Internasional

Setelah Baja, Kini Baju Bekas Jadi Sumber Cekcok Dagang AS

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
31 May 2018 12:42
Amerika Serikat mengeluarkan ultimatum 60 hari untuk Rwanda agar menurunkan bea masuk pakaian bekas impor.
Foto: REUTERS/Mark Blinch
Jakarta, CNBC Indonesia - Di saat Amerika Serikat (AS) ramai diberitakan karena masalah hubungan dagangnya yang memanas dengan China, ekonomi terbesar di dunia itu juga sedang berseteru dengan negara di Afrika, Rwanda, soal komoditas yang tidak biasa: pakaian bekas.

Amerika Serikat mengeluarkan ultimatum 60 hari untuk Rwanda agar menurunkan bea masuk pakaian bekas impor, atau mengacam akan menjatuhkan sanksi. Ultimatum itu berakhir pada hari Senin (28/5/2018). Namun, rincian tentang apa yang akan terjadi pada industri yang menciptakan puluhan ribu pekerjaan di kedua negara itu belum jelas, tulis CNBC International hari Kamis (31/5/2018).


Pada bulan Juli 2016, negara-negara Afrika Timur, seperti Rwanda, Kenya, Tanzania, dan Uganda, menaikkan tarif untuk pakaian bekas impor karena khawatir pakaian murah dari luar negeri akan mengancam industri manufaktur domestik mereka. Rwanda dilaporkan menaikkan bea impor sebesar 20 sen menjadi US$2,50 (Rp 34.695) per kilogram.

Diskusi antara negara-negara Afrika Timur mengenai pelarangan impor sepenuhnya pada tahun 2019 telah dibahas sejak tahun 2015.

Namun pada bulan Maret tahun lalu, masalah ini disampaikan ke Kantor Perwakilan Dagang AS oleh Asosiasi Bahan Sekunder dan Tekstil Daur Ulang, sebuah kelompok berbasis di AS yang mewakili perusahaan yang berkumpul dan menjual pakaian lama. Kelompok ini berpendapat bila embargo itu diterapkan, 40.000 tenaga kerja AS serta puluhan ribu pekerjaan di negara-negara Afrika Timur itu sendiri akan terdampak buruk.

Kenya, Tanzania, dan Uganda membatalkan kenaikan pajak setelah AS mengancam untuk membatasi manfaat dari keanggotaan mereka di perjanjian perdagangan AS dengan negara-negara sub-Sahara, African Growth and Opportunity Act (AGOA), yang memungkinkan impor bebas bea oleh AS atas 6.500 barang.

"Rwanda tidak membuat cukup kemajuan untuk menghapus hambatan perdagangan dan investasi AS, dan karena itu tidak memenuhi persyaratan kelayakan" dari undang-undang itu, kata sebuah pernyataan di situs Perwakilan Perdagangan AS.

Menurut Reuters, bisnis pakaian bekas AS bernilai hampir US$1 miliar. Di bawah AGOA, barang-barang dari merek internasional yang diproduksi di Afrika dapat diekspor ke AS tanpa dikenakan bea masuk. Sejak undang-undang itu diterapkan pada tahun 2000, ekspor Afrika ke AS naik hampir empat kali lipat menjadi lebih dari US$1 miliar.

Namun Rwanda telah menolak untuk mundur dari pertarungan dagang itu. Pada bulan Juni 2017, Presiden Rwanda Paul Kagame dilaporkan mengatakan, meskipun menjadi anggota dalam perjanjian AS itu, kami "harus melakukan hal-hal lain, kami harus tumbuh dan membangun industri kami."


Penduduk Rwanda telah menyuarakan keprihatinan tentang pakaian mahal yang membebani penduduk miskin sebagai konsekuensi dari meningkatnya bea masuk.

Pada tahun 2017, defisit perdagangan Rwanda dengan AS adalah US$22,4 juta, menurut AGOA.info, sumber informasi online tentang undang-undang itu.

Perwakilan Perdagangan AS dan berbagai lembaga pemerintah Rwanda tidak segera memberi komentar ketika dihubungi oleh CNBC International.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), perekonomian Rwanda diperkirakan tumbuh 7,2% tahun ini, jauh di atas rata-rata pasar berkembang yang sebesar 4,9%.

Negara ini dinobatkan sebagai tempat termudah kedua untuk melakukan bisnis di Afrika oleh Bank Dunia. Rwanda berharap industri pakaiannya dapat menciptakan 25.000 pekerjaan pada 2020, menurut laporan Reuters.
(prm) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular