Gaduh Italia Lebih Dominan, Rupiah Butuh Kenaikan Bunga Acuan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 May 2018 08:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan pagi ini. Rupiah menantikan hasil pertemuan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan berujung pada kenaikan suku bunga acuan.
Pada Rabu (30/5/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dibanderol Rp 14.020. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan penutupan lusa lalu.
Rupiah tidak mampu melawan dolar AS yang memang sedang menguat. Saat ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata yang utama) menguat meski tipis di kisaran 0,02%.
Sementara mata uang regional bergerak variatif. Meski melemah, tetapi depresiasi rupiah bukan yang terdalam. Pelemahan paling mencolok dialami oleh rupee India, kemudian disusul ringgit Malaysia dan yuan China.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS:
Sepertinya investor sedang menunggu keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan yang digelar BI hari ini. RDG tersebut di luar jadwal yang sudah ditetapkan untuk merespons perkembangan ekonomi terkini.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan 7 day reserve repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%. Jika terjadi, maka akan menjadi kenaikan kedua sepanjang bulan ini (dan tahun ini) setelah yang pertama terjadi pada 17 Mei lalu.
"Fokus kami dalam jangka pendek adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Ini langkah untuk FOMC (Federal Open Market Committee) meeting. We want to be ahead the curve," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers awal pekan ini.
Kalimat ahead the curve tersebut menjadi kode keras bahwa BI akan mengeksekusi kenaikan suku bunga pada RDG kali ini. Sebab bila menunggu RDG yang sudah terjadwal maka akan terlalu lama, sebab baru dilaksanakan pada 27-28 Juni. Sementara hasil pertemuan FOMC akan diumumkan pada 13 Juni.
Mengutip Federal Funds Futures, probabilitas kenaikan suku bunga acuan di AS pada pertemuan 13 Juni adalah 76,3%. Kemungkinan yang tidak bisa dikesampingkan.
Sambil menunggu pengumuman hasil RDG tambahan, investor sepertinya memilih bermain aman. Apalagi situasi global dan regional sedang kurang bersahabat.
Gaduh politik Italia membuat pasar keuangan dunia dilanda kecemasan. Negeri Pizza dihadapkan pada pemilu dadakan (snap election). Penyebabnya, Presiden Sergio Mattarella menolak pencalonan Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Mattarella menolak nominasi Savona karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari Uni Eropa.
Mattarella pun menunjuk mantan pejabat Dana Moneter International (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Ia ditugaskan untuk merencakan pemilu dan meloloskan anggaran negara.
Situasi ini membuat politik Italia menjadi penuh ketidakpastian. Bukan tidak mungkin aura populisme yang merebak di Italia bisa membawa negara ini keluar dari Uni Eropa.
Investor pun teringat pada momentum jajak pendapat di Inggris yang menghasilkan perceraian dengan Uni Eropa, yang akrab disebut Brexit. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Euro berpotensi mengikuti jejak Inggris.
Saat Brexit terjadi pada 2016, indeks MSCI Asia Pasifik (kecuali Jepang) anjlok cukup dalam. Indeks ini melaju cukup kencang pada awal tahun, sebelum terjun begitu memasuki Agustus. Sebagai informasi, jajak pendapat untuk Brexit digelar pada 23 Juni.
Investor yang cemas dengan perkembangan di Italia membuat aset-aset aman (safe haven) seperti emas , yen Jepang, atau franc Swiss menjadi pelarian. Harga emas dunia pada pukul 08:33 WIB naik 0,22%. Kemudian yen menguat 0,26% dan franc terapresiasi 0,06%.
Untuk saat ini, mode risk on yang dipasang investor masih lebih dominan. Investor masih cenderung menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, rupiah butuh obat kuat yang cespleng untuk terapresiasi. Obat itu adalah kenaikan suku bunga acuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Rabu (30/5/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dibanderol Rp 14.020. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan penutupan lusa lalu.
Rupiah tidak mampu melawan dolar AS yang memang sedang menguat. Saat ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata yang utama) menguat meski tipis di kisaran 0,02%.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 108,47 | +0,26 |
Yuan China | 6,42 | -0,28 |
Won Korsel | 1.081,80 | +0,24 |
Dolar Taiwan | 30,05 | +0,02 |
Rupee India | 67,83 | -0,65 |
Dolar Singapura | 1,34 | +0,07 |
Peso Filipina | 52,71 | -0,13 |
Baht Thailand | 32,08 | -0,03 |
Sepertinya investor sedang menunggu keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan yang digelar BI hari ini. RDG tersebut di luar jadwal yang sudah ditetapkan untuk merespons perkembangan ekonomi terkini.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan 7 day reserve repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%. Jika terjadi, maka akan menjadi kenaikan kedua sepanjang bulan ini (dan tahun ini) setelah yang pertama terjadi pada 17 Mei lalu.
"Fokus kami dalam jangka pendek adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Ini langkah untuk FOMC (Federal Open Market Committee) meeting. We want to be ahead the curve," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers awal pekan ini.
Kalimat ahead the curve tersebut menjadi kode keras bahwa BI akan mengeksekusi kenaikan suku bunga pada RDG kali ini. Sebab bila menunggu RDG yang sudah terjadwal maka akan terlalu lama, sebab baru dilaksanakan pada 27-28 Juni. Sementara hasil pertemuan FOMC akan diumumkan pada 13 Juni.
Mengutip Federal Funds Futures, probabilitas kenaikan suku bunga acuan di AS pada pertemuan 13 Juni adalah 76,3%. Kemungkinan yang tidak bisa dikesampingkan.
Sambil menunggu pengumuman hasil RDG tambahan, investor sepertinya memilih bermain aman. Apalagi situasi global dan regional sedang kurang bersahabat.
Gaduh politik Italia membuat pasar keuangan dunia dilanda kecemasan. Negeri Pizza dihadapkan pada pemilu dadakan (snap election). Penyebabnya, Presiden Sergio Mattarella menolak pencalonan Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Mattarella menolak nominasi Savona karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari Uni Eropa.
Mattarella pun menunjuk mantan pejabat Dana Moneter International (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Ia ditugaskan untuk merencakan pemilu dan meloloskan anggaran negara.
Situasi ini membuat politik Italia menjadi penuh ketidakpastian. Bukan tidak mungkin aura populisme yang merebak di Italia bisa membawa negara ini keluar dari Uni Eropa.
Investor pun teringat pada momentum jajak pendapat di Inggris yang menghasilkan perceraian dengan Uni Eropa, yang akrab disebut Brexit. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Euro berpotensi mengikuti jejak Inggris.
Saat Brexit terjadi pada 2016, indeks MSCI Asia Pasifik (kecuali Jepang) anjlok cukup dalam. Indeks ini melaju cukup kencang pada awal tahun, sebelum terjun begitu memasuki Agustus. Sebagai informasi, jajak pendapat untuk Brexit digelar pada 23 Juni.
Investor yang cemas dengan perkembangan di Italia membuat aset-aset aman (safe haven) seperti emas , yen Jepang, atau franc Swiss menjadi pelarian. Harga emas dunia pada pukul 08:33 WIB naik 0,22%. Kemudian yen menguat 0,26% dan franc terapresiasi 0,06%.
Untuk saat ini, mode risk on yang dipasang investor masih lebih dominan. Investor masih cenderung menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, rupiah butuh obat kuat yang cespleng untuk terapresiasi. Obat itu adalah kenaikan suku bunga acuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular