Perang Dagang AS-China Bisa Gerus Ekspor RI Hingga Rp 163,5 T

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
18 September 2018 19:45
UOB estimasikan pendapatan eskpor RI dapat berkurang US$6-11 miliar (sekitar Rp89-163,5 T) akibat perang dagang AS-China
Foto: Presiden Donald Trump menyampaikan pidatonya di samping bendera AS dan China saat dia dan Presiden Cina Xi Jinping bertemu. REUTERS/Damir Sagolj/File Photo
Jakarta, CNBC IndonesiaPada Senin (17/9/2018) waktu Amerika Serikat (AS) atau dini hari waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bea masuk baru untuk produk-produk China. Bea masuk sebesar 10% tersebut akan berlaku untuk ribuan produk China dengan nilai impor US$200 miliar.

Kebijakan itu mulai berlaku pada 24 September, dan pada akhir tahun tarifnya naik menjadi 25%. Tidak berhenti sampai di situ, Trump juga mengancam untuk memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China dengan nilai yang lebih masif.

"Jika China membalas dengan menargetkan petani atau industri AS, maka kami akan menerapkan kebijakan tahap ketiga. Akan ada bea masuk bagi impor produk China senilai US$267 miliar," tegas Trump, dikutip dari Reuters.

Lantas, apa dampaknya bagi Indonesia? Bank UOB, dalam risetnya yang diterima CNBC Indonesia, menyatakan perang dagang AS-China yang berlangsung dapat memengaruhi pasar ekspor Indonesia yang sebenarnya sedang dalam tahap pemulihan.

Seperti diketahui, ekspor Indonesia mengalami kejatuhan pascamasa booming komoditas pada akhir 2011 hingga awal 2012. Namun, penurunan itu nampaknya sudah menyentuh dasarnya pada 2016.

Pada 2017, ekspor RI mampu tumbuh sebesar 16,8% secara tahunan (year-on-year/YoY). Hal itu menunjukkan adanya indikasi pemulihan. Padahal, sejak 2013-2016, ekspor Indonesia selalu menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 6,5%.

Uniknya, di saat ekspor RI ke AS cenderung stagnan dalam tiga tahun terakhir, ekspor RI ke China justru melesat cukup signifikan di periode yang sama. Bahkan, ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu mampu menguat sebesar 37,28% pada tahun lalu, hingga menembus US$23,05 miliar. 



Sekadar gambaran, 10 komoditas utama ekspor RI ke Negeri Paman Sam (setara dengan 73% total ekspor Indonesia ke AS) didominasi pakaian jadi/produk tekstil dan alas kaki dengan total nilai sebesar US$5,5 miliar.

Di sisi lain, 10 komoditas utama ekspor RI ke China (81% total ekspor Indonesia ke China) didominasi oleh minyak dan bahan bakar mineral, minyak dan lemak nabati/hewani (termasuk minyak sawit mentah/CPO), dan besi/baja mentah, dengan total nilai sebesar US$12,3 miliar.

Sejauh ini, dengan bea masuk AS terhadap produk aluminium, baja dan besi, ditambah produk-produk made in China senilai US$50 miliar, UOB berpendapat bahwa hal tersebut cukup memberikan dampak eksternal bagi Indonesia, meski masih dapat dikendalikan.

Sebagai tambahan, UOB menyoroti Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas, didominasi oleh minyak dan bahan bakar mineral (termasuk batu bara, aluminium, bauksit, tembaga, dan nikel), minyak nabati/hewani, dan karet.

Tiga produk utama tersebut menyumbang nilai yang amat signifikan pada total ekspor RI, yakni mencapai 40% dari total ekspor, dengan nilai mencapai US$67,6 miliar di tahun lalu. Penurunan harga sejumlah komoditas tersebut (akibat perang dagang) berpotensi besar memukul kinerja ekspor RI. 

Kemudian, dengan potensi bea masuk tambahan terhadap produk Negeri Panda senilai US$200 miliar, UOB memprediksi produk ekspor RI yang akan menjadi lebih rentan adalah alas kaki dan pakaian jadi.

Pada tahun lalu, total eksposur produk-produk tersebut mencapai US$9,1 miliar ke pasar global. Sebagian besar diekspor RI ke AS (mencapai total US$5,5 miliar), sementara dikirim ke China dalam jumlah yang relatif lebih sedikit (total US$0,5 miliar, utamanya dikuasai produk alas kaki).

Meski demikian, UOB berpendapat bahwa risiko utama bagi Indonesia adalah jika penerapan bea masuk AS senilai US$200 miliar produk China diikuti oleh pencabutan tarif preferensial Indonesia di bawah skema Generalized System of Preference (GSP) dan tarif Most Favoured Nation (MFN).

Seperti diketahui, pada April 2018, Kantor Perwakilan Perdagangan AS (USTR) menyatakan akan meninjau ulang persyaratan Indonesia, bersama-sama dengan India dan Kazakhstan, untuk mengikuti skema GSP, berdasarkan persoalan akses pasar dan hak properti intelektual yang terkait dengan kepatuhan kriteria investasi.

GSP sendiri dibentuk pemerintahan AS pada 1976, dengan total impor yang mendapatkan manfaat dari skema ini mencapai US$18,7 miliar di tahun 2016, mencakup 120 negara dan wilayah dengan lebih dari 5.000 produk yang memenuhi syarat mendapatkan pembebasan tarif atau tarif yang rendah.

Mengutip data riset UOB, diperkirakan sekitar US$2 miliar produk ekspor Indonesia yang menikmati skema ini. UOB sendiri menyatakan ekspor ban karet RI terancam apabila fasilitas ini dicabut, seiring komoditas tersebut merupakan top 10 dari daftar produk ekspor RI yang mengikuti skema GSP.

Sebagai catatan, saat ini Indonesia menikmati tarif impor kurang dari 5% (secara bobot rata-rata) di bawah skema tarif MFN. Pencabutan tarif preferensial ini akan menyebabkan RI menanggung tarif hingga 7 kali lipat lebih besar, atau sekitar 36,5%.



Dengan mengombinasikan berbagai macam perkiraan di atas, termasuk dari Kementerian Perdagangan RI terhadap komoditas utama yang dapat terdampak dari kenaikan bea masuk AS dan pencabutan GSP bagi Indonesia, UOB mengestimasikan pendapatan eskpor RI dapat berkurang US$6-11 miliar (sekitar Rp89-163,5 T) akibat perang dagang AS-China yang berkecamuk (memperhitungkan dampak langsung maupun tidak langsung).





(RHG/RHG) Next Article Perang Dagang Dengan China, Australia Dibeking AS

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular