
Bagaimana Dampak Krisis Politik Italia ke Indonesia?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 May 2018 12:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Italia memanas. Kisruh politik di Negeri Pizza memunculkan kemungkinan negara ini mengikuti jejak Inggris, yaitu bercerai dengan Uni Eropa (UE).
Teranyar, kemungkinan Italia akan menggelar pemilu ulang paling cepat Juli mendatang. Pasalnya, Pejabat Perdana Menteri Italia Carlo Cottarelli gagal membentuk koalisi pemerintahan.
Hal ini menyusul penolakan Presiden Sergio Mattarella terhadap pencalonan Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Savona ditolak karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari UE.
Awal dari kisruh ini adalah keinginan koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima untuk mengegolkan anggaran negara yang ekspansif. Dalam rencana tersebut, Italia ingin memangkas tarif pajak dan menggenjot belanja negara.
Namun, hal itu terbentur oleh aturan UE yang membatasi defisit anggaran maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batas atas defisit sebenarnya sudah diatur sejak 2005, tetapi masih banyak negara yang membandel.
Akhirnya kesepakatan tersebut ditegaskan kembali pada 2011. Penegasan ini dibutuhkan karena saat itu sejumlah negara Eropa didera krisis fiskal yang cukup parah, termasuk Italia. Selain Italia, negara-negara yang fiskalnya sakit kala itu adalah Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol.
Italia cukup patuh mematuhi aturan Uni Eropa. Sejak 2012, defisit anggaran negara juara Piala Dunia empat kali itu tidak pernah melampaui 3% PDB.
Namun, koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima ingin belanja negara yang lebih ekspansif. Mereka ingin membuat tarif pajak pukul rata di 15%. Kemudian keluarga miskin akan diberi tunjangan minimal 780 euro (Rp 12,6 juta) per bulan.
Brussel tentu ketar-ketir dengan perkembangan tersebut. Valdis Domrovkis, Wakil Presiden Uni Eropa, menegaskan agar Italia tetap mematuhi kesepakatan mengenai defisit anggaran.
"Ini (defisit anggaran) adalah faktor risiko yang sangat penting dan bisa menyeret seluruh perekonomian. Pesan kami kepada pemerintah Italia, tetaplah berada di jalur kesepakatan," tegas Domrovkis, seperti dikutip Reuters.
Italia, yang kini dikuasai koalisi garis kanan, ingin agar kebijakan nasionalnya tanpa intervensi. Jika kekuatan populis semakin solid, maka bukan tidak mungkin Italia akan mengikuti jalan Inggris, yaitu keluar dari Uni Eropa.
Perkembangan di Italia membuat pelaku pasar gugup. Investor cenderung menghindari aset-aset berisiko dan mengamankan dananya di safe haven. Terbukti beberapa instrumen safe haven seperti emas, mata uang yen Jepang, atau franc Swiss nilanya terapresiasi karena tingginya minat investor.
Teranyar, kemungkinan Italia akan menggelar pemilu ulang paling cepat Juli mendatang. Pasalnya, Pejabat Perdana Menteri Italia Carlo Cottarelli gagal membentuk koalisi pemerintahan.
Hal ini menyusul penolakan Presiden Sergio Mattarella terhadap pencalonan Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Savona ditolak karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari UE.
Namun, hal itu terbentur oleh aturan UE yang membatasi defisit anggaran maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batas atas defisit sebenarnya sudah diatur sejak 2005, tetapi masih banyak negara yang membandel.
Akhirnya kesepakatan tersebut ditegaskan kembali pada 2011. Penegasan ini dibutuhkan karena saat itu sejumlah negara Eropa didera krisis fiskal yang cukup parah, termasuk Italia. Selain Italia, negara-negara yang fiskalnya sakit kala itu adalah Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol.
Italia cukup patuh mematuhi aturan Uni Eropa. Sejak 2012, defisit anggaran negara juara Piala Dunia empat kali itu tidak pernah melampaui 3% PDB.
![]() |
Brussel tentu ketar-ketir dengan perkembangan tersebut. Valdis Domrovkis, Wakil Presiden Uni Eropa, menegaskan agar Italia tetap mematuhi kesepakatan mengenai defisit anggaran.
"Ini (defisit anggaran) adalah faktor risiko yang sangat penting dan bisa menyeret seluruh perekonomian. Pesan kami kepada pemerintah Italia, tetaplah berada di jalur kesepakatan," tegas Domrovkis, seperti dikutip Reuters.
Italia, yang kini dikuasai koalisi garis kanan, ingin agar kebijakan nasionalnya tanpa intervensi. Jika kekuatan populis semakin solid, maka bukan tidak mungkin Italia akan mengikuti jalan Inggris, yaitu keluar dari Uni Eropa.
Perkembangan di Italia membuat pelaku pasar gugup. Investor cenderung menghindari aset-aset berisiko dan mengamankan dananya di safe haven. Terbukti beberapa instrumen safe haven seperti emas, mata uang yen Jepang, atau franc Swiss nilanya terapresiasi karena tingginya minat investor.
Next Page
Mengukur Dampak Krisis Italia
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular