
Internasional
Alami Krisis Politik, Italia Akan Ulang Pemilu di Bulan Juli
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
30 May 2018 13:15

Roma, CNBC Indonesia - Italia mungkin akan mengadakan pemilihan umum (pemilu) ulang paling cepat pada bulan Juli mendatang setelah calon yang ditunjuk sebagai perdana menteri gagal mendapatkan dukungan dari dua partai politik besar di negara itu, kata beberapa sumber pada hari Selasa (29/5/2018). Di saat yang sama, kekacauan politik dalam negeri tersebut menyebabkan kejatuhan pasar keuangan global.
Italia telah mengupayakan pembentukan pemerintah baru sejak pemilu yang tidak jelas hasilnya pada bulan Maret. Presiden akhirnya menunjuk mantan pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) Carlo Cottarelli sebagai perdana menteri sementara sampai pemungutan suara baru diadakan antara bulan September sampai awal tahun 2019.
Tetapi sumber-sumber yang dekat dengan beberapa partai utama Italia mengatakan ada kemungkinan Presiden Sergio Mattarella membubarkan parlemen dalam beberapa hari mendatang dan memaksa Italia mengadakan pemilihan kembali pada tanggal 29 Juli, Reuters melaporkan hari Selasa (29/5/2018).
Prospek itu muncul segera setelah Cottarelli bertemu Presiden pada Selasa sore, namun setelahnya pergi tanpa membuat pernyataan apa pun. Cottarelli diperkirakan akan mengumumkan kabinet pemerintahannya setelah pembicaraan itu.
Sebuah sumber yang dekat dengan presiden mengatakan dalam pertemuan itu Cottarelli tidak menyebutkan tentang niat untuk melepaskan mandatnya dan bahwa ia hanya menyelesaikan susunan kabinetnya.
"Akan lebih baik untuk mengadakan pemilihan secepat mungkin, pada awal Juli," kata Andrea Marcucci, pemimpin senat untuk Partai Demokrat kubu kiri-tengah, dilansir dari Reuters.
Italia mengalami aksi jual pasar terbesar dalam beberapa tahun, di tengah kekhawatiran investor akan pemilu yang kemungkinan memperkuat mandat untuk anti-kemapanan dan politisi yang skeptikal terhadap Uni Eropa (UE). Makin kuatnya partai-partai itu menimbulkan kecemasan Italia akan menyusul Inggris keluar dari zona euro. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Italia bertenor dua tahun, yang paling sensitif terhadap gangguan politik, mengalami lonjakan harian tertinggi sejak 1992.
Euro juga mencapai posisi terendah dalam beberapa bulan karena lembaga pemeringkat internasional Moody's mengisyaratkan kemungkinan penurunan peringkat bagi Italia jika pemerintah berikutnya gagal mengatasi beban utangnya.
Gubernur bank sentral Italia, Ignazio Visco, mengatakan Italia seharusnya tidak melupakan bahwa negara itu sudah dekat dengan risiko kehilangan aset yang tak bisa digantikan, yaitu kepercayaan, namun "tidak ada pembenaran" atas gejolak pasar yang sedang terjadi.
Ahli strategi mata uang Saxo Bank, John Hardy, mengatakan Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi mungkin akan segera diminta turun tangan untuk menenangkan pasar, seperti yang dia lakukan selama krisis utang zona euro pada tahun 2012 ketika dia berjanji untuk melakukan 'apa pun yang diperlukan'.
Pasar uang zona euro telah bertaruh ECB akan menaikkan suku bunga dari tingkat sangat-rendah pada pertengahan tahun depan. Tetapi dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan kekhawatiran mengenai Italia, pasar sekarang memeprkirakan hanya sekitar 30% peluang kenaikan 10 basis poin pada bulan Juni 2019.
"Menghormati Pemilih"
Presiden Mattarella telah menunjuk Cottarelli sebagai perdana menteri untuk menenangkan gejolak politik dan pasar, namun dua partai anti-kemapanan Italia menyalahkan presiden setelah dia memveto pilihan mereka untuk menteri ekonomi dalam pemerintahan koalisi mereka.
Mattarella menolak Paolo Savona karena dianggap mendukung Italia untuk keluar dari zona euro.
Partai Gerakan Bintang Lima dan partai sayap kanan Liga, pemenang terbesar dari pemilihan bulan Maret, menolak untuk mencalonkan kandidat alternatif. Selain itu, rencana untuk membentuk pemerintah berubah menjadi pelaksanaan pemilihan ulang, dengan Partai Gerakan Bintang Lima menyerukan agar Mattarella diberhentikan.
Negara-negara zona euro lainnya prihatin mengenai kondisi politik ekonomi terbesar ketiga UE tersebut. Presiden Prancis Emmanuel Macron membela Mattarella dan menyebutnya pemberani, sementara Kanselir Jerman Angela Merkel menyampaikan tanggapannya tentang perlunya mematuhi peraturan yang mengatur euro.
Presiden Komisi UE Jean-Claude Juncker merilis sebuah pernyataan yang mengatakan: "Nasib Italia tidak terletak di tangan pasar keuangan," dan Donald Tusk, ketua KTT para pemimpin Uni Eropa, meminta lembaga-lembaga Uni Eropa untuk menghormati pemilih.
"Kami ada di sana untuk melayani mereka, bukan untuk mengajari mereka," katanya.
Bahkan jika Cottarelli mampu membentuk pemerintah sementara yang dapat diterima oleh parlemen Italia yang terpecah, para investor yakin dia akan gagal untuk meloloskan anggaran 2019, yang memicu segera diadakannya pemilihan di musim gugur.
Kampanye pemilihan cenderung berpusat pada hubungan Italia dengan Uni Eropa dan khususnya pembatasan anggaran yang dikenakan pada anggota zona euro.
Sebuah jajak pendapat oleh SWG menunjukkan dukungan untuk Liga telah melonjak menjadi 27,5%, naik sekitar 10 poin dari pemilihan 4 Maret lalu. Sementara itu dukungan untuk Gerakan Bintang Lima turun sekitar tiga poin menjadi 29,5%.
Namun, jika memutuskan untuk bergabung lagi, keduanya akan memiliki mayoritas suara di parlemen.
(prm) Next Article Slovenia Umumkan Epidemi Covid-19 Berakhir, Luar Biasa!
Italia telah mengupayakan pembentukan pemerintah baru sejak pemilu yang tidak jelas hasilnya pada bulan Maret. Presiden akhirnya menunjuk mantan pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) Carlo Cottarelli sebagai perdana menteri sementara sampai pemungutan suara baru diadakan antara bulan September sampai awal tahun 2019.
Tetapi sumber-sumber yang dekat dengan beberapa partai utama Italia mengatakan ada kemungkinan Presiden Sergio Mattarella membubarkan parlemen dalam beberapa hari mendatang dan memaksa Italia mengadakan pemilihan kembali pada tanggal 29 Juli, Reuters melaporkan hari Selasa (29/5/2018).
Sebuah sumber yang dekat dengan presiden mengatakan dalam pertemuan itu Cottarelli tidak menyebutkan tentang niat untuk melepaskan mandatnya dan bahwa ia hanya menyelesaikan susunan kabinetnya.
"Akan lebih baik untuk mengadakan pemilihan secepat mungkin, pada awal Juli," kata Andrea Marcucci, pemimpin senat untuk Partai Demokrat kubu kiri-tengah, dilansir dari Reuters.
Italia mengalami aksi jual pasar terbesar dalam beberapa tahun, di tengah kekhawatiran investor akan pemilu yang kemungkinan memperkuat mandat untuk anti-kemapanan dan politisi yang skeptikal terhadap Uni Eropa (UE). Makin kuatnya partai-partai itu menimbulkan kecemasan Italia akan menyusul Inggris keluar dari zona euro. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Italia bertenor dua tahun, yang paling sensitif terhadap gangguan politik, mengalami lonjakan harian tertinggi sejak 1992.
Euro juga mencapai posisi terendah dalam beberapa bulan karena lembaga pemeringkat internasional Moody's mengisyaratkan kemungkinan penurunan peringkat bagi Italia jika pemerintah berikutnya gagal mengatasi beban utangnya.
Gubernur bank sentral Italia, Ignazio Visco, mengatakan Italia seharusnya tidak melupakan bahwa negara itu sudah dekat dengan risiko kehilangan aset yang tak bisa digantikan, yaitu kepercayaan, namun "tidak ada pembenaran" atas gejolak pasar yang sedang terjadi.
Ahli strategi mata uang Saxo Bank, John Hardy, mengatakan Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi mungkin akan segera diminta turun tangan untuk menenangkan pasar, seperti yang dia lakukan selama krisis utang zona euro pada tahun 2012 ketika dia berjanji untuk melakukan 'apa pun yang diperlukan'.
Pasar uang zona euro telah bertaruh ECB akan menaikkan suku bunga dari tingkat sangat-rendah pada pertengahan tahun depan. Tetapi dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan kekhawatiran mengenai Italia, pasar sekarang memeprkirakan hanya sekitar 30% peluang kenaikan 10 basis poin pada bulan Juni 2019.
"Menghormati Pemilih"
Presiden Mattarella telah menunjuk Cottarelli sebagai perdana menteri untuk menenangkan gejolak politik dan pasar, namun dua partai anti-kemapanan Italia menyalahkan presiden setelah dia memveto pilihan mereka untuk menteri ekonomi dalam pemerintahan koalisi mereka.
Mattarella menolak Paolo Savona karena dianggap mendukung Italia untuk keluar dari zona euro.
Partai Gerakan Bintang Lima dan partai sayap kanan Liga, pemenang terbesar dari pemilihan bulan Maret, menolak untuk mencalonkan kandidat alternatif. Selain itu, rencana untuk membentuk pemerintah berubah menjadi pelaksanaan pemilihan ulang, dengan Partai Gerakan Bintang Lima menyerukan agar Mattarella diberhentikan.
Negara-negara zona euro lainnya prihatin mengenai kondisi politik ekonomi terbesar ketiga UE tersebut. Presiden Prancis Emmanuel Macron membela Mattarella dan menyebutnya pemberani, sementara Kanselir Jerman Angela Merkel menyampaikan tanggapannya tentang perlunya mematuhi peraturan yang mengatur euro.
Presiden Komisi UE Jean-Claude Juncker merilis sebuah pernyataan yang mengatakan: "Nasib Italia tidak terletak di tangan pasar keuangan," dan Donald Tusk, ketua KTT para pemimpin Uni Eropa, meminta lembaga-lembaga Uni Eropa untuk menghormati pemilih.
"Kami ada di sana untuk melayani mereka, bukan untuk mengajari mereka," katanya.
Bahkan jika Cottarelli mampu membentuk pemerintah sementara yang dapat diterima oleh parlemen Italia yang terpecah, para investor yakin dia akan gagal untuk meloloskan anggaran 2019, yang memicu segera diadakannya pemilihan di musim gugur.
Kampanye pemilihan cenderung berpusat pada hubungan Italia dengan Uni Eropa dan khususnya pembatasan anggaran yang dikenakan pada anggota zona euro.
Sebuah jajak pendapat oleh SWG menunjukkan dukungan untuk Liga telah melonjak menjadi 27,5%, naik sekitar 10 poin dari pemilihan 4 Maret lalu. Sementara itu dukungan untuk Gerakan Bintang Lima turun sekitar tiga poin menjadi 29,5%.
Namun, jika memutuskan untuk bergabung lagi, keduanya akan memiliki mayoritas suara di parlemen.
(prm) Next Article Slovenia Umumkan Epidemi Covid-19 Berakhir, Luar Biasa!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular