepang yang mencapai US$517,7 juta (Rp7,25 triliun). Namun, apabila nilai impor kelima negara itu saja dijumlahkan, totalnya bahkan belum sampai setengah dari nilai impor produk perikanan RI ke AS yang mencapai US$1,41 miliar (Rp19,74 triliun)
![]() |
Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya Indonesia menjajaki pasar di Uni Eropa atau Korea Selatan, untuk mengalihkan ekspor produk perikanan tanah air. Jika kemarin saja sukses melobi Uni Eropa untuk menunda keputusan pembatasan penggunaan CPO di Benua Biru, seharusnya pemerintah bisa menggolkan tujuan ini. Terlebih, negara-negara Eropa merupakan konsumen produk perikanan terbesar di dunia.
Di sisi lain, untuk produk tekstil Indonesia yang tidak punya keunggulan komparatif, karena banyaknya saingan eksportir lainnya, seperti China bahkan Vietnam, mau tidak mau Indonesia harus bisa meningkatkan keunggulan kompetitif untuk sektor ini. Kualitas industri tekstil perlu dimaksimalkan lagi. Jika memang ekspor dari AS ingin dialihkan ke negara lain, produk tekstil kita harus punya daya saing yang mumpuni.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy/roy)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular